Rabu, 06 September 2017

Kapan status sosial petani naik?

Apakah menjadi petani dari jaman dahulu sampai sekarang itu suatu pilihan?

Atau justru karena tidak ada pilihan lain, akhirnya tetap harus memilih menjadi petani?

Bagaimana dahulu VOC era penjajahan belanda menempatkan petani dalam kasta yang paling rendah. Begitupun dengan era sukarno, karena pemerintah masih sibuk dengan mempersatukan anak bangsa.

Era suharto, petani mulai membaik, banyak kegiatan untuk memakmurkan petani, lebih tepatnya untuk mewujudkan swasembada beras. Ingat petani, biasanya ingat kelompok capir, penyuluh pertanian, bulog, pupuk dan pembacaan berita harga 9 bahan makanan pokok di RRI oleh menpen yang sangat lengendaris Harmoko.

Setelah reformasi, profesi petani kembali ke kasta paling bawah lagi.

Tapi tidak sebaliknya untuk perkebunan, khususnya perkebunan yang dikelola perusahaan2 besar. Banyak perkebunan dibuka untuk rakyat, dan tidak bisa dipungkiri hak tersebut menambah kesejahteraan rakyat. Sekarang ini, ada beberapa perusahaan yang memiliki luas lahan perusahaan yang fantastis. Seolah2 perusahaan tersebut dahulu nenek moyangnya adalah orang indonesia. Dan yang bukti ketimpangan agraria di negeri nusantara sudah sangat luar biasa. Menyedihkan...

Apakah bila terjadi pemerataan tanah, kemudian masyarakat pasti sejahtera karena kepemilikan tanah tersebut? Belum tentu, karena sebagian masyarakat kita sudah jauh dari budaya pertanian.

Lihatlah penguasaan benih oleh industri2 besar. Yang terjadi justru masyarakat sudah sangat tersandera, karena adanya paten benih2 yang beredar.

Bagaimana dengan pupuk? Sepertinya tidak jauh berbeda, pupuk sering menghilang saat dibutuhkan.

Bagaimana dengan pengairan? Lebih menyedihkan lagi, karena sekarang ini sudah tidak ada lagi perangkat desa yang ngurusin pengairan.

Bagaimana dengan teknologi pertanian? Meskipun ada, tapi dengan harga yang mahal, hal ini karena perlakuan pajak yang belum memihak kepada para petani.

Bagaimana dengan pembelian hasil pertanian? Lebih menyedihkan lagi, petani  harus berhadapan dengan calo2 impor, mereka seolah2 memiliki tujuan khusus, kenapa di saat panen, barang impor justru datang? Apakah ini sengaja untuk menghancurkan perekonomian petani, sehingga mereka selalu terpuruk, dan akhirnya tetap tersandera dalam kemiskinan, dan perbankan akan datang sebagai pahlawan?

Jika memang profesi petani menjanjikan kesejahteraan,  maka dengan sendirinya banyak orang2 terdidik akan beralih menjadi petani. Tetapi ini yang terjadi justru sebaliknya. Tidak sedikit yang ahli pertanian, tapi justru kerja di sektor2 lainnya.

Padahal mayoritas penduduk yang menjadi petani, tapi sering terlupakan.

Klo sudah begini, ikipiye?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar