Minggu, 09 Agustus 2015

Mobil, kemiskinan dan kelas sosial

Judul itu bukanlah untuk menyalahkan kaum miskin. Tapi di negara tercinta Indonesia ini, orang miskin itu memang sulit, dan benar2 sulit, lebih tepatnya dipersulit.

Untuk yang kaitannya dengan administrasi pemerintahan atau pelayanan publik, masih banyak yang belum memuaskan. Bagaimana dengan pelayanan yang diberikan oleh swasta? Apakah sudah memuaskan?

Permasalahan mendasar bukan hanya memuaskan atau tidak, tapi pemisahan layanan untuk "orang miskin" sejak awal sudah sangat terasa.

Marilah kita perhatikan layanan untuk:
1. Parkiran kendaraan bermotor di hotel dan mall. Biasanya motor disediakan tempat parkir yang jauh. Kecuali motor besar.
2. Di beberapa stasiun (gambir), motor ojek dan bajay tidak boleh masuk kawasan parkir. Jadi, kalau orang miskin yang mampunya naik ojek, harus jalan kaki lumayan jauh untuk sampai pintu masuk stasiun (peron). Padahal ojek itu sekarang lebih kepada menghemat waktu.
3. Penggunaan jalan tol didesain tidak  untuk sepeda motor, dan tidak pernah diusahakan untuk disediakan. Kecuali keadaan darurat saat banjir.
4. Pejalan kaki di kantor OJK depan Kemenkeu lapangan banteng pun tidak boleh lewat pintu depan, harus melewati pintu samping.
5. Dengan alasan keamanan, taxi tidak boleh masuk area perkantoran.
6. Motor juga tidak boleh lewat jalan protokol tertentu di Jakarta.
7. Drop off penumpang motor juga tidak boleh di bandara soetta, stasiun, mall, hotel, rumah sakit dll.

Artinya apa? Menjadi orang miskin itu memang tidak enak. Seringkali dianggap tidak penting, sehingga tidak diberi hal2 khusus untuk pelayanan. Baik itu oleh pemerintah maupun swasta.

Sedangkan bawa mobil, dengan sendirinya diberi kelas sosial yang lebih baik. Meskipun mobilnya bisa jadi masih kredit, atau berasal dari pinjam atau rental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar