Selasa, 26 September 2017

Drop penumpang 5 ribu

Ada yang janggal dengan desain area parkiran di terminal 1 soetta, jika penumpang dengan kendaraan pribadi, hanya untuk drop penumpang, ternyata sudah terkena tarif parkir 5 ribu.

Bandingkan jika drop penumpang di terminal 2 dan 3. GRATIS.

Mengapa hal ini beda? Apakah karena alasan keamanan dan agar tidak macet penumpang harus bayar 5 ribu? Bukankah seharusnya, pengelola bandara menyediakan tempat khusus untuk drop penumpang.

Coba saja perhatikan, berapa pendapatan pengelola parkir dari drop penumpang? Pasti fantastis sekali.

Lo terus hak nya penumpang ikipiyeto?

Rabu, 06 September 2017

Kapan status sosial petani naik?

Apakah menjadi petani dari jaman dahulu sampai sekarang itu suatu pilihan?

Atau justru karena tidak ada pilihan lain, akhirnya tetap harus memilih menjadi petani?

Bagaimana dahulu VOC era penjajahan belanda menempatkan petani dalam kasta yang paling rendah. Begitupun dengan era sukarno, karena pemerintah masih sibuk dengan mempersatukan anak bangsa.

Era suharto, petani mulai membaik, banyak kegiatan untuk memakmurkan petani, lebih tepatnya untuk mewujudkan swasembada beras. Ingat petani, biasanya ingat kelompok capir, penyuluh pertanian, bulog, pupuk dan pembacaan berita harga 9 bahan makanan pokok di RRI oleh menpen yang sangat lengendaris Harmoko.

Setelah reformasi, profesi petani kembali ke kasta paling bawah lagi.

Tapi tidak sebaliknya untuk perkebunan, khususnya perkebunan yang dikelola perusahaan2 besar. Banyak perkebunan dibuka untuk rakyat, dan tidak bisa dipungkiri hak tersebut menambah kesejahteraan rakyat. Sekarang ini, ada beberapa perusahaan yang memiliki luas lahan perusahaan yang fantastis. Seolah2 perusahaan tersebut dahulu nenek moyangnya adalah orang indonesia. Dan yang bukti ketimpangan agraria di negeri nusantara sudah sangat luar biasa. Menyedihkan...

Apakah bila terjadi pemerataan tanah, kemudian masyarakat pasti sejahtera karena kepemilikan tanah tersebut? Belum tentu, karena sebagian masyarakat kita sudah jauh dari budaya pertanian.

Lihatlah penguasaan benih oleh industri2 besar. Yang terjadi justru masyarakat sudah sangat tersandera, karena adanya paten benih2 yang beredar.

Bagaimana dengan pupuk? Sepertinya tidak jauh berbeda, pupuk sering menghilang saat dibutuhkan.

Bagaimana dengan pengairan? Lebih menyedihkan lagi, karena sekarang ini sudah tidak ada lagi perangkat desa yang ngurusin pengairan.

Bagaimana dengan teknologi pertanian? Meskipun ada, tapi dengan harga yang mahal, hal ini karena perlakuan pajak yang belum memihak kepada para petani.

Bagaimana dengan pembelian hasil pertanian? Lebih menyedihkan lagi, petani  harus berhadapan dengan calo2 impor, mereka seolah2 memiliki tujuan khusus, kenapa di saat panen, barang impor justru datang? Apakah ini sengaja untuk menghancurkan perekonomian petani, sehingga mereka selalu terpuruk, dan akhirnya tetap tersandera dalam kemiskinan, dan perbankan akan datang sebagai pahlawan?

Jika memang profesi petani menjanjikan kesejahteraan,  maka dengan sendirinya banyak orang2 terdidik akan beralih menjadi petani. Tetapi ini yang terjadi justru sebaliknya. Tidak sedikit yang ahli pertanian, tapi justru kerja di sektor2 lainnya.

Padahal mayoritas penduduk yang menjadi petani, tapi sering terlupakan.

Klo sudah begini, ikipiye?

Minggu, 03 September 2017

Ternyata persaingan dan standarisasi itu perlu

Banyak faktor yang membuat perusahaan bisa berkembang, secara internal adalah berkembangnya secara sinergis modal 5M, dari eksternal diantaranya keberadaan pesaing.

Tanpa pesaing, suatu perusahaan pasti akan lalai dan terlena. Perusahaan tanpa pesaing biasanya adalah BUMN, BUMD yang diberi prioritas karena UU. Maka, tidak heran jika kebanyakan diantara mereka beroperasi "tidak" dengan efektif dan efisien. Kenapa? Karena merasa sudah puas dengan kinerja yang sudah dicapai.

Bagaimana dengan di swasta?

Cobalah menginap di hotel S*****A  (S) di kota pasir pangarian kab. Rokan hulu provinsi riau, yang letaknya disamping persis masjid megah di kota pasir. Tidak jelas hotel ini bintang berapa? Tapi kalau dilihat tarifnya lumayan, permalam paling murah 500 rb. Hotel ini sudah berdiri kurang lebih 5 tahun terakhir.

Kelebihan yang dapat di tangkap sekilas adalah ukuran kamar tidur dan kamar mandi  yang lumayan besar, serta ada sajadah di kamar. Begitu masuk kamar akan terasa sekali desain interior yang biasa saja, artinya dari sisi bahan, presisi dan tata letak sangat biasa sekali. Pastinya tidak seperti hotel berbintang yang standar internasional seperti hotel amaris, ibis, fave, neo atau pop hotel. Dan akan lebih terasa saat masuk kamar mandi.

Dengan tarif yang luamayan mahal ini, ternyata tidak ada fasilitas alat pemanas air, cangkir, kopi, teh dan gula. Meskipun di amaris  dan ibis budget juga tidak ada alat pemanas air untuk membuat minuman, tapi masih disediakan gelas dan pemanas air despenser di luar kamar, airnya cukup panas untuk membuat teh panas dan susu dan susu coklat.

Sekarang bandingkan dengan hotel S di rohul ini, dengan tarif 500 ribu, ternyata fasilitas yang diberikan jauh dengan yang diberikan oleh hotel2 yang berstandar nasional dan internasional, tanpa alat pemanas air, tanpa pemanas air despenser, cangkir, kopi, teh dan gula.

Soal kebersihan kamar dan kamar mandi, jauh tidak bisa dikatakan sebanding dengan hotel standar internasional.

Bagi masyarakat, karena tidak ada pilihan hotel yang sebanding, akhirnya apa boleh buat, daripada nginap di tempat yang jauh lagi, sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil. Seandainya ada pilihan2 hotel seperti amaris, ibis, fave, neo atau pop hotel, disekitar pasir, ada 2 kemungkinan, hotel S ini tergilas atau mencoba meningkatkan pelayanan agar bisa bertahan.

Tapi, jika terus tanpa pesaing, sepertinya hotel S ini tidak akan meningkatkan pelayanan, karena akan merasa sudah hebat sendiri. Toh masyatakat dan pemda akan tetap pakai hotel ini, karena tidak ada pilihan. Yang ada justru pelanggan yang dirugikan, karena uang yang dikeluarkan kurang sebanding dengan jasa dan fasilitas yang diterima.

Maka, wajar, jika persaingan itu perlu, bahkan harus diciptakan.

Dan tugas pemda untuk mengatur agar tercipta persaingan. Agar tercipta efisiensi dan tidak merugikan pelanggan.

Yang tidak kalah penting adalah, perlunya pengaturan standarisasi fasilitas yang diberikan hotel, agar pelanggan tidak dirugikan. Jadi, pemda cq. BAPENDA jangan hanya semangat pasang iklan bayar pajak 10%.

Kalau monopoli terus dan tanpa standarisasi, terus ikipiyeto?