Selasa, 31 Januari 2017

Media terasa asam

Enaknya masakan itu karena adonan bumbu yang pas, serta timing saat mencampur yang disesuaikan dengan panasnya api.

Hal yang sama juga dalam menyajikan berita oleh berbagai media, khususnya berita politik, harusnya terjadi keseimbangan, sehingga pembaca mendapat berita yang enak dan pas.

Mungkin karena efek pilkada, media2 besarpun kehilangan taste dalam menyajikan berita politik, terasa ketidakseimbangannnya. Ketidakseinbangan darj substansi, atau dari sisi lamanya laman website tampil.

Era orde baru, media dikontrol kuat oleh pemerintah, tapi siapakah sekarang ini yang bisa mengontrol dan mengendalikan media?

Bukankah pemilik media sebagian adalah politisi dan pengurus parpol. Artinya, pemilik modal di media itu pasti konglomerat, dan sekaligus politisi pemegang kekuasaan. Yang pasti tidak bisa dipungkiri adalah pemilik media pasti orang kaya, tepatnya borjuis.

Era seperti apa media bisa benar2 menjaga netralitas, independen dan mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Apakah harus menunggu puluhan, ratusan  orang seperti cak nun, yang mau dan mampu memberikan pencerahan berakhlak, berbangsa kepada masyarakat dengan tampil di tv lokal.

Jika rakyat menyadari pllitik media, sepertinya tidak akan sampai 20 tahun lagi, para borjuis akan menguasai media, sekaligus menguasai pusat2 kekuasaan.

Apakah itu tanda2 dajjal sudah mulai datang??

Sabtu, 28 Januari 2017

Ruang elektronik dan empati

Munculnya "ruang elektronik" dalam proses kehidupan secara luas menyebabkan hilangnya proses "social learning" yang memungkinkan berempati dilakukan dalam hubungan antar manusia. (Hal 40, konstruksi dan reproduksi kebudayaan, pustaka pelajar)

Dalam konteks sekarang ini, untuk sebagian besar masyarakat indonesia betul sekali, apalagi menjelang pemilu, pemilukada, dan pilpres.

Tapi sebenarnya, ruang elektronik itupun pernah digunakan untuk berempati, hingga masyarakat bersatu untuk membantu prita, dan beberapa momen kemanuasiaan lainnya.

Sayangnya, itu semua tumbuh seperti jamur, semusim, tanpa ada yang menyemai untuk selalu tumbuh berkembang.

Dan masa2 tertentu...saat banyak masyarakat yang baik diam, maka jadilah ruang elektronik itu menjadi arena saling menyalahkan, menghujat dan sumber fitnah. Dan sepertinya ruang elektronik itu telah menjadi salah satu bukti atau tanda akhir jaman, sulit membedakan antara yang benar dan salah, sulit membedakan orang baik dan orang jahat.

Hampir semua bangsa telah mengalami kesulitan dalam mengelola ruang elektronik. Dampaknya timur tengah mengalami arab spring, paman sam dalam pilpresnya hingga terpilih donald trump...

Semoga kita semua terhindar dari fitnah dan memfitnah.

Kamis, 26 Januari 2017

Menjadi juara kelas

Apalah arti suatu nama? Begitu kata shakespere. Tapi, apakah hal itu juga sama, apalah arti menjadi juara kelas? Masih begitu pentingkah menjadi juara kelas?

Atau sebaliknya, apakah begitu memalukan ketika tidak juara kelas?

Generasi  sekarang yang kira2 berumur 25 s.d 60 tahun merupakan produk dari metode pendidikan yang menerapkan rangking di kelas.  Suatu masa generasi yang menganggap rangking adalah yang utama, rangking adalah kebanggaan diri dan keluarga, rangking adalah pintu masuk ke sekolah yang lebih elit, yang akhirnya seakan2 akan menjadi kunci kesuksesan didunia kerja.

Tapi benarkah proses dalam mencapai rangking itu juga menjadi pertimbangan dan perhatian, melebihi dari rangking itu sendiri?

Proses yang mengedepankan kejujuran, kebersamaan, negosiasi dan sikap mengakui kesalahan dan kebenaran diri dan/atau orang lain.

Pasti tidak semua, sehingga tidak heran jika generasi bangsa sekarang ini, sebagian besar lebih pragmatis, pokoknya bagaimana mendapat rangking. Anak didik juga tidak bisa di salahkan, karena lingkungan keluarga, sekolah dan sebagian dunia kerja juga menuntut hal itu.

Keluarga bangga dengan rangking anaknya, sekolah bangga dengan nilai tertinggi siswanya sekabupaten/provinsi, dunia kerja sebagian juga begitu. Bahkan sekolah2 ikatan dinas pemerintah yang gratis, juga lembaga pemberi beasiswa juga mengedepankan hanya yang dapat rangking.

Akhirnya, sebagian besar mereka tidak mau tahu repotnya, bahwa ada suatu proses yang rumit, lama, dan penuh perjuangan untuk mencapai keberhasilan yang ideal, tapi tampaknya sebagian besar anak didik dan orang tua, bahkan guru2nya juga lebih senang melihat endingnya saja, nilai bagus, dapat rangking.

Generasi yang bermodal rangking, atau modal tanpa rangking, akhirnya mereka sampai juga ke dunia nyata kehidupan, bukan sekedar dunia kerja.

Betapa dikehidupan nyata terdapat perbedaan nilai2 yang di perlukan di bandingkan dengan nilai2 rangking juara kelas. Gap dari nilai ini akhirnya menjadi masalah berikutnya dari output setiap pekerjaan.

Apakah sebagian masyarakat yang minder dengan bangsa lain dan sikap pragmatis tadi adalah suatu produk dari model pendidikan yang mengedepankan rangking??

Semoga generasi selanjutnya, dididik dengan mengedepankan sisi kebersamaan, kerjasama dan gotong royong, kejujuran dan tanggungjawab.  Semoga.....

Pahit

Era sekarang ini, menulis memang di mudahkan oleh teknologi IT, tp menakutkan karena UU ITE.

Apalah arti suatu kemudahan, jika rasa ketakutan itu lebih besar.

Lebih menentramkan mana, sulit tapi tidak menakutkan? Atau mudah tapi menakutkan.

Terus piye ngini iki....
(Soetta, 20.45 WIB, 26 Januari 2017, dalam pesawat, JT 590)

Senin, 09 Januari 2017

Jempolmu harimau, jempol OK

Mulutmu harimaumu, itu dulu...sekarang
Jempolmu harimaumu.....

Keinginan terbesar manusia diantaranya ada di mulut. Mulut untuk memasukan makanan, karena didalamnya terdapat lidah yang memiliki indra perasa. Dan mulut untuk keluar angin yang bernada saat berbicara, tentu saja dengan bantuan lidah juga.

Lihatlah....
Betapa terpukaunya masyarakat saat mendengar pidato presiden sukarno. Betapa khusyunya ibu2 saat mendengarkan pengajian a a' gym.

Suara yang keluar dari mulut memang luar biasa berpengaruh, adalah anugerah besar sang maha pencipta.

Perubahan teknologi komunikasi hingga adanya smartphone, menjadikan memudahkan untuk memenuhi keinginan mulut untuk berbicara, dan juga untuk menuangkan kata2.

Dan smartphone dengan model qwerty telah menjadikan jempol tangan untuk mewakili mulut dalam mengungkapkan pikiran dan keinginan menjadi tulisan yang akan memiliki seribu arti dan makna.

Dan akhirnya, jempol bukan hanya untuk pertanda OK, tp juga untuk menjadikan manusia itu mengaung seperti harimau.

Minggu, 08 Januari 2017

Liberalisasi Agen perubahan

Buku yudi latif, genealogi inteligensia, pengetahuan dan kekuasaan inteligensia muslim indonesia abd XX, awalnya merupakan sebuah disertasi beliau,  dengan jelas dan ceto menjelaskan bagaimana orang2 elite terdidik menjadi agen perubahan bangsa.

Tapi, begitu teringat dengan pendidikan sekarang ini, khususnya lembaga pendidikan swasta dan asing (biasanya menyebut bertaraf internasional) yang telah banyak hadir di kota2 besar, masalahnya mungkinkah lembaga pendidikan tersebut masih mengajarkan Pancasila? Melakukan upacara bendera? Dan menyanyikan indonesia raya? Serta mengajarkan kewarganegaraan?

Semoga....

Bagaimanapun juga, sebagian anak didik lembaga pendidikan tersebut akan sangat mungkin  menjadi agen perubahan bangsa? Artinya memiliki kuasa atas kebijakan negara ini. Apa jadinya jika mereka tidak memahami pancasila, pasti keniscayaan untuk bisa mengamalkannya.

Tugas negara bukan hanya sekedar "mencerdaskan", tapi harus "mencerdaskan kehidupan berbangsa". Artinya bukan sekedar cerdas ilmu politik, ilmu ekonomi, dan ilmu sosial budaya, tapi cerdas dalam KEHIDUPAN BERBANGSA.

Terus ikipiye??  Jadi ingat pesan a'a gym, mulai dari diri sendiri.......