Sejak tahun 2007, sekitar Agustus, pemerintah pusat sudah menerapkan perjalanan dinas (perjadin) at cost atau riil. Khusus bagi perjadin yang menggunakan APBN. Bukan perjadin yang menggunakan APBD.
Dalam perjadin tersebut diatur semua kebutuhan perjadin akan ditanggung secara at cost/riil, kecuali untuk kebutuhan sehari2 dengan pertanggungjawaban lumpsum. Jadi untuk at cost/riil akan dibiayai sebesar yang dikeluarkan dengan tidak melampaui batas tertinggi pagu anggaran.
Ketika Menteri Keuangan sudah mengatur perjalanan dinas luar negeri dan perjalanan dinas dalam negeri, isunya adalah apakah untuk kebutuhan "biaya transportasi" dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah selesai? Bagaimana dengan kebutuhan untuk biaya transportasi rapat dalam kota? Apakah betul yang mengundang juga selalu sudah menganggarkan? Atau sebaliknya, apakah betul yang diundang juga sudah menganggarkan?
Mengapa ini penting? Jangan sampai seseorang sebagai undangan, tidak menerima biaya transportasi dari yang mengundang dan tidak mendapat juga dari instansinya. Kalau tidak mendapat dari keduanya terus biaya transportasi tersebut di ambilkan dari pos mana? Artinya, jangan sampai undangan tersebut akhirnya akan mencari dari pos2 anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Sebab jika hal ini terjadi, sama saja dengan menyuruh pegawai tersebut untuk tidak tertib penggunaan anggaran, dan bisa jadi berujung pada kecenderungan terjadinya korupsi.
Apakah kebutuhan yang tidak dianggarkan hanya biaya transportasi rapat saja? Tidak, masih banyak. Misal, biaya untuk menghadiri seminar, biaya untuk mengantarkan berkas atau dokumen yang sifatnya paraf koordinasi, biaya lembur saat mendampingi pimpinan, kebutuhan pulsa untuk koordinasi, biaya internet ketika diluar kantor.
Tetapi sampai sekarang kebutuhan2 tersebut sepertinya sebagian seringkali diambilkan dari pos lainnya.
Hal ini masih dianggap aman ketika auditor dalam memeriksa tidak begitu ketat. Tetapi ketika semua pos diaudit ketat, khususnya pos-pos yang sering digunakan untuk menutupi kebutuhan2 yang tidak dianggarkan tersebut, maka akan diambilkan dari pos mana lagi?
Terkait dengan judul, misalnya ketika penganggaran APBN begitu detail sampai rincian, dan masih adanya beberapa kebutuhan belum dianggarkan bahkan tidak boleh dianggarkan, dan sulitnya melakukan pergeseran anggaran, maka isunya adalah:
1. Apakah dalam penyusunan anggaran harus dibuat begitu detail sampai rincian? Apakah hal ini justru tidak menghabiskan energi saat menyusun, pelaksanaan dan penyusunan pertanggungjawaban.
2. Auditor sebaiknya memahami bahwa pertanggungjawaban keuangan tidak selalu sebatas akuntansi pengeluaran uang, tetapi juga adanya pengeluaran uang yang tidak ada dianggaran atau adanya kebutuhan lainnya yang tidak ada anggarannya dan/atau tidak bisa dianggarkan. Artinya, auditor juga harus memaklumi ketika penggunaan anggaran tidak sesuai peruntukkan, tetapi masih digunakan untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan dalam batas kewajaran dengan tetap menjaga akuntabikitas.
3. Perlu ada peningkatan pemahaman penggunaan anggaran dan perbaikan mental dalam pengelolaan keuangan. Artinya kalau pengeluaran memang kebutuhan organisasi dan tidak untuk kepentingan pribadi, seharusnya bukanlah menjadi kesalahan besar. Jadi harus ada diskresi dalam penggunaan anggaran. Jika dalam prakteknnya, sekarang ini presiden, menteri dan pejabat negara lainnya yang memiliki dana taktis/operasional, mengapa tidak diperluas sampai setingkat eselon 1 bahkan sampai eselon 2. Yang penting adalah peruntukan dan pertanggungjawabannya tetap akuntabel. Hal ini secara tidak langsung juga akan membangun kepercayaan individu yang ada di institusi pemerintah. Jangan sampai hanya karena sedikit individu yang tidak benar, akhirnya semua disamakan juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar