Sabtu, 21 Mei 2016

Pemilik Angkasa

Ketika masih kecil, selalu terbayang angkasa yang luas itu tidak ada yang memiliki. Karena angkasa itu ciptaan Allah untuk semua manusia.

Seiring waktu ketika remaja era 90an, baru memahami kalau angkasa itu identik dengan TNI angkatan udara. Sempat terpikir untuk bisa menjadi pilot atau TNI AU, tapi itu hanya keinginan saja.

Tahun 2015an mulai ada kegielisahaan dan pertanyaaan2 yang mengganggu. Sebenarnya angkasa itu punya siapa? Apa punya semua rakyat? Atau punya orang kaya? Apa ounya penguasa? Apakah angkasa itu termasuk ruang publik atau ruang privat? Dimana dan kapan negara harus hadir mengatur dan menjaga angkasa?

Dan akhirnya baru sadar dan yakin, sebagai rakyat, ternyata sudah kehilangan ruang angkasa itu. Betapa tidak, setiap menonton tivi, sebagian besar program acaranya didesain hanya untuk kepentingan pemilik stasiun tivi dan pemilik modal kelompoknya. Terkadang dikuasai penguasa dari partai politik, apalagi menjelang mukernas parpol.

Akhirnya menjadi sulit untuk percaya pada berita2 di tivi, hingga berujung pada ketidakpercayaan pada lingkungan. Ketika hal ini memuncak pada himpunan masyarakat Indonesia, maka Indonesia sudah kehilangan sosial capital. Tidak nyata tampak, tapi begitu terasa akibatnya. Bukankah sosial capital juga sepnting modal ekonomi, dan modal politik?

Bukankah negara harus hadir kata pak jokowi dalam nawacitanya? Kehadiran negara itu hanya dapat dirasakan jika negara menggunakan kekuasannya untuk memaksa norma dan kesepakatan sehingga tercipta keadilan.

Keadilan, karena sebagai rakyat juga harus merasakan dan memiliki angkasa raya yang bebas kepentingan, angkasa raya yang menumbuhkan imaginasi rakyatnya setinggi dan seluas angkasa itu sendiri.

Dan negara harus hadir di angkasa pertiwi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar