Senin, 04 Juli 2016

desain (kuno) gerbang pembayaran tol

Bagi pengguna kendaraan, lorong penghisap waktu itu bernama gerbang pembayaran tol. Hanya pindah tempat saja, klo hari2 biasa terjadi  di jakarta, tangerang (karang tengah dan cikupa), dan bekasi, tapi sekarang  berpindah ke pembayaran cipali dan brebes.

Tidak perlu menggunakan matematika yang rumit, jika gerbang pembayaran hanya 2-3 kali jumlah lajur jalan tol, pasti akan terjadi kemacetan. Dengan kecepatan mobil rata2 sekitar 80 km/jam, kemudian dalam waktu bersamaan kecepatan pelan, hingga berhenti beberapa detik untuk transaksi pembayaran, tidak heran jika pasti terjadi kemacetan di gerbang tol.

Apakah dengan transaksi etoll card dapat mengurangi secara significan kemacetan di gerbang pembayaran toll? Sepertinya tidak banyak berpengaruh. Hal ini bisa dilihat, dalam transaksi etoll card masih perlu beberapa detik, bahkan mesin baca kartu di gerbang tol cikupa respon time nya lebih lama, mungkin masih perlu 2-3 detik setelah kartu benar2 di tempelkan. Berbeda dengan mesin kartu pembaca seperti yang di toll arah bandara, kartu belum menempel saja sudah mampu merespon.

Cara yang efektif mungkin harus dengan memperbanyak gerbang pembayaran.  Entah gerbang itu dengan sistem manual atau etoll card.

Jika dilihat desain pembayaran toll brebes, desainnya masih benar2 seperti desain 30 tahun yang lalu. Jumlah gerbang tol lebih banyak sedikit dibandingkang dengan jalur jalan tol yang ada.

Perlu dilakukan desain ulang, bagaimana efektifnya gerbang tol, apakah seperti gerbang di bogor dan cikupa (arah jakarta) atau arah bandara soetta.

Jangan hanya karena operator tol mau menghemat investasi karena tidak mau mendesain ulang gerbang tol dan sekaligus membangunnya, tapi justru terjadi pemboroson dari sisi pengguna tol.

Atau yang diperlukan gaya koboy seperti menteri BUMN dahlan iskan? Sehingga menjadi perhatian semua masyarakat? Atau diperlukan kejadian luar biasa lainnya, seperti presiden atau menteri yang terjebak dalam kemacetan saat mudik. Sehingga mereka bisa berempati dengan masyarakat biasa.

Kalau sampai tiap tahun terjadi macet di gerbang tol pembayara tol saat mudik, apakah iti sudah dianggap ritual atau budaya saat mudik?

Kalau sudah begini, sebagai masyarakat pembayar tol terus piye?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar