Selasa, 31 Mei 2016

Lorong penghisap waktu bernama TOL

Pagi hari bagi pekerja yang berasal dari tangerang yang bekerja di jakart yang melalui tol merak - jakarta pasti merasakan kemacetan yang luar biasa, kemacetan itu disebabkan beberapa hal:
1. sejak di buka tol jalur lingkar barat (JLB).
2. sejak kenailan tarif menjadi Rp.5.500 dari semula Rp.5000.
3. Dibukanya gerbang tol alam sutra dan gerbang karang tengah.
4. Seringnya operator tol tidak membuka semua gardu pembayaran.
5. Beberapa kali ada perbaikan jalan di sekitar gerbang pembayaran tol.

Sejak tol JLB dibuka era pemerintahan pak SBY, banyak sekali kendaraan yang beralih melewati tol t.b simatupang, dimana sebelumnya melewati tol arah priuk. Hal yang sama juga yang bersal dari arah sebaliknya. Efek dari ini adalah kemacetan di gerbang tol karang tengah menuju tangerang, khususnya pada sore hingga malam.

Kenaikan tarif Rp.500 sangat berdampak dengan kelancaran pembayaran, sangat mungkin kenaikan tersebut sangat berarti bagi operator tol, tapi dampak kenaikan yang Rp.500 rupiah jauh tidak sebanding dengan menjadi panjangnya antrian digerbang tol.

Kenaikan tarif ini alasannya karena operator tol sudah menyediakan fasilitas tambahan yang berkaitan dengan keselamatan seperti tanda dan marka jalan. Tapi, apakah regulator pernah memperkirakan dampak dari Rp.500 tersebut.

Dibukanya gerbang tol pasti akan membawa multiplayer efek bagi daerah sekitar. Hal itu bisa dilihat ramainya kompleks alam sutra, sekarang ini sudah dipenuhi gedung2 tinggi. Tapi dampak dari itu semua adalah bertambahnya jumlah kendaraan keluar masuk melalui gerbang tol alam sutera. Hingga berakibat semakin panjangnya antrian di gerbang tol.

Setelah dibukanya pintu alam sutera, telah dibuka pula pintu karang tengah dan sumarecon serpong. Dan hal ini pasti berdampak luar biasa terhadap kepadatan kendaraan yang melalui jalan tol.

Seringnya operator tol tidak membuka semua gardu pembayaran dari kapasitas yang tersedia. Masih ingat peristiwa menteri BUMN dahlan iskan melakukan aksi yang menarik perhatian masyarakat dengan marah2 kepada petugas tol karena tidak membuka semua gardu pembayaran. Padahal untuk mengurangi kemacetan dengan membuka semua gardu tidak perlu memerlukan kecerdasan luar biasa. Tapi, aksi heroik pak dahlan menimbulkan kesan luar biasa, padahal sudah ribuan pengendara mengeluh karena tidak dibukanya gardu tol, tapi terasa seperti angin lalu karena keluhan mereka tidak menarik perhatian media masa.

Beberapa kali ada perbaikan jalan di sekitar gerbang pembayaran tol. Meski perbaikan hanya 1 lajur pasti menimbulkan kemacetan yang luar biasa, karena perbaikan itu memerlukan space bagi alat berat dan material yang digunakan, dan tentu saja garis rambu keamaan jalan di sekitar jalan yang diperbaiki akan mengambil tempat diluar perbaikan, sehingga menambah lajur yang tidak bisa digunakan.

Dampak dari akumulasi kelima penyebab tol tersebut pasti luar biasa. Rata2 kendaraan akan memerlukan waktu sekitar 20-40 menit untuk bisa melewati gerbang tol karang tengah dibandingkan sebelumnya.

Memang terlihat beberapa langkah perbaikan yang telah dilakukan operator tol, tapi belum begitu banyak mengurangi kemacetan digerbang tol karang tengah. Adapun beberapa langkah tersebut yaitu:
1. Telah dibangunnya beberapa gardu pembayara di lajur  kiri.
2. Ada perubahan dari gardu biasa ke gardu otomatis.
3. Perubahan penggunaan gardu. Jika pagi gardu digunakan dari arah tangerang, jika sore gardu dipakai dari arah jakarta.
4. Adanya penambahan petugas yang proaktif menjemput pembayaran di depan gardu pembanyaran dengan memberi bukti pembayaran berupa kartu. Hal ini biasanya dilakukan pada jam2 tertentu.

Meski demikian, perlu komitmen yang kuat dari operator untuk  mengurangi kemacetan, diantaranya:
1. Menambah/mengubah gardu pembayaran miring seperti di cikupa atau bogor. Dan memastikan tidaknada gardu yang tidak dibuka hanya karena tidak ada petugas yang masuk.
2. Mengatur kenaikan tarif sehingga tidak dengan pengembalian berbentuk pecahan.
3. Untuk penambahan jumlah dan jam kerja bagi petugas yang proaktif menjemput pembayaran di gardu pembayaran. Apalagi di jam2 tertentu yang memang rutin sudah terjadi kepadatan. Apalagi jika ada perbaikan jalan di depan gerbang tol. Jangan hanya karena mau menghemat tenaga kerja yang tidak tapi merugikan pengguna. Yang tentu saja nilainya tidak sebanding dengan kerugian pengguna tol.
4. Memberi potongan/diskon pembayaran untuk jam2 tertentu, sehingga pengguna bisa memilih untuk berangkat di jam2 yang diskon.
5. Memberi pengumuman di depan pintu masuk tol karawaci, tangerang, alam sutera jika terjadi kemacetan panjang. Hal ini bisa mengurangi kemacetan karena pengguna akan mencari jalur alternatif. Jangan justru pengguna merasa dijebak oleh operator tol.

Dengan kelima langkah tersebut, diharapkan tol tidak menjadi lorong penghisap waktu. Jangan sampai begitu pengguna  masuk pintu tol, kemudian terjebak kemacetan dan tidak ada alternatif keluar atau pintu balik. Terhisap oleh arus gerak tol yang merayap seperti barisan keong.

Jumat, 27 Mei 2016

Standar hotel international dan SNI

Seringkali berasa begitu masuk kamar hotel, standarnya ya begitu2 saja.....misalnya ada pemanas air dengan kopi nescape bukan kopi tubruk seperti kapal api, ada teh dan beberapa gula, kemudian dikamar mandi ada perlengkapan mandi, dan juga sudah dinsediakan sandal kamar.

Apakah tidak bisa dibuat standar itu sesuai kebutuhan pelanggan yang kebanyakan juga warga indonesia. Seperti selera kopi, ditambahkan pilihan dengan kopi tubruk penyediaan sajadah, buah lokal untuk complement,  welcome drink dengan minuman tradisional, bahkan jika perlu disediakan guling untuk pelengkap tidur.

Seandainya bangsa ini bisa membuat standar2 yang menguntungkan perekonomian daerah, pasti akan memiliki multiplayer effect yang luar biasa. Bukan hanya mengikuti standar international yang belum tentu kita butuhkan.

Yang pasti untuk mewujudkan itu harus dengan komitmen yang kuat, sehingga terjadi arus balik penggunaan barang dan standar nasional.

SURABAYA BERSIH

Dalam beberapa bulan terakhir, meski sebentar telah diberi kesempatan oleh pemilik alam semesta untuk berkunjung ke beberapa kota besar di indonesia. Hingga tiba di surabaya, meski ini kunjungan yang keseratus lebih ke kota surabaya, tapi akhir mei 2016 sungguh terkesan dengan kebersihan sepanjang jalan2 di kota surabaya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah masih banyaknya pohon hijau yang tumbuh dan tampah segar sekali.

Sempat bertanya ke warga surabaya mengenai bersihnya jalanan di kota surabaya, jawabnya sederhana, sejak walikota bu risma, kebersihan kota surabaya sangat berbeda, dan juga konsistenai  penambahan ruang hijau di tengah kota.

Jika dikaitkan dengan kepemimpinan bu risma, bukanlah suatu pencitraan ketika beliau langsung turun tangan memberi contoh untuk buang sampah pada tempatnya, bahkan mengambil sampah untuk dimasukkan di tempat sampah. Mengapa bukan pencintraan, karena sangat terasa ketulusan dan istiqomah beliau untuk menjaga kebersihan.

Mengapa dikota2 lain di indonesia tidak banyak yang tampak seperti kota surabaya. Bahkan kota budaya yogyakarta juga tampak jauh dibandingkan dengan kota surabaya dalam hal kebersihan. Mengapa? Apakah ini masalah kebudayaan? Atau masalah kepemimpinan? Bisa jadi dua2nya..... tapi yang sangat penting untuk mewujudkan kota bersih, hijau adalah dambaan warga.

Sabtu, 21 Mei 2016

Pemodal dulu, pemodal sekarang dan pemodal akan datang

Semasa duduk di SMP, dan diulang2 lagi di SMA, bahwa yang merampas kekayaan alam bangsa indonesia adalah belanda, yang terpikirkan adalah pemerintah belanda atau kerajaan belanda. Tapi, saat itu juga menyadari agak membingungkan, kenapa yang diajarkan diantaranya adalah periodesasi Gubernur Jenderal VOC yang berseragam militer dengan segala tingkah polahnya.

Dan saat itu entah karena memang belum diajarkan atau memang keterbatasan pemahaman pengajar, sepertinya tidak pernah disinggung apa hubungannya VOC dan kerajaan belanda. Bagaimana  VOC dilihat dari sisi organisasi dagang atau asosiasi pemodal.

Ternyata belakangan baru tahu, bahwa VOC ternyata badan usaha, tetapi juga memiliki tentara.

Apa pemodal sekarang tidak memiliki tentara? Secara langsung mungkin tidak, tapi belajar dari perang irak, yang menarik begitu perang selesai ternyata pemodal paman sam memprioritaskan bagi2 kilang minyak irak. Jadi, betulkah penghancuran bangsa seribu malam oleh paman sam karena senjata kimia? Apalagi sampai selesai perang juga tidak terbukti.

Apa bukan karena ambisi pemodal  yang ingin menguasai kilang minyak di irak, hingga mereka menggunakan militer paman sam untuk hal itu.

Bagaimana dengan pemodal kedepan? Sangat mungkin sama, sebab DNA pemodal adalah mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya yang ada untuk making money dan making money.

Apalagi sekarang, tidak ada pemisahan pemodal dan politisi, disaat yang bersamaan parpol jauh dari kemandirian finansial yang bersumber dari anggota dan masyarakat bawah. Sehingga tampak,  pemodal dan pemodal yang politisi berada di belakang parpol sebagai investor politik di parpol.

Akhirnya, kembali ke manusianya. Bahwa sangat penting untuk mengajarkan menjadi manusia yang sebenarnya.

Pemilik Angkasa

Ketika masih kecil, selalu terbayang angkasa yang luas itu tidak ada yang memiliki. Karena angkasa itu ciptaan Allah untuk semua manusia.

Seiring waktu ketika remaja era 90an, baru memahami kalau angkasa itu identik dengan TNI angkatan udara. Sempat terpikir untuk bisa menjadi pilot atau TNI AU, tapi itu hanya keinginan saja.

Tahun 2015an mulai ada kegielisahaan dan pertanyaaan2 yang mengganggu. Sebenarnya angkasa itu punya siapa? Apa punya semua rakyat? Atau punya orang kaya? Apa ounya penguasa? Apakah angkasa itu termasuk ruang publik atau ruang privat? Dimana dan kapan negara harus hadir mengatur dan menjaga angkasa?

Dan akhirnya baru sadar dan yakin, sebagai rakyat, ternyata sudah kehilangan ruang angkasa itu. Betapa tidak, setiap menonton tivi, sebagian besar program acaranya didesain hanya untuk kepentingan pemilik stasiun tivi dan pemilik modal kelompoknya. Terkadang dikuasai penguasa dari partai politik, apalagi menjelang mukernas parpol.

Akhirnya menjadi sulit untuk percaya pada berita2 di tivi, hingga berujung pada ketidakpercayaan pada lingkungan. Ketika hal ini memuncak pada himpunan masyarakat Indonesia, maka Indonesia sudah kehilangan sosial capital. Tidak nyata tampak, tapi begitu terasa akibatnya. Bukankah sosial capital juga sepnting modal ekonomi, dan modal politik?

Bukankah negara harus hadir kata pak jokowi dalam nawacitanya? Kehadiran negara itu hanya dapat dirasakan jika negara menggunakan kekuasannya untuk memaksa norma dan kesepakatan sehingga tercipta keadilan.

Keadilan, karena sebagai rakyat juga harus merasakan dan memiliki angkasa raya yang bebas kepentingan, angkasa raya yang menumbuhkan imaginasi rakyatnya setinggi dan seluas angkasa itu sendiri.

Dan negara harus hadir di angkasa pertiwi.