Sabtu, 08 April 2017

Ingat Pegadaian

Dalam 2 dekade terakhir ini terjadi penguatan hukum dalam pemberantasan korupsi, khususnya dari sisi kelembagaan pada lembaga negara dibidang yudikatif, tanpa kecuali penguatan dari sisi anggaran.

Penguatan yang terasa adalah dengan berdirinya komisi pemberantasan korupsi (KPK), dengan sendirinya harus diikuti dengan SDM, dan sarana prasarana kerja, tentu saja hal ini membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit.  Dan juga untuk dana untuk operasional setiap tahun anggaran.

Selain berdirinya KPK,  karena amanah dari amandemen UUD maka berdirilah Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Penguatan juga di kepolisian, dengan UU baru,  selain dibawah presiden langsung, polri memiliki kewenangan yang semakin besar, dan pastinya anggaran polri harus disesuaikan.

Hal yang sama juga dengan kejaksaan dan kehakiman.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun semakin powerfull dengan terbitnya UU 15/2004 dan UU 15/2006. Seiring waktu, sekarang BPK sudah memiliki kantor perwakilan hampir di semua daerah provinsi, dan tentu saja harus ada pegawai dan sarana prasarana. Artinya, pendanaan APBN juga harus disediakan untuk operasional BPK.

Tetapi, setelah 2 dekade ini, apakah pembangunan hukum dibidang  korupsi juga semakin maju? Apakah pembangunan hukum yang didominasi hukum pidana seperti sekarang ini telah sesuai dengan karakter bangsa Indonesia? Artinya penyelesaian masalah selalu diakhiri di pengadilan, harus ada yang benar dan salah. Apakah tidak bisa membuat mekanisme penyelesaian masalah tanpa saling menyalahkan, kata orang jawa, menang tanpo ngasorake. Atau menyelesaikan masalah tanpa masalah. (Ingat Pegadaian)

Seandainya, dihitung biaya APBN, untuk lembaga2 negara tersebut, dan dibandingkan dengan output dan outcomenya, apakah sesuai? Apakah benar penyelesaian hukum pidana bisa membuat efek jera? Atau sebaliknya. Apakah penyelesaian hukum pidana juga mampu menyelesaikan masalah mendasar dari praktek2 korupsi?

Sepertinya harus ada reformasi dibidang hukum, misalnya.dengan mengedepankan pencegahan daripada pemberantasan.

Jika mengedepankan pencegahan, harus dimulai dari pola pikir semua shareholder, dan langkah selanjutnya dengan penguatan kelembagaan Komisi Ombusmen.

Mengapa harus dari komisi ombusmen? Karena dari sisi pengelola APBN/D,  komisi ombusmen lebih mengedepankan pencegahan, lebih dekat dengan tagline pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Semoga.....

Jumat, 07 April 2017

Ingat Gus Dur

Di negeri khayangan sudah agak lama main sepak bola gak pake ribut2, mungkin karena dampak PSSI dibekukan, sehingga sudah dingin seperti es, atau sudah capek ribut.

Tapi, mungkin ribut sudah menjadi budaya baru di negeri khayangan ini, lihat saja, ada ribut di gedung senator, di tempat yang terhormat, senator2 daerah yang dipilih rakyat telah mempertontonkan hal yang mengherankan, sekaligus menjengkelkan, lebih tepatnya memuakkan. Senator yang representasi rakyat, ternyata bertingkah seperti anak TK. Jadi ingat Gus Dur.

Apa permasalahan mendasar atas perilaku senator2 itu? Apa masalahnya justru di masyarakat yang salah memilih mereka? Masyarakat yang tidak mengerti sifat, watak dan perilaku calon pemimpin saat pemilihan?

Apakah mereka setelah terpilih menjadi senator itu justru berpikir sebaliknya, kutahu yang kau (masyarakat) mau.... (ingat iklan Sprite), karena dianggapnya masyarakat memang senang keributan. Jadi mereka mau memberi contoh.

Klo senator nya sudah pada sibuk dengan ribut2 sendiri, terus ikipiyeto?