Rabu, 27 Mei 2015

K/L Yang menikmati reformasi

Menurut Daron acemoglu dan jamew a. Robinson dalam bukumnya Mengapa negara gagal , bahwa suatu negara gagal karena masalah ekonomi dan politik.

Dalam konteks pemerintahan era pak harto hal itu sangat tepat. Bahwa reformasi terjadi saat krisis ekonomi, dimana saat terjadi inflasi, banyak pengangguran karena PHK, banyak bank2 bangkrut.

Dari sisi politik, masyarakat sudah bosan dengan politisi golkar yang tidak sama dengan ucapannya. Bahwa pemilu harus LUBER, langsung umum bebas dan rahasia. Padahal dalam prakteknya banyak pemaksaan untuk memilih golkar.

Setelah reformasi, banyak perubahan di kementerian dan lembaga di pemerintahan pusat. Dan perubahan itu seolah saling mendahului antar kementerian/lembaga.

Kementerian keuangan mengeluarkan UU 17/03 dan UU 1/04, serta UU 33/04, dgn ketiga UU tersebut menteri keuangan menjadi sangat powerfull.

Puncak dari kekuasaan kemenkeu adalah dengan menentukan remunerasi untuk kemenkeu sendiri. Tahun 2007 waktu ibu SMI menjadi menkeu, remunerasi menkeu terbesar diantara kementerian lainnya. Yang saat itu belum ada kementerian lainnya yang menerapkan remunerasi.  Apakah teori power tend to corroupt itu juga betul dalam hal ini? Andalah yang menilai hal ini.

Dengan alasan SOP nya sudah ada. Pertanyaan dari ini adalah, pertama apakah hanya menkeu yang sudah memiliki SOP? Bukankah TNI dan POLRI juga sudah memiliki SOP  dari jaman sukarno, termasuk cara melipat pakaian saja mereka memiliki SOP.

Kedua, apakah SOP kemenkeu dibuat sendiri atau pakai konsultan? Kalau pakai konsultan, kenapa kementerian lainnya juga tidak sekalian didanai untu bayar konsultan dalam menyusun SOP? Bukti kekuasaan penganggaran yang sangat powerfull di kemenkeu.

Menurut kabar remunerasi kemenkeu yang tertinggi akhirnya di 2015 di kalahkan oleh kementerian Setneg, MA, dan 3 kementerian lainnya. (ini masih perkiraan karena sulitnya mencari informasi perpres terkait remunerasi).

Pertanyaannya kenapa kok tiba2 ada kementerian/lembaga lainnya yang bisa meningkat drastis remunerasinya? Adakah ini ada keterkaitan dengan kedekatan menteri dengan presiden saat itu?

Hanya tuhan yang bisa jawab.

Jika betul dasarnya kenaikan remunerasi hanya kedekatan dengan pemegang kekuasaan di negeri ini, sederhana sekali cara menghitung remunerasi. Bisa jadi perlu perubahan nomenklatur dan definisi dari remunerasi.

Selasa, 26 Mei 2015

Batu Akik, kesadaran sbg manusia dan musrik

Batu akik, kadang disebut batu mulia, bahkan sekarang lebih sering disebut batu, dan saat ini batu sedang menjadi tren. Dari ujung sabang sampai merauke banyak orang lagi seneng batu. Baik laki2 atau perempuan,  baik pejabat atau orang biasa. Suatu hal yang luar biasa, karena tiba2 banyak orang tergila2 dgn batu.

Kejadian ini tampak lebih heboh daripada musim ikan koi, ikan lohan atau ikan lainnya. Dan batu tetap lebih banyak digemari daripada bunga gelombang cinta, mengapa?

Bisa jadi,  batu ini keindahannya bisa dirasakan oleh laki2 dan perempuan, dan bisa dibawa kemana aja, bisa dipake untuk cincin, liontin ato yang lainnya. Selain itu batu tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit, bandingkang dengam ikan yang harus diberi makan, ganti air bahkan bisa mati. Begitu pula dengan bunga, rumit pemeliharaannya dan tidak bisa dibawa kemana2.

Yang membanggakan dari batu adalah bisa dibentuk/gosok sendiri, kapan saja, dimana saja. Lihatlah banyak warung2 yang menyediakan gosok batu, bahkan banyak orang menggosok batu sambil tetap melakukan aktivitas utama. Bahkan, bbrp orang lebih banyak gosok batu dibandingkan kerja yang utamanya.

Dan yang lebih menarik dari semua itu adalah setiap gosok batu hasilnya pasti beda. Jadi ada keuinikan dari setiap batu yang dihasilkan. Hal inilah yang membuat orang2 akan selalu bersemangat menggosok batu.

Apalagi bila batu dikait2kan dengan yang ghaib. Tidak ada habis2nya, karena yang membicarakan juga gak tahu hal ghaib itu sendiri. Dan pembicaraan karena kejadian ghaib batu itu sendiri sekarang sudah tidak malu2 lagi, sudah biasa sekali. Sehingga kalau dahulu takut karena dibilang musrik, kalau sekarang sudah tidak lagi.

Hal ini sangat berbeda sekali dengan era 3 tahunan lalu. Pakai batu besar itu masih malu...karena sering dianggap klinik, dukunlah...kalau sekarang, pakai batu itu biasa, bahkan banyak batunya yang besar2, bahkan dengan 2 tangannya terkadang terdapat 3 batu.

Yang tidak habis pikir adalah, kalau ada orang tidak memakai batu akan dibilang itu tangan manusia atau tangan kera. Sampai sebegitukah sudah banyak orang merasa malu jika tidak memakai batu, bahkan  tidak merasa percaya diri sebagai manusia kalau tidak memakai batu. Apakah ini bisa diartikan terjadi krisis kesadaran manusia atas kemanusiaannya?

Sabtu, 23 Mei 2015

Dimana kopi kesukaanku

Sepertinya tidak ada yang salah dengan investor yang masuk Indonesia. Tp bila dicermati,  mengapa saat mereka datang, mereka kurang menempatkan kebudayaan dan kebiasaan anak bangsa ini.

Misalnya di hotel yang seringkali tidak menyediakan kopi tubruk/bubuk yang biasa (seperti kopi kapal api, atau top kopi, atau kopi lampung dll).

Mengapa mereka lebih sering menyediakan kopi seperti "nescafe" yang rasanya belum tentu sama dengan selera anak bangsa ini. Apakah pengelola hotel pernah melakukan survei, kopi apakah yang diinginkan oleh pengunjung? 

Kenapa pihak hotel kurang bangga dengan produk tradisional. Atau ada aturan lainnya yang mengharuskan  kopinya agar tidak menggunakan kopi tubruk/bubuk biasa?

Padahal belum tentu pemilik hotel tersebut juga orang asing. Bahkan standar hotelnya pun terkadang masih biasa2 saja.

Yang pasti, seringkali orang kampung seperti saya ini, merasa kehilangan rasa saat harus menikmati kopi hotel.

Menyamakan pusat dan daerah

Ketika membaca UU 17/2003 ttg keuangan negara, UU 1/2004 ttg perbendaharaan negara, maka dpt dengan mudah ditangkap dasar berpikirnya para pembuat UU tersebut terkait kedudukan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah di bidang keuangan, khususnya keuangan negara dan keuangan daerah.

Dasar pemikiran yang digunakan adalah keuangan negara = keuangan daerah, hal ini bisa dilihat dari usaha untuk menyamakan BUN dan BUD, SKPKD selaku PPKD disamakan dengan menkeu. Apakah hal tersebut betul? Berikut alasan, bahwa keuangan negara tidak sama dengan keuangan daerah, meskipun sepertinya "hampir sama".

Pertama, di pemerintah pusat ada keudalatan negara, di pemda tidak ada kedaulatan daerah. Pada UU 17/2003 kekuasaan presiden, "dikusasakan" kepada menkeu, dan "diserahkan" kepada kepala daerah/kdh. Apakah kalau sdh diserahkan hal ini mengandung arti kekuasaan kdh=presiden dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban/pj sama? Meskipun sdh diserahkan, pasti tidak sama, hal ini bisa dilihat bahwa presiden selaku kepala pemerintahan sekaligus "kepala negara" dan negara memiliki kedaulutan, sedangkan didaerah tidak ada kedaulatan.

Hal ini juga bisa dilihat dari setiap kdh akan membuat kebijakan sedikit skl ruang yang diberikan utk berbeda dengan peraturan diatasnya. Bandingkan dgn presiden yang bisa membuat PP, perpres dan detailnya oleh para pembantu presiden yaitu menteri. Menteri dpt membuat peraturan menteri/permen, keputusan menteri. Bahkan permen itu harus diikuti oleh kdh. Terus dimana arti diserahkan pada UU 17/03 tersebut? Atau arti diserahkan harus di perjelas dan diubah?

Kedua, pendelegasian kewenangan/kekuasaan dari presiden selaku kepala pemerintah kepada bawahannya dan dari kdh selaku kepala daerah kepada bawahannya juga tidak sama jika dilihat dari sisi kewenangan untuk membuat kebijakan/regulasi.

Presiden mengkuasakan kepada menkeu selaku Bendahara Umum Negara (BUN), dan kepada pimpinan kementeria/lembaga sebagai pengguna anggaran/pa.  Yg perlu diingat dari keduanya menurut UU 12/11 tentang penyusunan produk hukum adalah menkeu dan pimpinan k/l dapat membuat produk hukum. Pasal 7 uu 12/11 jelas mengatakan tersebut. Maka menkeu dan menteri/lembaga lainnya bisa mengeluarkan peraturan menteri atau keputusan menteri.

Bandingkan dengan pelimpahan kewenangan/ kekuasaan dari kdh kepada bawahannya, apakah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah/skpkd selaku pejabat pengelola keuangan daerah/ppkd  dan kepala skpd sebagai pa/pb  bisa membuatkan kebijakan? Atau bisa mengeluarkan produk hukum? Di UU 12/11 jelas tidak ada produk hukum yang dikeluarkan skpkd ataupun skpd. Sekda saja tidak bisa membuat produk hukum.

Kekurangan pahaman ini juga berimplikasi ketika menyusun pp 6/06 yg selanjutnya direvisi menjadi pp 38/08 dan akhirnya diganti mnjd pp 27/14 pada definisi pengelola. Dsar konsideran pp bmn/d ini hny merujuk pd UU 1/04, tidak ada UU lain. Pasal 1 angka 3 pp 27/14 menyamakan definisi pengelola/menkeu pada barang milik negara/bmn di pemerintah pusat dan pengelola/sekda pada barang milik daerah/bmd di pemerintah daerah. Dalam definisi tersebut pengelola berwenang dan bertanggungjawab membuat kebijakan.

Penyamaan ini sebenarnya juga tidak sesuai, alasannya pertama bertentangan dengan pasal lainnya dlm pp 27 tersebut dan kedua jika dikaitkan dengan UU 12/11. 

Pertama, Pasal 4 dan 7 ketika menjelaskan tugas menkeu sebagai pengelola diantaranya membuat kebijakan itu sudah tepat,  dan tugas sekda selaku pengelola tidak membuat kebijakan itu juga tepat. Hal ini bisa dilihat dari sisi UU 12/11.

Kedua, penyamaan menkeu selaku pengelola bmn yang notabene mnrt UU 12/11 menkeu memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, dan sekda  mnrt UU 12/11 TIDAK memiliki kewenangan untuk menyusun kebijakan/peraturan/keputusan. Utk lebih jelasnya silahkan lihat di permendagri 1/2014 tentang penyusunan produk hukun daerah. Itu jelas sekali bahwa produk hukum daerah itu perda, perkdh, peraturan bersama kdh, perDPRD, kepkdh, kep pimpinan dprd, kep Badan Kehormatan dprd.

Dan definisi pengelola di pp 27/14 ini berimplikasi pada diberikannya  kewenangan kepada sekda pada batas tertentu memberikan "persetujuan" pada saat pemanfaatan bmd dan pemindahtangan bmd. Apakah mungkin sekda dapat membuat "persetujuan"? Apakah persetujuan itu suatu bentuk hukum? Silahkan cermati, dan bagi teman2 pemda silahkan coba laksanakan persetujuan sekda tersebut, dan bagaimana pelaksaan dalam tata naskah dinas daerah? Apakah hal tersebut juga diatur? Sangat mungkin persetujuan sekda tersebut betul adanya, tapi untuk itu perlu perumusan dari berbagai sisi, khususnya UU 12/11 dan tata naskah yang berlaku di pemerintah daerah.

Mengapa ini penting? Sebab "persetujuan" pemanfaatan dan pemindahtanganan bmd ini terkait langsung dengan batas kewenangan sekda, dan juga berimplikasi pada bertambah dan berkurangnya kekayaan daerah.

Selasa, 05 Mei 2015

Pertanggungjawaban at cost/riil setengah hati

Sejak tahun 2007, sekitar Agustus, pemerintah pusat sudah menerapkan perjalanan dinas (perjadin) at cost atau riil. Khusus bagi perjadin yang menggunakan APBN. Bukan perjadin yang menggunakan APBD.

Dalam perjadin tersebut diatur semua kebutuhan perjadin akan ditanggung secara at cost/riil, kecuali untuk kebutuhan sehari2 dengan pertanggungjawaban lumpsum. Jadi untuk at cost/riil akan dibiayai sebesar yang dikeluarkan dengan tidak melampaui batas tertinggi pagu anggaran.

Ketika Menteri Keuangan sudah mengatur perjalanan dinas luar negeri dan perjalanan dinas dalam negeri, isunya adalah apakah untuk kebutuhan "biaya transportasi" dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah selesai? Bagaimana dengan kebutuhan untuk biaya transportasi rapat dalam kota? Apakah betul yang mengundang juga selalu sudah menganggarkan? Atau sebaliknya, apakah betul yang diundang juga sudah menganggarkan?

Mengapa ini penting? Jangan sampai seseorang sebagai undangan, tidak menerima biaya transportasi dari yang mengundang dan tidak mendapat juga dari instansinya. Kalau tidak mendapat dari keduanya terus biaya transportasi tersebut di ambilkan dari pos mana? Artinya, jangan sampai undangan tersebut akhirnya akan mencari dari pos2 anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Sebab jika hal ini terjadi, sama saja dengan menyuruh pegawai tersebut untuk tidak tertib penggunaan anggaran, dan bisa jadi berujung pada kecenderungan terjadinya korupsi.

Apakah kebutuhan yang tidak dianggarkan hanya biaya transportasi rapat saja? Tidak, masih banyak. Misal, biaya untuk menghadiri seminar, biaya untuk mengantarkan berkas atau dokumen yang sifatnya paraf koordinasi, biaya  lembur saat mendampingi pimpinan, kebutuhan pulsa untuk koordinasi, biaya internet ketika diluar kantor.

Tetapi sampai sekarang kebutuhan2 tersebut sepertinya sebagian seringkali diambilkan dari pos lainnya.

Hal ini masih dianggap aman ketika auditor dalam memeriksa tidak begitu ketat. Tetapi ketika semua pos diaudit ketat, khususnya pos-pos yang sering digunakan untuk menutupi kebutuhan2 yang tidak dianggarkan tersebut, maka akan diambilkan dari pos mana lagi?

Terkait dengan judul, misalnya ketika penganggaran APBN begitu detail sampai rincian, dan masih adanya beberapa kebutuhan belum dianggarkan bahkan tidak boleh dianggarkan, dan sulitnya melakukan pergeseran anggaran, maka isunya adalah:

1. Apakah dalam penyusunan anggaran harus dibuat begitu detail sampai rincian? Apakah hal ini justru tidak menghabiskan energi saat menyusun, pelaksanaan dan penyusunan pertanggungjawaban.

2. Auditor sebaiknya memahami bahwa pertanggungjawaban keuangan tidak selalu sebatas akuntansi pengeluaran uang, tetapi juga adanya pengeluaran  uang yang tidak ada dianggaran atau adanya kebutuhan  lainnya yang tidak ada anggarannya dan/atau tidak bisa dianggarkan. Artinya, auditor juga harus memaklumi ketika penggunaan anggaran tidak sesuai peruntukkan, tetapi masih digunakan untuk kebutuhan  penyelenggaraan pemerintahan dan dalam batas kewajaran dengan tetap menjaga akuntabikitas.

3. Perlu ada peningkatan pemahaman penggunaan anggaran dan perbaikan mental dalam pengelolaan keuangan. Artinya kalau pengeluaran memang kebutuhan organisasi dan tidak untuk kepentingan pribadi, seharusnya bukanlah menjadi kesalahan besar. Jadi harus ada diskresi dalam penggunaan anggaran. Jika dalam prakteknnya, sekarang ini presiden, menteri dan pejabat negara lainnya yang memiliki dana taktis/operasional, mengapa tidak diperluas sampai setingkat eselon 1 bahkan sampai eselon 2. Yang penting adalah peruntukan dan pertanggungjawabannya tetap akuntabel. Hal ini secara tidak langsung juga akan membangun kepercayaan individu yang ada di institusi pemerintah. Jangan sampai hanya karena sedikit individu yang tidak benar, akhirnya semua disamakan juga.