Minggu, 12 Juli 2015

Memanfaatkan ketidakngertian hukum masyarakat

Tujuan negara yaitu untuk mencipatakan kesejahteraan dan keadilan. Dan itu idealnya peran negara hadir baik secara struktur maupun menciptakan kultur dalam masyarakat. Secara struktur hadir melalui pendidikan,  pengaturan, pembinaan dan pengawasan kepada masyarakat. Termasuk dalam bidang jasa keuangan.

Dan negara harus hadir dalam membentuk dan membangun kultur dinmasyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kultur masyarakat sudah terbukti dan efektif dalam pembangunan. Bisa dilihat dari keberadaan Muhamddiyah dan NU. Bahkan menjadikan Negara Indonesia merdeka, itu lebih dominan karena kultur daripada struktur.

Sampai saat inipun, pemahaman dan tingkat pendidikan masyarakat terkait lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) masih sangat2 rendah. Jadi, tugas pemerintah memberikan pendidikan hukum bagi masyarakat ketika berinteraksi dengan lembaga keuangan, khususnya perbankan, masih sangat diperlukan.

Perusahaan2 besar lembaga keungan, seperti perbankan dan asuransi, mereka pasti memiliki divisi legal, dan itu sudah menjadi kewajiban perusahaan dalam melaksanakan GCG. Artinya, perbankan, finance dan lembaga pembiayaan, asuransi, atau apapun namanya, dapat membayar ahli hukum untuk membuat perjanjian dengan client atau nasabah.

Persoalan seringkali muncul ketika terjadi ketidakseimbangan  antara perusahaan besar tersebut dengam client/nasabah/masyarakat yang belum/tidak paham hukum, ditambah lagi dengan penjelasan marketing perusahaan yang berbeda dengan isi perjanjian yang ditandatangani nasabah.

Nasabah biasanya lebih memberi perhatian pada janji manis sales kredit perbankan/  sales asuransi drpd isi perjanjian. Karena biasanya perjanjiannya tebal,sepertinya sengaja dibuat tebal, banyak, dan mutar2. Apalagi perjanjian asuransi. Kapan bacanya?. Jangan2 salesnya juga gak pernah baca perjanjian yang biasanya ditandatangani nasabah.

Ketika terjadi sengketa hukum, masyarakat yang jarang mampu membayar lawyer akan kesulitan menghadapi perusahaan yang sudah memiliki divisi legal. Dan perusahaan besar itu akan menggunakan lawyer mereka untuk menuntut atas dasar apa yang sdh di tandatangani nasabah. Padahal nasabah sangat mungkin tidak paham/membaca detail isi perjanjian itu.

Perlu dilakukan penelitian oleh pemerintah, khususnya OJK, apakah nasabah paham/membaca detail isi perjanjian dalam transaksi keuangan?

Sehingga saat terjadi sengketa, masyarakat tidak asal protes ke pemerintah dan OJK. Saat ini, masih banyak yang bingung, dimana peran pemerintah dan OJK?.

Jika masyarakat dirugikan oleh perjanjian, karena kebodohan (seolah sengaja dibuat agar menjadi bodoh), maka apa beda dengan kredit cicil rentenir jaman penjajahan dahulu?  Cuma beda konteks.  Satu konteks era jaman penjajahan, satu konteks era kapitalis liberal. Adanya aturan dan tidakadanya tidak begitu berpengaruh bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang belum paham aturan keuangan.

Dalam konteks mareketing via tlp yang sekarang sering di gunakan oleh perusahaan asuransi, yang biasanya berafiliasi dengan perbankan yang mengeluarkan kartu kredit, betapa masyarakat dalam posisi lemah. Ketika masyarakat yang sudah terlanjur menjadi nasabah, mereka akan kalah karena tidak memiliki rekaman  tlp sebagai bukti. Sedangkan perusahaan tersebut memiliki karena mereka sudah siap dari awal jika terjadi perselesihan.

Kalaupuan memiliki bukti rekaman, karena banyak hp android yang sudah otomatis dipasang rekaman, tapi belum tentu mereka bisa menang dipengadilan karena tidak memiliki lawyer dan akan mau kehilangan waktu untuk ngurus sengketa itu. Karena kehilangan waktu sama dengan terjadi adanya opprtunity cost.

Sedangkan, perusahaan2 besar itu sudah pasti memiliki lawyer tetap, jadi jika terjadi masalah hukum mereka sudah tidak perlu membayar lagi dan perusahaan tetap berjalan seperti biasa.

Belum penggunaan debt collector oleh perusahaan perbankan/ pemberi kredit yang pasti membuat tidak nyaman, dan juga mengganggu keselamatan.

Dan kasus seperti ini cenderung meningkat. Maka, disinilah peran pentingnya BPD dan BPR milik pemda. Harus kembali ke tujuan semula, diantaranya untuk membantu masyarakat dibidang keuangan dan memberi pendidikan dan pemahaman terkait lembaga keuangan, khususnya perbankan. Sehingga dapat mengurangi sengketa antara masyarakat dengan lembaga keuangan sekaligus menghilangkan rentenir. Meskipun hal ini merupakan tugas pokok dari OJK.

Hal ini sebenarnya menjadi sangat strategis bagi BPD dan BPR milik pemda ditengah menurunnya rasa memiliki masyarakat terhadap kedua lembaga tersebut.

JIka terjadi sengketa perusahaan lembaga keuangan dan masyarakat, dimana peran negara dalam memberi keadilan warganya? Apakah masyarakat akan kalah oleh perusahaan2 kapitalisme? Dan ternyata perusahaan kapitalis itu bisa jadi dimiliki oleh pemerintah sendiri. Bahkan sudah banyak yang dimiliki oleh asing.

Kalau jaman orde baru, rakyat lemah berhadapan dengan pemerintah (penguasa dan aparaturnya), tapi era sekarang rakyat lemah berhadapan dengan perusahaan2 kapitalis, yang biasa menggunakan debt collector, lawyer, atau kekuatan lainnya.

Dan masyarakat akan sulit menghindarinya.  Kenapa? Karena dalam keseharian tidak mungkin lepas dari perusahaan kapitalis. Dari mulai lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan), kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Kalau sudah begini masyarakat mau ngadu kemana? Apakah mau mengadu ke rumput yang bergoyang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar