Selasa, 02 Oktober 2018

bandara adi soejipto dan pemotor

Yogya, kota budaya, kota pelajar. Kota impian anak muda untuk menggapai kehidupan yang lebih menjanjikan. Dan juga kota harapan bagi nayak pensiunan untuk mebikmati tentramnya hari tua.

Kali ini ada rasa nyesak saat harus meninggalkan yogya. Bukan karena belum bisa berlama2 disini. Tapi, karena saat memasuki kawasan bandara adi soejipto, terlihat jelas motor2 di stop tidak boleh sampai melewati rel, dan tidak biaa mendekati  pintu masuk,  layaknya mereka yang datang bermobil.

apa  karena pemotor membuat tidak indah bila mendekati pintu masuk??

apa karena mereka tampak tidak mencerminkan kemajuan peradaban hingga harus dilarang?

klo alasan keamanan, apakah mobil2 yang masuk juga diperiksa?

bukankah bandara juga mencerminkan pelayanan publik. Tapi, bagaimana mendesain pelayanan dengan tidak membeda2kan dari sisi jenis kedatangan transportasi.

klo ada ruang drop penumpang dengan mobil, kenapa tidak didesain juga ruang drop penumpang untuk pemotor? Seandainya, ada penumpang, dianter motor, bawa tas besar berat, dan kebetulan hujan. Apa tidak merepotkan pemotor.

seandainya, ada kereta kuda khas yogya datang, pasti tidak bisa masuk juga. jadi, tidak heran kalau kendaraan khas yogya akhirnya terpinggirkan. Bukan oleh kemajuan teknologi luar, tapi karena kebijakan sendiri.

Dan model kebijakan mengesampinkan pemotor itu sepertinya sudah biasa. Lihat saja di mall, kantor pemerintah, bahkan di OJK yang dekat lapangan banteng untuk pejalan kaki harus lewat jalur samping.  Dan sangat terkesan pejalan kaki dianggap tidak penting. Tapi entahlah....

Kembali ke bandara yogya....kalau memang benar2 kota budaya, amalkanlah memberi ruang untuk pejalan kaki, untuk pemotor. Jangan hanya memprioritaskan orang2 yang datang bermobil.

Kalau yogya saja belum bisa, apa daerah lain bisa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar