Ketika membaca UU 17/2003 ttg keuangan negara, UU 1/2004 ttg perbendaharaan negara, maka dpt dengan mudah ditangkap dasar berpikirnya para pembuat UU tersebut terkait kedudukan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah di bidang keuangan, khususnya keuangan negara dan keuangan daerah.
Dasar pemikiran yang digunakan adalah keuangan negara = keuangan daerah, hal ini bisa dilihat dari usaha untuk menyamakan BUN dan BUD, SKPKD selaku PPKD disamakan dengan menkeu. Apakah hal tersebut betul? Berikut alasan, bahwa keuangan negara tidak sama dengan keuangan daerah, meskipun sepertinya "hampir sama".
Pertama, di pemerintah pusat ada keudalatan negara, di pemda tidak ada kedaulatan daerah. Pada UU 17/2003 kekuasaan presiden, "dikusasakan" kepada menkeu, dan "diserahkan" kepada kepala daerah/kdh. Apakah kalau sdh diserahkan hal ini mengandung arti kekuasaan kdh=presiden dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban/pj sama? Meskipun sdh diserahkan, pasti tidak sama, hal ini bisa dilihat bahwa presiden selaku kepala pemerintahan sekaligus "kepala negara" dan negara memiliki kedaulutan, sedangkan didaerah tidak ada kedaulatan.
Hal ini juga bisa dilihat dari setiap kdh akan membuat kebijakan sedikit skl ruang yang diberikan utk berbeda dengan peraturan diatasnya. Bandingkan dgn presiden yang bisa membuat PP, perpres dan detailnya oleh para pembantu presiden yaitu menteri. Menteri dpt membuat peraturan menteri/permen, keputusan menteri. Bahkan permen itu harus diikuti oleh kdh. Terus dimana arti diserahkan pada UU 17/03 tersebut? Atau arti diserahkan harus di perjelas dan diubah?
Kedua, pendelegasian kewenangan/kekuasaan dari presiden selaku kepala pemerintah kepada bawahannya dan dari kdh selaku kepala daerah kepada bawahannya juga tidak sama jika dilihat dari sisi kewenangan untuk membuat kebijakan/regulasi.
Presiden mengkuasakan kepada menkeu selaku Bendahara Umum Negara (BUN), dan kepada pimpinan kementeria/lembaga sebagai pengguna anggaran/pa. Yg perlu diingat dari keduanya menurut UU 12/11 tentang penyusunan produk hukum adalah menkeu dan pimpinan k/l dapat membuat produk hukum. Pasal 7 uu 12/11 jelas mengatakan tersebut. Maka menkeu dan menteri/lembaga lainnya bisa mengeluarkan peraturan menteri atau keputusan menteri.
Bandingkan dengan pelimpahan kewenangan/ kekuasaan dari kdh kepada bawahannya, apakah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah/skpkd selaku pejabat pengelola keuangan daerah/ppkd dan kepala skpd sebagai pa/pb bisa membuatkan kebijakan? Atau bisa mengeluarkan produk hukum? Di UU 12/11 jelas tidak ada produk hukum yang dikeluarkan skpkd ataupun skpd. Sekda saja tidak bisa membuat produk hukum.
Kekurangan pahaman ini juga berimplikasi ketika menyusun pp 6/06 yg selanjutnya direvisi menjadi pp 38/08 dan akhirnya diganti mnjd pp 27/14 pada definisi pengelola. Dsar konsideran pp bmn/d ini hny merujuk pd UU 1/04, tidak ada UU lain. Pasal 1 angka 3 pp 27/14 menyamakan definisi pengelola/menkeu pada barang milik negara/bmn di pemerintah pusat dan pengelola/sekda pada barang milik daerah/bmd di pemerintah daerah. Dalam definisi tersebut pengelola berwenang dan bertanggungjawab membuat kebijakan.
Penyamaan ini sebenarnya juga tidak sesuai, alasannya pertama bertentangan dengan pasal lainnya dlm pp 27 tersebut dan kedua jika dikaitkan dengan UU 12/11.
Pertama, Pasal 4 dan 7 ketika menjelaskan tugas menkeu sebagai pengelola diantaranya membuat kebijakan itu sudah tepat, dan tugas sekda selaku pengelola tidak membuat kebijakan itu juga tepat. Hal ini bisa dilihat dari sisi UU 12/11.
Kedua, penyamaan menkeu selaku pengelola bmn yang notabene mnrt UU 12/11 menkeu memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, dan sekda mnrt UU 12/11 TIDAK memiliki kewenangan untuk menyusun kebijakan/peraturan/keputusan. Utk lebih jelasnya silahkan lihat di permendagri 1/2014 tentang penyusunan produk hukun daerah. Itu jelas sekali bahwa produk hukum daerah itu perda, perkdh, peraturan bersama kdh, perDPRD, kepkdh, kep pimpinan dprd, kep Badan Kehormatan dprd.
Dan definisi pengelola di pp 27/14 ini berimplikasi pada diberikannya kewenangan kepada sekda pada batas tertentu memberikan "persetujuan" pada saat pemanfaatan bmd dan pemindahtangan bmd. Apakah mungkin sekda dapat membuat "persetujuan"? Apakah persetujuan itu suatu bentuk hukum? Silahkan cermati, dan bagi teman2 pemda silahkan coba laksanakan persetujuan sekda tersebut, dan bagaimana pelaksaan dalam tata naskah dinas daerah? Apakah hal tersebut juga diatur? Sangat mungkin persetujuan sekda tersebut betul adanya, tapi untuk itu perlu perumusan dari berbagai sisi, khususnya UU 12/11 dan tata naskah yang berlaku di pemerintah daerah.
Mengapa ini penting? Sebab "persetujuan" pemanfaatan dan pemindahtanganan bmd ini terkait langsung dengan batas kewenangan sekda, dan juga berimplikasi pada bertambah dan berkurangnya kekayaan daerah.