Bukan hanya bungkusnya saja yang penting, tapi juga isinya; bukan hanya "bra" nya saja yang harus baik dan indah, tapi juga harus isinya (buah dadanya). Hal itu juga yang diinginkan oleh pengguna bandara.
Begitu masuk kawasan bandara hasanudin makasar, meski tertutup rimbunnya pohon2 akan tetap terlihat megahnya bangunan bandara, apalagi bagi yang pertama melihat bandara hasanudin dari pesawat sesaat setelah landing, apalagi disore hari, akan tampak megah sekali.
Kebesaran kawasan bandara memang terasa juga bila sudah didalam bandara. Tapi akan terasa betapa besarnya fisik bandara, ternyata suasananya lebih mirip mall.
Jika diukur kenyamanannya, dengan dibandingkan dengan bandara lain, misal dengan juanda, akan terasa sekali perbedaanya.
Beberapa hal yang menggangu kenyamanan, misalnya::
1. Masuk ruang bandara untuk pemeriksaan xtray sudah banyak tumpukan penumpang, semakin terasa tidak nyaman dengan tidak adanya budaya antri. Padahal sangat memungkinkan jikabada petugas yang mengatur antrian.
2. Hal sama terjadi di antrian check in counter penerbangan, yang mana minim sekali batas dan tanda2 antrian. Yang ada justru porter2 yang main salib ke dalam barisan antrian.
3. Bagitu sudah didalam ruang tunggu, kita akan dibuat kagum dengan mudahnya mencari kebutuhan dan hal2 yang diperlukan untuk oleh2 perjalanan. Banyak sekali warung, kedai, cafe atau toko, bahkan beberapa cafe begitu dekat dan menyatu dengan kursi tunggu. Kedekatan ini dapat di maklumi, karena memang adanya perbaikan dan renovasi.
4. Beberapa kali ke toilet sebelum pintu keluar kedatangan, terasa sekali tidak nyamannya. Mungkin karena saat malam atau menjelang pagi, sehingga kurang lagi di perhatikan kebersihanya.
5. Belum lagi fasilitas taxi, dari pengambilan nomer sampai masuk kendaraan harus menunggu beberapa lama.
Kalau sudah begitu, apakah untuk merasakan kenyamanan bandara harus menunggu di beli/di kelola dulu oleh perusahaan asing, baru bisa merasakan kenyamanan bandara di indonesia?
Hingga akhirnya, nasionalisme akan terusik, tapi bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan?. Sangat mungkin nantinya masyarakat akhirnya berpikir praktis, tidak perduli kucing hitam atau bukan, jika bisa memberikan layanan baik, silahkan saja. Apalagi perpres 38/2015 juga sudah memberikan ruang bagi siapapun untuk dapat memberikan pelayanan publik.