Senin, 13 Juli 2015

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik pemda dan Bank Pasti Rentenir

Pemerintah daerah saat mendirikan BPR, pasti memiliki tujuan tertentu. Menurut UU 5/62 tentang perusahaan daerah, dan pasal 331 ayat 4 UU 23/14,  tujuan mendirikan BUMD hampir sama, yakni meningkatkan perekonomian daerah, memberikan manfaat umum dan mendapatkan laba dan/atau deviden.

Semestinya, saat pemda mendirikan BPR, tujuannya harus dinyatakan dengan jelas dan tegas. Misalnya untuk meningkatkan perekonomian (saja), diantaranya dengan memberikan fasilitas kredit yang mudah dan murah bagi masyarakat. Atau dari ketiga tujuan itu  cukup 2 yang harus menjadi prioritas.

Patut dicermati, ternyata tujuan pendirian BPR milik pemda di perda pendiriannya, hampir semuanya, masih menyebutkan ketiga hal tersebut dan tanpa penjelasan prioritasnya yang mana dari ketiganya. Dan dalam periode bussines plan nya juga begitu, serba umum dan kurang fokus.

Hal ini menjadi penting, karena kaitannya dalam menentukan arah kebijakan, strategi dan penilaian kinerja BPR milik pemda. Sebab selama ini banyak pengelola BPR milik pemda menjadi bingung, mana yang harus menjadi tujuan utama dan prioritas. Dan juga, pengelola dibingungkan dengan penilaian kinerja mereka. Seringkali masyarakat mengharapkan kemudahan dan bantuan BPR milik pemda, disisi lain DPRD biasanya meminta deviden yang besar.

Saat ini, hal tersebut sangat relevan untuk didiskusikan kembali, karena hal ini penting.  Mengapa? Untuk mengingatkan kembali spirit pendirian BPR milik pemda.

Karena dahulu, masih banyak masyarakat apabila mengalami masalah keuangan, pertama dan utama yang dihubungi adalah rentenir. Jadi, supaya masyarakat tidak terjebak dalam lingkaran benang kusut permodalan, pemda mendirikan BPR. Sehingga dikenal BPR milik pemda. Artinya apa? Tujuan pendirian BPR milik pemda awalnya bukanlah mencari keuntungan. Tapi membantu meningkatkan perekonomian masyarakat.

Permasalahannya sekarang ini, ketika pengambil kebijakan BPR milik pemda yang disana terdapat KDH dan DPRD, seringkali melupakan spirit awal pendirian BPR tersebut. Mereka lebih mudah memahami yang tertulis di UU dan perda pendirian BPR. Artinya, ketika di UU dan perda pendirian BPR milik pemda di tulis 3 tujuan tersebut dan tanpa menegaskan prioritas mana, menjadikan ambigu bagi pengambil kebijakan dan pengelola BPR milik pemda. Apakah mementingkan perekonomian atau meningkatkan laba dan/atau deviden.

Apalagi apabila  LSM tahunya BPR itu harus untung, pembina di pusat juga begitu, DPRD juga begitu, dan KDH juga tidak memahami spirit awal pendirian BPR tersebut, maka tidak heran jika BPR akhirnya dijadikan target untuk meningkatkan PAD saja. Yang akhirnya pengelola BPR juga tidak akan berani berbeda pendapat. Karena yang utama adalah mengejar LABA, akhirnya tujuan dari sisi meniningkatkan perekonomian masyarakat menjadi terlupakan.

Kalau sudah begitu, BPR milik pemda juga akan memberikan bunga yang tinggi, minimal sama dengan BPR lainnya. Bisa2 bunganya tidak jauh beda dengan pinjaman di masyarakat yang tanpa jaminan, yang sekarang lagi marak di masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya, siapa yang akan membantu masyarakat dari kemudahan memberikan pinjaman dan membela masyarakat terbebas dari rentenir?

Akhirnya BPR milik pemda berlaku sama, hanya beda seragam dengan rentenir. Meskipun hal ini tidak berlaku bagi semua BPR milik pemda, tetapi jika dilihat dari target laba dan deviden yang harus disetor ke pemda dikebanyakan pemda, hal ini bisa menjadi pertanda.

Jika cara berpikir ini tidak segera diubah, maka BPR bisa diplesetkan menjadi Bank Pasti Rentenir. Jika pemda, melalui BPR nya tidak bisa membantu, terus siapa yang membantu masyarakat?

Apakah pemda melalui incumbent akan membantu masyarakat saat menjelang pilkada saja? Seperti kebanyakan yang terjadi sekarang ini.

Apakah mungkin, masyarakat berharap bantuan dari perbankan nasional? Apalagi berharap dari bank nasional yang sahamnya sebagian besar sudah dimiliki asing? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar