Rabu, 29 Maret 2017

Bukan mencari pengadilan, tapi keadilan (bag 2)

Tulisan berikut ini kutipan dari bukunya Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Hukum kejahatan bisnis, hal 12::
"....., pandangan Friedmann hanya cocok bagi masyarakat hukum yang berlandaskan filsafat liberalisme-kapitalisme, dan tidak cocok dengan masyarakat hukum yang berfilsafat Pancasila. Karakter hukum Barat yang terobsesi pada kekuatan litigasi di pengadilan, tidak cocok dengan karakter hukum Pancasila yang bertujuan menciptakan perdamaian dengan mendahulukan proses musyawarah dan mufakat".

Memang betul,  ideologi negara kita Pancasila, tapi Pancasilanya juga sudah menjadi liberal pasca amandemen UUD 1945. (menurut Prof. DR. Kaelan dalam buku Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila)

klo sudah begini, ikipiyeto??

Pembangunan ekonomi (saja)

Ketika masih orde baru, selalu di sampaikan, bahwa pembangunan itu melalui POLEKSOSBUD, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Seiring waktu, diantaranya karena pengaruh globaliaasi, kekuatan kapitalis global, akhirnya ekonomilah yang menjadi pemenang, mendominasi 3 bidang lainnya.

Dominasi itu bisa dilihat dari berbagai hal, diantaranya::
1. Keberhasilan pembangunan negara selalu identik dengan pembangunan ekonomi. Bagaimana media dan para pejabat ini selalu mengedepankan dan memprioritaskan dan membanggakan kemajuan ekonomi.
2. Lembaga negara yang ngurusin pendapatan negara, pengelolaan uang negara, selalu mendapat prioritas. Hal ini bisa dilihat, kekuatan kelembagaan yang diatur dalam UU.
3. Besaran gaji biasanya tertinggi. Sangat fantastis gaji orang2 yang kerja di perbankan, ditjen pajak, OJK dan BI.
4. Karir orang2 yang di bidang ekonomi yang tiada matinya. Karirnya seakan2 berhenti jika orangnya benar2 sudah mati. Lihat saja, sudah menjadi menkeu, lanjut menjadi gubernur BI, bahkan ada lagi yang lanjut menjadi menkoperekonomian. Dari dirjen pajak, menjadi ketua BPK. Bahkan, setelah menjadi menkeu, menjadi pejabat world bank, balik lagi menjadi menkeu.

Masih banyak lagi yang bisa kita lihat dominasi bidang ekonomi, seringkali dalam kenyataan keseharian, limbah kebijakan ekonomi menjadi garapan orang2 hukum, dan juga mempengaruhi sosial budaya masyarakat. Misalnya, kasus BLBI, Bank Century menjadi limbah di aparat penegak hukum (APH). Cuci piring oleh APH merupakan pestanya orang2 di bidang ekonomi.

Perlu dicermati kembali dengan seksama, apakah dominasi pembangunan bidang ekonomi itu baik bagi anak cucu bangsa indonesia?? Bukankah semua harus seimbang, neben, tidak boleh berlebih2an.

Apalah enaknya, pembangunan ekonomi berkembang pesat, kalau tidak bisa tercipta ketenangan dan ketentraman?? Kalau tidak bisa memanusiakan manusia??

Apalah enaknya, pembangunan ekonomi tumbuh dengan tinggi, kalau akhirnya hanya menjadi kuli dan pembantu di negeri sendiri.

Apakah perjuangan pendahulu bangsa ini akhirnya akan dinikmati para tamu negeri ini??

Jumat, 03 Maret 2017

Di jakarta fleksibel, di daerah fluktuatif

Ada perubahan mendasar dalam perhitungan dana transfer dari pusat ke daerah t.a 2018, sebab kedepan dana transfer bersifat fleksibel, bagi pusat fleksibel, iya, tapi bagi pemda lebih tepatnya fluktuatif.

Maksud fleksibel itu besaran pagunya bisa berubah2 sesuai keadaan di pusat, tak terkecuali dana DAU yang selama ini sudah fix dari awal dengan formula tertentu.

Bagaimana keadaan APBD sekarang?

Sekarang ini, bagi daerah, belum tentu dapat informasi besaran final berapa dana transfer yang diterima saat menjelang penetapan APBD diminggu ke 4 bulan Desember.

Kepastian besaran nilai dana transfer seperti DAU, DAK, DBH yang diterima dari pemerintah pusat ditetapkan dalam perpres atau PMK, jadi jika perpres dan PMK terlambat, sangat mungkin akan ada beda pagu di APBD dengan nilai yang tercantum di perpres atau PMK.

Perbedaan biasanya memang terjadi, selain karena keterlambatan penetapan perpres dan PMK, juga sangat mungkin akan ada perubahan penetapan dalam perpres dan  PMK. Perubahan itu bisa karena kebijakan, atau kondisi tertentu seperti dalam transfer DBH di akhir TA selalu ada lebih atau kurang salur.

Dan perbedaan besaran itu akan di sesuaikan dalam perubahan APBD.

Bagamana jika ada lebih dan kurang salur? Kapan kepastian PMK lebih salur dan kurang salur di sampaikan ke pemda?

Bagaimana jika kurang salur diberikan setelah P.APBD? Seperti kabupaten di kaltim, pernah menerima kurang salur DBH 1.7 T setelah perubahan APBD? Maka akan menjadi SILPA, setelah silpa pemda besar, pemda akan dibilang oleh pejabat pusat tidak bisa mengelola APBD.

Dalam transfer DBH yang bersifat fluktuatif saja pemda sudah bingung membuat perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan APBD, bagaimana jika DAU dan DAK nya juga fluktuatif?

Misal, jika dana DAK sudah di perencanaan, sudah di APBD, bahkan sudah di lelang, sudah ada kontrak dengan pihak ketiga, tiba2 pagu DAK nya berkurang, lebih tepatnya dipotong (biasanya disebut optimalisasi), apa yang harus dilakukan pejabat pemda? Bagaimana menjelaskan ke pihak ketiga? Apakah ademdum pekerjaan itu mudah?

Artinya, pemda tidak punya uang untuk membayar pihak ketiga.

Sebenarnya turunnya besaran pagu DAK dan DBH diluar perkiraan pemda t.a 2015, 2016 sudah membuat banyak pejabat pemda pusing. Apakah kejadian tersebut belum menjadi pelajaran bagi pejabat di pemerintah pusat yang tusinya mentransfer dana daerah.

Bagaimana jika DAU yang notabene persentasinya terbesar bagi pendapatan pemda,  kedepan juga tidak ada kepastian pagu atau fluktuatif?

Bisa dibayangkan, betapa rumitnya mengelola APBD jika sumber2 pendapatan sangat fluktuatif. Artinya, semakin tidak ada kepastian besaran pendapatan, maka akan semakin sulit menentukan belanja. Dan pendapatan terbesar pemda hingga saat ini masih dari transfer pemerintah pusat, dan juga didesain memang pendapatan daerah itu terbesar dari transfer pusat.

Terus kalau rumit begitu, ikipiye?