Dalam 2 dekade terakhir ini terjadi penguatan hukum dalam pemberantasan korupsi, khususnya dari sisi kelembagaan pada lembaga negara dibidang yudikatif, tanpa kecuali penguatan dari sisi anggaran.
Penguatan yang terasa adalah dengan berdirinya komisi pemberantasan korupsi (KPK), dengan sendirinya harus diikuti dengan SDM, dan sarana prasarana kerja, tentu saja hal ini membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Dan juga untuk dana untuk operasional setiap tahun anggaran.
Selain berdirinya KPK, karena amanah dari amandemen UUD maka berdirilah Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Penguatan juga di kepolisian, dengan UU baru, selain dibawah presiden langsung, polri memiliki kewenangan yang semakin besar, dan pastinya anggaran polri harus disesuaikan.
Hal yang sama juga dengan kejaksaan dan kehakiman.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun semakin powerfull dengan terbitnya UU 15/2004 dan UU 15/2006. Seiring waktu, sekarang BPK sudah memiliki kantor perwakilan hampir di semua daerah provinsi, dan tentu saja harus ada pegawai dan sarana prasarana. Artinya, pendanaan APBN juga harus disediakan untuk operasional BPK.
Tetapi, setelah 2 dekade ini, apakah pembangunan hukum dibidang korupsi juga semakin maju? Apakah pembangunan hukum yang didominasi hukum pidana seperti sekarang ini telah sesuai dengan karakter bangsa Indonesia? Artinya penyelesaian masalah selalu diakhiri di pengadilan, harus ada yang benar dan salah. Apakah tidak bisa membuat mekanisme penyelesaian masalah tanpa saling menyalahkan, kata orang jawa, menang tanpo ngasorake. Atau menyelesaikan masalah tanpa masalah. (Ingat Pegadaian)
Seandainya, dihitung biaya APBN, untuk lembaga2 negara tersebut, dan dibandingkan dengan output dan outcomenya, apakah sesuai? Apakah benar penyelesaian hukum pidana bisa membuat efek jera? Atau sebaliknya. Apakah penyelesaian hukum pidana juga mampu menyelesaikan masalah mendasar dari praktek2 korupsi?
Sepertinya harus ada reformasi dibidang hukum, misalnya.dengan mengedepankan pencegahan daripada pemberantasan.
Jika mengedepankan pencegahan, harus dimulai dari pola pikir semua shareholder, dan langkah selanjutnya dengan penguatan kelembagaan Komisi Ombusmen.
Mengapa harus dari komisi ombusmen? Karena dari sisi pengelola APBN/D, komisi ombusmen lebih mengedepankan pencegahan, lebih dekat dengan tagline pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Semoga.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar