Kamis, 07 Juli 2016

Idul fitri itu mudik darat

Mudik, kata yang tiada habisnya di sebut dalam media. Khususnya terkait berita kemacetan, mudik sepertinya sudah menjadi bagian dalam merayakan idul fitri itu sendiri.

Bagi yang masih memiliki kampung halaman dan orang tua atau yang di tuakan dikampung, lebaran idul fitri terasa cemplang tanpa mudik. Seperti sambel tanpa pedasnya cabe.

Meski perkembangan teknologi transportasi telah berkembang, terutama pesawat terbang, tapi mudik jalur darat tetap menjadi paling favorit, dibandingkan dengan lewat transportasi udara, apalagi lewat jalur transportasi laut.

Banyak alasan mengapa mudik lewat jalur darat tetap menarik, mungkin:
1. Masyarakat negeri nusantara ini telah mengalami arus balik dari budaya maritim yang luar biasa. Sehingga laut dan kebudayaannya menjadi terasa sangat asing. Sehingga, meski sudah beberapa kali TNI AL menawarkan mudik gratis dengan kapal laut tetap saja tidak menarik. Lebih menarik tawaran mudik gratis menggunakan bus yang dibiaya oleh perusahaan swasta, BUMN atau oleh gubernur jawa timur, ataupun menggunakan kereta api yang di biayai oleh PDIP.

2. Bagi yang memiliki kendaraan roda 2 dan 4, mudik lewat jalur darat tetap lebih praktis saat lebaran di kampung. Sebab, kebutuhan kendaraan dikampung akan meningkat drastis dan urgent saat lebaran untuk berkeliling kesanak saudara dan famili.

3. Dengan membawa kendaraan, berarti bisa mengajak saudara untuk mudik lebih banyak dan membawa barang lebih banyak.

4. Tidak semua kampung halaman dekat dengan bandara dan pelabuhan. Apalagi di negara kita sudah terkenal semua menjadi serba mahal ketika di area bandara dan pelabuhan, misalnya rental kendaraan, apalagi penggunaan taxi.

5. Seringkali kendaraan yang dibawa dari jakarta digunakan untuk mencitrakan keberhasilan selama bekerja di jakarta. Hal ini tidak bisa dipungkiri, status sosial menurut pandangan masyarakat masih didominasi dari keberhasilan materi.

6. Lebih aman jika kendaraan itu dibawa pulang daripada ditinggal di jakarta. Seandainya dititippun juga akan memerlukan biaya.

7. Jika memiliki keluarga besar, tetap lebih hemat dengan membawa kendaraan.

Dengan alasan2 itu, sudah menjadi kewajaran jika pemerintah harus selalu siap sedia dalam ritual mudik, mudik itu jalur darat.

Senin, 04 Juli 2016

desain (kuno) gerbang pembayaran tol

Bagi pengguna kendaraan, lorong penghisap waktu itu bernama gerbang pembayaran tol. Hanya pindah tempat saja, klo hari2 biasa terjadi  di jakarta, tangerang (karang tengah dan cikupa), dan bekasi, tapi sekarang  berpindah ke pembayaran cipali dan brebes.

Tidak perlu menggunakan matematika yang rumit, jika gerbang pembayaran hanya 2-3 kali jumlah lajur jalan tol, pasti akan terjadi kemacetan. Dengan kecepatan mobil rata2 sekitar 80 km/jam, kemudian dalam waktu bersamaan kecepatan pelan, hingga berhenti beberapa detik untuk transaksi pembayaran, tidak heran jika pasti terjadi kemacetan di gerbang tol.

Apakah dengan transaksi etoll card dapat mengurangi secara significan kemacetan di gerbang pembayaran toll? Sepertinya tidak banyak berpengaruh. Hal ini bisa dilihat, dalam transaksi etoll card masih perlu beberapa detik, bahkan mesin baca kartu di gerbang tol cikupa respon time nya lebih lama, mungkin masih perlu 2-3 detik setelah kartu benar2 di tempelkan. Berbeda dengan mesin kartu pembaca seperti yang di toll arah bandara, kartu belum menempel saja sudah mampu merespon.

Cara yang efektif mungkin harus dengan memperbanyak gerbang pembayaran.  Entah gerbang itu dengan sistem manual atau etoll card.

Jika dilihat desain pembayaran toll brebes, desainnya masih benar2 seperti desain 30 tahun yang lalu. Jumlah gerbang tol lebih banyak sedikit dibandingkang dengan jalur jalan tol yang ada.

Perlu dilakukan desain ulang, bagaimana efektifnya gerbang tol, apakah seperti gerbang di bogor dan cikupa (arah jakarta) atau arah bandara soetta.

Jangan hanya karena operator tol mau menghemat investasi karena tidak mau mendesain ulang gerbang tol dan sekaligus membangunnya, tapi justru terjadi pemboroson dari sisi pengguna tol.

Atau yang diperlukan gaya koboy seperti menteri BUMN dahlan iskan? Sehingga menjadi perhatian semua masyarakat? Atau diperlukan kejadian luar biasa lainnya, seperti presiden atau menteri yang terjebak dalam kemacetan saat mudik. Sehingga mereka bisa berempati dengan masyarakat biasa.

Kalau sampai tiap tahun terjadi macet di gerbang tol pembayara tol saat mudik, apakah iti sudah dianggap ritual atau budaya saat mudik?

Kalau sudah begini, sebagai masyarakat pembayar tol terus piye?

Sabtu, 02 Juli 2016

Macet mudik bukti sentralisasi pembangunan

Empat hari terakhir ini baca media darling terasa membosankan, bahkan petandingan jerman dengam itali masih kalah ngetrend dengan berita kemacetan mudik.

Mengapa macet sebagian besar hanya terjadi dari jakarta menuju keluar jakarta, arah ke sumatera kemacetan di merak, arah bandung dan arah ke jateng, yogya dan jatim kemacetan di cipali dan cirebon.

Mengapa efek mudik terbesar ada di jakarta? Mengapa tidak terjadi di bandung, surabaya, semarang, yogya. Atau diluar jawa sekalipun makasar, palembang, pekanbaru, medan, banjarmasin dan kota lainnya. Yang menarik adalah bali, saat lebaran ternyata pelabuhan gilimanuk terjadi kemacetan yang luar biasa (minggu, 4 juli 2016) sempat mencapai 6 km.

Mengapa kemacetan bersumber dari jakarta? Dan juga berasal dari denpasar?

Perlu dilakukan kajian dari  sisi ekonomi, politik, sosial, budaya, mengapa hal itu bisa terjadi.

Dari sisi ekonomi, jakarta tetap sentral pertumbuhan ekonomi, tetap menjadi pusat barometer ekonomi. Dan itu harus diakui, betapa uang APBD terbesar ada di DKI sebesar 72 T. Bandingkan dengan provinsi atau kabupaten/kota yang masih dibawah 10 T. Bisa jadi jika dihimpun APBD 3 provinsi terbesar lainnya, tetap lebih besar APBD DKI.

Belum lagi jika dilihat dari himpunan anggarannya kementerian/lembaga (k/l) yang sebagian besar di jakarta. Hanya beberapa k/l yang memiliki semacam kantor cabang di daerah. Diantaranya kemenkeu, kemendag, MA, TNI, Polri, kejaksaan dll. Artinya, belanja mereka sebagian ada di daerah, tidak hanya di kantor pusat (jakarta).

Artinya apa? Dengan belanja APBD yang besar, belanja k/l yang sebagian besar di jakarta, maka tidak heran jika banyak orang akan datang ke jakarta. Ada gula ada semut, begitu kata peribahasa. Jadi tidak heran jika banyak uang beredar di jakarta, maka masyarakat akan berbondong2 menuju jakarta.

Bagaimana dengan denpasar? Di denpasar memang banyak pendatang, apalagi yang berasal dari jawa timur.

Dari sisi politik, lebih sentralistik, bahwa semua parpol berpusat di jakarta, dan keputusan politik berpusat di jakarta. Maka dampak dari ini, akan banyak orang pergi ke jakarta untuk meniti karir sebagai politisi.

Bisa di lihat sukses story pak jokowi dari walikota surakarta, menjadi gubernur DKI, akhirnya menjadi presiden. Begitu juga dengan ahok, dari bupati belitung timur, selajutnya berusaha untuk menjadi gubernur bangka belitung, sumatera utara, sampai akhirnya terpilih menjadi DPR RI. Selanjutnya loncat menjadi wakil gubernur DKI, hingga menjadi gubernur DKI. Dan hampir semua politisi akhirnya berhijrah ke jakarta seiring meningkatnya karir politiknya.

Dilihat dari sisi ekonomi politik saja sudah terasa, bagaimana jakarta akan menjadi tujuan yang menarik. Belum lagi untuk bidang sosial budaya.

Jadi tidak heran, selama jakarta masih menjadi pusat perhatian semua orang, maka tradisi mudik dengan segala kemacetan akan selalu terjadi, kemacetan yang akan selalu menjadi pekerjaan rutin tahunan pemerintah, akan selalu menjadi berita headlines media.....kalau begitu, terus piye?

Syariat Islam, budaya arab dan budaya nusantara

Selalu menjadi perdebatan, apakah sesuatu itu termasuk aturan/syariat islam, apakah termasuk budaya arab (termasuk budaya non arab yang masuk ke arab), apakah termasuk budaya asli nusantara ini.

Ketika lebaran, di bumi nusantara ini ada namanya halal bi halal. Apakah satu kalimat ini ada di arab saudi? Tidak ada. Klo hanya kata "halal" memang ada, tapi kalau satu kalimat "halal bi halal" tidak ada. Tapi apakah kalau tidak ada di arab saudi, tempat lahirnya islam, terus apa melanggar syariat islam? Esensi dari halal bi halal itu saling memaafkan, yang secara fisik biasanya diikuti dengan bersalam2an.

Ketika lebaran, mungkin hanya di indonesia yang ada tradisi "mudik". Suatu kebiasaan  pulang ke kampung, ke tempat orang tua, atau ke orang yang kita tuakan. Esensi dari mudik adalah bersilaturahmi kesanak family dan teman2. Apakah mudik ini anjuran islam? Budaya arab? Atau hanya sebatas budaya lokal? Apakah ini melanggar syariat islam?

Saat lebaran, banyak daerah memiliki tradisi membuat ketupat, bahkan ada yang menyebut lebaran ketupat.  Bukankah ketupat itu hanya makanan yang terbuat dari beras dengan bungkus janur (daun muda pohon kelapa), jika selanjutnya menjadi kebiasaan masyarakat yang cerdas memanfaatkan alam sekitar untuk di buat makanan, apakah itu menyalahi aturan?

Perlu diingat kenapa orang tua dahulu mengajarkan dan membiasakan membuat ketupat? Diantaranya karena ketupat itu bisa tahan lama dibandingkan dengan makanan nasi biasa. Sama halnya, di padang, saat lebaran, banyak masyarakat akan membuat rendang, karena rendang makanan yang tahan lama. Artinya, ketika lebaran, ketika banyak saudara berkunjung, jangan sampai tuan rumah dalam menyajikan makanan kelihatan  repot dan sibuk, karena tentu saja akan membuat tamu tidak enak.

Bukankah jika sudah membuat ketupat dan rendang, maka dalam 2-3 hari lebaran tidak perlu repot masak ketika ada saudara kerabat yang berkunjung. Apakah membuat ketupat ini budaya arab? Apakah hal ini melanggar syariat islam?

Tetapi jika sekarang, banyak masyarakat ketika menyambut tamu lebaran dengan membuat kue kering, bahkan selalu pesan/membeli makanan beratyang cepat saji, seperti pizza (yang asli paman sam), KFC, burger, apa itu juga menyalahi aturan? Jadi apa esensi dari penyediaan makanan ketika menyambut sanak saudara kerabat ketika lebaran? Memuliakan tamu. Apakah esensi itu menyalahi syariat islam?.

Sarung, siapa tidak mengenal sarung, bahkan dalam bahasa inggris, sarung tetap sarung. Karena memang sarung itu khas indonesia. Banyak hal kelebihan kain yang berbentuk sarung di bandingkan dengan yang lain. Termasuk jika dibandingkan dengan celana panjang. Apakah ketika umat islam indonesia sholat menggunakan sarung itu tidak sesuai syariat islam? Apalagi sarung bukan budaya orang2 arab, yang pasti nabi muhammad tidak pernah mengenakan sarung, tapi mengenakan jubah. Karena budaya pakaian arab itu menggunakan jubah. Memang betul nabi muhammad menggunakan jubah, tetapi bukankah abu jahal dan abu lahab juga menggunakan jubah? Apa beda jubah mereka dengan junjungan nabi muhammad? Sementara sebagian muslim indonesia sudah mulai membiasakan diri dengan mengenakan jubah, apalagi kalau baru seminggua pulang haji atau sepulang umroh.

Kalau sebagian muslim indonesia, sudah mulai mengarabkan budaya indonesia, seolah2 kalau sudah membiasakan budaya arab, sudah melaksanakan syariat islam. Terus apa syariat islam itu sama dengan budaya arab? Kalau budaya nusantara tidak sesuai dengan budaya arab, apakah pasti bertentangan dengan syariat islam?

Jika sudah mulai tumbuh kelompok2 tertentu, sering menyalahkan orang muslim lain karena tidak sesuai dan tidak ada di arab sana, terus iki piye?

Jumat, 01 Juli 2016

Pilih membangun darat (lagi) atau laut

Dengan nyata tampak pembangunan nusantara ini bertumpu di daratan, dibandingkan dengan di lautan. Padahal luas laut indonesia 2/3 dari total wilayah indonesia.

Daerah2 yang maju pasti bertumpu dengan daratan, bukan lautan. Bagaimana DKI, dan kota2 besar lainnya memiliki pendapatan asli daerah (PAD) besar, sumber utamanya bersumber dari darat. PKB & BBNKB, pajak hotel dan restoran, pajak rokok dan beberapa retribusi lainnya yg juga bersumber dari daratan.

Akhirnya, kebijakan pembangunan daerah akan berfokus juga peningkatan PAD yang bersumber daratan tersebut. Artinya, daerah mendapat PAD besar dari daratan, maka kebijakan selanjutnya membangun daratan, karena berdampak PAD nya akan lebih meningkat lagi.

Hingga akhirnya, daerah kurang memperhatikan kebijakan kemaritiman. Hal ini dengan mudah terjadi, sebab upaya daerah untuk membangun laut dan maritimnya, belum tentu mampu mendongkrak PAD.

Selanjutnya, tanpa disadari, seiring waktu kebijakan struktur pemerintah daerah yang cenderung ke daratan, telah menjauhkan budaya maritim masyarakat, khususnya masyarakat pesisir.

Berapa kilometer (KM) jarak jakarta dengan laut?  Bahkan ketika warga tanjung priuk ditanya tentang kesehariannya, apakah mendekati ke arah maritim atau daratan? Pasti daratan. Cara berpikir dan berperilaku daratan. Mereka lebih dekat dengan budaya darat daripada budaya laut. Hal yang sama juga akan  terjadi jika ditanyakan kepada warga pesisir di demak, tegal, tuban, gresik, makasar, dan daerah2 pesisir lainnya.

Masyarakat pesisir akhirnya lebih merasa dekat dengan budaya darat, daripada budaya laut. Lebih jelasnya, semakin lama, semakin berkurang jumlah nelayan, seiring waktu semakin kecil ukuran kapal2 nelayan, semakin berkurang industri rumah tangga yang berbahan dasar hasil sumber daya laut,   dan aktivitas lain yang berkaitan dengan laut.

Mungkinkah kebijakan pemerintah pusat dan daerah bersinergi memberikan penekanan kepada kebudayaan maritim? Meski pemerintah jokowi tidak berhasrat lagi untuk mempunggungi laut, bahkan juga sudah membuktikan dengan membangun tol laut. Tapi apakah daerah pesisir juga sudah melakukan hal yang sama? Jangan2 masih fokus dan sibuk dengan daratan.

Memang tidak bisa hanya pemerintah pusat yang membangun maritim, tapi juga harus daerah,  harus dilihat satu kesatuan kebijakan politik, ekonomi dan sosial budaya.

Bulan2 musrenbang dalam menyusun RKP dan RKPD sudah selesai, tapi sudahkah kebijakan pusat dan daerah dalam membangun maritim sudah terakomodir? Perlu penelitian yang lebih dalam, agar tidak menjadi wacana saja, atau kepincangan kebijakan pusat daerah.

Untuk membangun negeri maritim:
1. perlu mewujudkan dalam kebijakan politik didaerah, dan ini harus mengubah pola pikir politisi daerah;
2. perlu mewujudkan kebijakan ekonomi, dan ini harus dengan memberi keyakinan kemajuan kesejahteraan bagi masyarakat;
3. perlu mewujudkan dalam kebijakan sosial, dan ini harus dengan meyakinkan masa depan kebudayaan kemaritiman kepada masyarakat.
4. perlu mewujudkan dalam kebijakan kebudayaan, dan tentu saja perlu waktu yang lama sekali.

Jika di pusat, presiden sudah mebuat kebijakan politik, dan di kabinet sudah ada bu susi yang menggerakan ekonomi kemaritiman, tapi bagaimana dengan sosial budaya?

Bagaimana dengan di daerah? Berapa kepala daerah dan DPRD yang sudah mendukung kebijakan maritim? Bagaimana dengan kebijakan ekonomi, sosial politik di daerah?

Kalau pemerintah tidak bisa melakukan perubahan ritme gerak arus balik ke arah maritim, maka akan menghabiskan waktu dan energi.

Untuk bisa mewujudkan itu, terus piye?

(Terinspirasi oleh pidato kebudayaan 2014 oleh Hilman Farid)