Sabtu, 28 Februari 2015

Hari libur, mall, tv dan taman kota

Hari libur bisa jadi bukan hari yang menyenangkan bagi orang tua yang tinggal di jakarta dan sekitarnya apabila dikaitkan dengan biaya liburan. Bagaimana tidak, untuk bisa menikmati liburan yang sesuai kebutuhan anak2, pilihannya sangat terbatas sekali. Paling banyak adalah di mall. Disekitar tangerang saja ada mall lippo karawaci, @mall alam sutera, living world, tangcity, balekota, sumarecon mall serpong, dan msh bnyk lg.

Kenapa liburan harus di mall? Memang tidak harus ke mall, tapi masalahnya, pilihannya apalagi? Taman kota?? Di dekat tangcity belakang BPJS cikokol tangerang memang ada taman kota dipinggir sungai, lumayan rame, tapi untuk anak kecil jauh dari unsur keselamatan, karena alat2 permainan yang tidak terawat, bahkan sudah sangat berkarat. Di BSD juga ada 2 taman kota, jauh lebih bagus dan terawat dibandingkan dengan yg dekat tangcity. Tapi apa iya hny ke taman kota BSD terus??

Kalau sudah begitu apa yang terjadi?? Liburan pasti ngeMall. Bisa dilihat parkiran dihari libur pasti selalu penuh, bahkan banyak masyarakat yang jauh2 juga datang ke mall. Apalagi bila diperhatikan di mall banyak permainan anak2, baik yang bayarnya per jenis permainan atau paket jam2an. Tapi jika dihitung2 akan menghabiskan uang yang banyak juga, bahkan banyak sekali.

Yang lebih berbahaya lagi bila sering ke mall itu sama saja ngajarin anak2 hidup hedonis, mencintai dunia ini. Bagaimana tidak? Dengan di display barang yang bagus dan mewah tersebut akan merangsang otak anak2 untuk memiliki. Yang pada gilirannya akan memikirkan bagaimana cara mendapatkannya. Baik dengan dibelikan orang tua, atau sendiri nantinya kelak. Dan jika sudah remaja, tidak akan mengherankan bila mereka akhirnya ingin sekali memiliki gadget hanya untuk gaya2an.

Artinya, semakin sering jalan ke mall akan semakin menimbulkan godaan untuk memiliki barang mewah. Apalagi jika sosial masyarakat sudah tidak memperdulikan lagi etika bagaimana mendapatkan barang2 tersebut. Sebab sebagian masyarakat kota sendiri lebih cenderung memberikan apresiasi keberhasilan keluarganya dari sisi mendapatkan uang dan harta.

Kembali ke liburan lagi? Apa tidak ada alternatif lagi? Kalau mau ke pantai arah mauk selain jauh dipantai utara juga tidak bersih, jauh dari representatif. Mau ke museum? Kalau di jakarta ada, meski iklannya tidak seheboh mall. Mau ke perpustakaan? Kalau di tangerang gak tahu dmn, apa buka hari sabtu dan minggu?

Akhirnya setiap libur yang terbayang adalah pengeluaran uang, dan lebih sedih lagi pengeluaran uang tersebut belum tentu juga bermanfaat dalam mendidik anak2.

Kalau gak liburan ke mall gmn? Nonton TV aja kan murah meriah? Kelihatannya murah, tapi dengan desain acara tv di indonesia ini, sepertinya sangat tidak cocok untuk kebutuhan anak2. Karena acr sebagian besar utk org dewasa, dan iklannya itu.

Kapan negara dan pemda memperhatikan kebutuhan masyarakat untuk hal2 begini ya?? Jangan2 sengaja agar tidak bersaing dengan mall2 tersebut. Jane piye to carane bangun daerah iku??? Masak banyak jurusan planologi di perguruan tinggi dan dinas tata ruang/kota kok hampir sama semua di pemda.....ato masyarakat seperti saya yang salah mendefinisikan kebutuhan dan salah berharap ke pemda?

Jalan tol untuk siapa

Hampir setiap hari, pagi dan sore/malam sering terlihat di sekitar gerbang tol cikupa baik arah jakarta atau merak, dipinggir jalan tol sekitar pintu keluar masuk bitung, dan juga disekitar pintu keluar karawaci,  ada orang2 dipinggir tol yang ingin naik bus.

Memang, menurut peraturan saat ini mereka tidak boleh naik/turun di sekitar gerbang tol tadi. Masalahnya adalah mengapa hal tersebut terjadi? Artinya selama ini banyak orang butuh naik mobil bus tapi tidak ada atau jauh, bahkan bisa jadi sulit sekali. Dan mau turun dari buspun juga begitu.

Misalnya, bagi warga disekitar karawaci (islamic, lippo) dan sekitarnya, kalau kalau akan bepergian ke serang/merak naik bus umum apa bisa menunggu bus di pintu tol karawaci arah serang/merak?? Gak bisa, karena tidak ada bus arah serang/merak yang melewati karawaci/lippo. Masyarakat harus naik angkut menuju kebun nanas, yang pasti itu butuh biaya dan waktu. Kalau sudah begitu praktisnya bagaimana? Menunggu bus di pinggir jalan tol dekat pintu keluar tol. Sebab biasanya ada penumpang yang akan turun juga.
Artinya apa? Ada kebutuhan masyarakat tapi tidak terpenuhi oleh operator jalan tol dan operator angkutan umum/bus.

Begitu juga dengan yang di pintu tol bitung dan cikupa. Bahkan bbrp gerbang tol tempat masyarakat naik sering didesain untuk lebih ditutup lagi dengan yang lebih permanen atau lebih kuat pagarnya. Bisa jadi dipintu tol yang lain2nya. Bila ada petugas keamanan tol maka bus itu tidak mau menepi untuk berhenti, kalau ada penumpang bus yang mau turun gimana? Resiko turun dipemberhentian agak jauh.

Bandingkan dengan pintu tol di kebun jeruk. Disana didesain ada satu pintu tol untuk menaikan dan menurunkan penumpang. Meskipun bus nya harus bayar. Sehingga masyarakat dan sopir bus tidak perlu lagi mencari2 kesempatan, atau menunggu tidak adanya petugas.

Melihat kebutuhan masyarakat yang ada, apa tidak mungkin gerbang tol didesain seperti gerbang tol kebun jeruk tersebut? Biar masyarakat biasa lebih banyak yg bs menikmati kue pembangunan. Apa jalan tol itu didesain hanya untuk orang2 kaya saja? Hanya untuk orang2 yang bermobil saja??  Apa karena dulu sarjana2 dan konsultan yang bangun jalan tol itu sekolahnya diluar negeri (amerika, jepang dll) yang memang beda dengan di Indonesia. Karena disana transportasi yg jauh biasanya dengan kereta, sedikit dengan bus. Artinya hanya main copy paste jalannya saja. Tidak melihat kebutuhan masyarakat bawah di sekitar tol.

Kalau sudah begini, maka seringkali masyarakat akan berhadapan dengan  petugas tol. Meskipun sangat mungkin petugas tol dalam hatinya ingin membantu masyarakat untuk turun dan naik bus disekitar gerbang tadi, tapi disisi lain itu bertentangan dengan tugas mereka sendiri.

Sebagai masyarakat biasa, bingung juga dengan model pembangunan tol seperti ini. Jangankan untuk memiliki sesuatu, untuk merasakan pembangunan saja sulit sekali. Apa bedanya dengan parkiran kendaraan, untuk  mobil sebagian besar disediakan dalam gedung/mall, tapi untuk motor kalaupun ada  biasanya sedikit dan jauh pula.

Semoga pembangunan kedepan lebih mengutamakan masyarakat biasa.....meskipun dalam sejarahnya pembangunan akan memihak orang2 yang beruang, wajar, karena mereka dekat dan berteman dengan para pembuat kebijakan. Kalau sudah begini.....bingung sendiri jadinya....

Ahok, dewan dan APBD DKI

Seminggu ini masyarakat sibuk dan capek mendengar pembahasan APBD DKI. Banyak yang belum jelas apa yang dipermasalahkan.

Mungkin, yang dipermasalahkan ada 2 hal. Pertama, terkait dengan keabsahan dokumen pembahasan dan persetujuan ranperda  APBD DKI. Kedua, terkait kewenangan mengubah atau menambah program kegiatan ketika pembahasan APBD, hal ini kaitannya  dengan menjaga konsistensi dengan dokumen RKPD, bahkan bisa jadi mengubah setelah persetujuan bersama antara AHOK dan dewan.

Permasalahan yang pertama, bisa saja terjadi, sebab selama ini pembahasan APBD dibanyak daerah hanya melalui softcopy, dan kalaupun ada hardcopy itu adalah versi yang akan dibahas. Untuk versi final atau hasil pembahasan biasanya masih dalam bentuk softcopy, yang selanjutnya baru akan dicetak dalam bentuk hardcopy. Dan hardcopy nya akan ditandatangani dilembar depan dan lembar tertentu saja. Permasalahannya adalah, ada jeda waktu saat pembahasan/persetujuan dengan waktu cetak. Kira2 dokumen tersebut "masuk angin" gak??

Untuk memudahkan diskusi contohnya kita bandingkan dengan yang lain. Jika ada para pihak akan melakukan kesepakatan atau persetujuan dalam perjanjian, maka mereka biasanya akan membubuhkan tanda tangan, bahkan paraf tiap lembar, bila perlu dengan kertas khusus yang berseri atau pakai hologram.

Bandingkan dengan pembahasan dan persetujuan ranperda tersebut. Jadi, apa tidak mungkin pembahasan dan persetujuan ranperda APBD mengikuti seperti perjanjian tersebut. Sangat mungkin saja. Masalahnya adalah, kalau akan dilakukan paraf perlembar, apa iya para pejabat DKI dan Dewan mau paraf koordinasi yg kira2 sebanyak belasan ribu lembar (mungkin). Sbb APBD DKI sekitar 72T. Selanjutnya apa tidak bisa dicetak dengan kertas khusus berseri berhologram? bisa saja, yang pasti akan tambah biaya dan waktu.      

Yang menarik dari permasalahan pertama ini adalah siapa kira2 yang bisa mengubah secara   "teknis" dokumen hasil pembahasan tersebut?? Siapa yang menyiapkan dokumen hasil pembahasan tersebut? Eksekutif atau dewan? Apa kaitannya dengan aplikasi e budgeting yang diramaikan itu?? Yang perlu dingat adalah aplikasi itu hanya alat, tergantung yang mengoperasionalkan. Artinya tergantung dari pembuatan sistemnya dan adminnya.

Jadi, jika ditanyakan apa mungkin dewan mengubah hasil pembahasan?? Mungkin saja kalau koordinasi dengan admin yang memegang sistem e budgetting tersebut atau melalui hacker. Apa eksekutif mungkin yang mengubah?? Lebih sangat mungkin, karena mereka yang mengoperasionalkan aplikasi tersebut. Apalagi bagian anggaran.

Bila yang dipermasalahkan adalah keabsahan hasil pembahasan dan persetujuan ranperda APBD DKI, maka dengan sistem dan teknologi apapun akan sangat mungkin diubah.

Itu semua hanya kemungkinan aja. Masalahnya adalah tidak mengetahui apa masalahnya, sehingga jawabnya ya hanya kira2.

Sebenarnya yang terpenting adalah komitmen bersama untuk menjaga akuntabilitas. Sehingga pembahasan itu menjadi lebih cepat, mudah dan tercipta saling percaya.

Atau teman2 bisa memberi masukan, bagaimana solusi dari permasalahan pertama ini??

Bagaimana untuk permasalahan kedua?? Jika memungkinkan akan dilanjutkan.