Minggu, 5 April 2015
Sesaat sebelum memasuki pelabuhan Bakauweni jam 3.33 pagi dini hari, 2 orang intel polisi narkoba memberi tanda untuk memberhentikan kendaraan, dengan sopan dan alat senter yang dipegang sambil menunjukkan kalau tangannya kosong meminta ijin untuk memeriksa kendaraan. Sesaat tampak sibuk memeriksa semua bagian kendaraan termasuk sampah2 yg ada. Pemeriksaan yang cukup teliti. Mantab, semoga narkoba hilang dari bumi nusantara ini.
Begitu memasuki kawasan pelabuhan untuk antri naik kapal terdapat aktivitas yang menarik, banyak ibu2 yang jualan kopi. Dengan semangat mereka menawarkan kopi, disaat pagi yang dingin pastilah kopi tersebut akan terasa lebih mantab. Jadi ingat Iwan Fals dengan iklan kopinya.
Jadi teringat hal yang sama 2-3 tahunan yang lalu, dimana dikawasan stasiun senin dan gambir juga banyak penjual kopi. Namun sekarang sudah tidak ada, sepertinya mereka sudah dilarang berjualan.
Sekarang ini, di stasiun tersebut bagi yang membutuhkan makanan atau bagi penikmat kopi atau kopi untuk sekedar menghabiskan waktu, bisa membeli di toko modern alfatmart, seven 7 dan indomart serta dunkin.
Pengguna jasa akan merasakan suasana stasiun yang rapi dan bersih. Dan makanan yang disediakan toko modern tersebut juga terasa lebih bersih dan banyak pilihan. Yang tentu saja beda jenis dan harganya dibanding makanan dr orang2 yang jualan di kawasan stasiun.
Bagi pengguna jasa stasiun, keberadaan toko modern itu pasti sangat membantu, terutama bagi yang beruang. Tinggal pilih, bayar, selesai.
Tapi bagaimana dengan masyarakat yang biasanya jualan di kawasan stasiun? Kemana mereka? Seandainya mereka tidak memiliki pekerjaan pengganti, akankah mereka tetap akan menjadi orang baik2?
Bagaimana dengan para pengunjung dari kalangan masyarakat bawah yang ingin menikmati kopi? Para sopir yang sedang menjemput, yang biasanya menghabiskan waktu dengan menikmati kopi sachetan tersebut?
Misalnya lg di kawasan Bandara soetta, memang masih banyak restoran dan outlet yang merek Indonesia, tapi tidak bisa ditutupi juga ternyata sudah banyak yang merk asing. Dan dikawasan parkir terminal 2 baru 1 tahun terakhir ada warung2 kecil yang sesuai dengan driver dan penjemput kelas bawah disekitar parkiran.
Kembali ke pelabuhan bakauweni, apa jadinya seandainya ibu2 penjual kopi dan makanan yang dikawasan dipelabuhan dilarang dan diganti toko2 modern?
Akankah masyarakat akan merasa memiliki pelabuhan? Akankah masyarakat bisa lebih sejahtera? Atau ada program pengelola pelabuhan agar masyarakat penjual diberi bantuan?
Apakah tidak bisa membangun dan mengelola pelabuhan dengan tetap melibatkan masyarakat sekitar, tanpa meninggalkan mereka?
Bukankah arah pengelolaan bandara sudah menuju privatisasi? Dan pelabuhan juga begitu? Akankah masyarakat kecil akan menjadi penonton? Menjadi tenaga kasar? Atau nantinya menjual makanan dan minuman sembunyi2 dari security?
Yang perlu diingat kembali adalah, apakah tujuan keberadaan BUMN/D apakah hanya akan mengejar laba? Bukankah tetap harus ada misi sosial.
Kalau seandainya stasiun, pelabuhan, bandara yg masih di kelola oleh BUMN, tidak lagi melibatkan masyarakat kecil dan sekitar, apalagi kalau nantinya sudah di jual ke asing. Terus, siapa yang membela masyarakat kecil? Bukankah konstitusi mengamanatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.