Sabtu, 20 Agustus 2016

Tampak luar, belum tentu sama dengan isi

Bukan hanya bungkusnya saja yang penting, tapi juga isinya; bukan hanya "bra" nya saja yang harus baik dan indah, tapi juga harus isinya (buah dadanya). Hal itu juga yang diinginkan oleh pengguna bandara.

Begitu masuk kawasan bandara hasanudin makasar, meski tertutup rimbunnya pohon2 akan tetap terlihat megahnya bangunan bandara, apalagi bagi yang pertama melihat bandara hasanudin dari pesawat sesaat setelah landing, apalagi disore hari, akan tampak megah sekali.

Kebesaran kawasan bandara memang terasa juga bila sudah didalam bandara. Tapi akan terasa betapa besarnya fisik bandara, ternyata suasananya lebih mirip mall.

Jika diukur kenyamanannya, dengan dibandingkan dengan bandara lain, misal dengan juanda, akan terasa sekali perbedaanya.

Beberapa hal yang menggangu kenyamanan, misalnya::
1. Masuk ruang bandara untuk pemeriksaan xtray sudah banyak tumpukan penumpang, semakin terasa tidak nyaman dengan tidak adanya budaya antri. Padahal sangat memungkinkan jikabada petugas yang mengatur antrian.
2. Hal sama terjadi di antrian check in counter penerbangan, yang mana minim sekali batas dan tanda2 antrian. Yang ada justru porter2 yang main salib ke dalam barisan antrian.
3. Bagitu sudah didalam ruang tunggu, kita akan dibuat kagum dengan mudahnya mencari kebutuhan dan hal2 yang diperlukan untuk oleh2 perjalanan. Banyak sekali warung, kedai, cafe atau toko, bahkan beberapa cafe begitu dekat dan menyatu dengan kursi tunggu. Kedekatan ini dapat di maklumi, karena memang adanya perbaikan dan renovasi.
4. Beberapa kali ke toilet sebelum pintu keluar kedatangan, terasa sekali tidak nyamannya. Mungkin karena saat malam atau menjelang pagi, sehingga kurang lagi di perhatikan kebersihanya.
5. Belum lagi fasilitas taxi, dari pengambilan nomer sampai masuk kendaraan harus menunggu beberapa lama.

Kalau sudah begitu,  apakah untuk merasakan kenyamanan bandara harus menunggu di beli/di kelola dulu oleh perusahaan asing,  baru bisa merasakan kenyamanan bandara di indonesia?

Hingga akhirnya, nasionalisme akan terusik, tapi bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan?. Sangat mungkin nantinya masyarakat akhirnya berpikir praktis, tidak perduli kucing hitam atau bukan, jika bisa memberikan layanan baik, silahkan saja. Apalagi perpres 38/2015 juga sudah memberikan ruang bagi siapapun untuk dapat memberikan pelayanan publik.

Minggu, 14 Agustus 2016

Kopi dan kasih sayang

Meski belum mengetahui sejarah kopi, jenis kopi, dan ciri2 kopi yang enak, tapi minum kopi hitam asli tumbukan ala kampung tetap terasa paling enak.

Tapi sayang sekali, belum semua pengusaha indonesia bangga dan bisa menghargai kopi hitam.

Setiap ke hotel2, fasilitas dikamar selalu tersaji kopi nescafe, dan di cafe2 juga demikian.
Pernah melihat film filosofi kopi, yang diangkat dari buku Filosofi Kopi karya Dewi Lestari yang akrab dipanggil dengan nama Dee. Sungguh pelajaran yang bernilai tinggi, ketika dikisahkan, bahwa kopi sebagai tumbuhan, harus diberlakukan dengan kasih sayang untuk menghasilkan rasa kopi yang bercitarasa tinggi.

Pelajaran dalam film filosofi kopi  tersebut, tentu terasa sulit di terima. Apalagi di era sekarang, makluk hidup (manusia dan hewan) saja diberlakukan seperti benda mati, apalagi  memperlakukan tumbuh2an seperti layaknya mahkluk hidup.

Untuk lebih memperkuat keyakinan pelajaran  dalam filosofi kopi, silahkan baca buku "The Miracle of Water" karya Masaru Emoto, dalam buku itu dimuat  foto2 kristal air yang sangat menakjubkan keindahannya,  yang merupakan hasil penelitian Masaru.

Singkatnya, air yang sama, disimpan dalam botol yang modelnya sama, kemudian diberi label tulisan "cinta/indah" dan "jelek", maka akan di hasilkan kristal2 yang sangat berbeda. Air yang diberi label "cinta/indah" menunjukkan hasil kristal yang sangat bagus sekali, dan sebaliknya bagi air yang diberi label "jelek".

Artinya apa? Air yang tampak kasat mata sebagai benda mati ternyata mengerti akan tulisan label yang ada di botol. Ini membuktikan air bersikap seperti mahkluk hidup.

Seandainya manusia indonesia memperlakukan manusia, hewan dan tumbuhan seperti menyayangi layaknya mahkluk hidup, pasti bangsa ini penuh berkah dan ampunan.

(Solo, bandara adi soemarmo, 14 agustus 2016)

Mencari Pemimpin

Apakah pemimpin itu dilahirkan? Atau di ciptakan?

Maksudnya, jika dilahirkan, pemimpin akan lahir dari keturunan pemimpin pula. Artinya, hanya anaknya raja yang bisa menjadi raja.

Pemimpin diciptakan maksudnya, bahwa siapapun bisa menjadi pemimpin jika dari awal sudah didesain, dididik untuk menjadi pemimpin. Tidak perduli latar belakangnya.

Apa kaitanya dengan demokrasi yang diimplementasikan dalam pemilukada?

Tentu saja, ini bukti bangsa ini sudah memilih dan meyakini bahwa pemimpin itu diciptakan. Buktinya, pemimpin tersebut harus didesain, dididik layaknya pemimpin yang ideal.

Sehingga masyarakat akan terpikat dengan tampilan dan performance pemimpin tersebut.

Pertanyaan selanjutnya, apakah pemimpin yang dihasilkan melalui pemilukada menghasilkan seperti yang diharapkan?

Hal ini tentu saja dipengaruhi banyak hal, diantaranya:
1. Kualitas pemilih. Bukankah selama ini masyarakat yang perpendidikan tinggi, yang memiliki integritas disamakan dengan yang sebaliknya?
2. Kualitas calon pemimpin. Bukankah garbage in garbage out, apakah betul masyakarakat memiliki banyak tawaran untuk memilih calon pemimpinnya?  Jangan2, yang ada adalah harus memilih yang terbaik diantara yang terjelek.
3. Penyelenggara pemilu. Seberapa kuat integritas penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya.
4. Para pemodal. Seringkali pemodal tidak masuk sebagai penentu dalam mencari pemimpin dengan model demokrasi, karena tertutupi oleh peran langsung masyarakat. Tapi sebenarnya peran pemodal, khususnya pemodal yang memiliki media informasi seperti tv, koran cetak/.net sangatlah besar.

Ketika pemimpin itu di ciptakan, maka yang paling memiliki kemampuan dan pengaruh akan hal tersebut adalah partai politik dan pemodal. Permasalahannya paket UU politik tidak memisahkan antara pemodal dan politisi dengan tegas.

Artinya, jangan heran, kalau ada orang baik, memiliki integritas, jika ingin menjadi pemimpin akhirnya akan menghadap dan tergantung oleh partai politik dan/atau pemilik modal.

Tidak ada makan siang yang gratis... begitu kata teman yang kuliah di sospol dan tentu saja akan berlaku juga hukum ekonomi, jika ada permintaan maka akan ada penawaran, kata teman yang kuliah jurisan manajemen.

(Solo, bandara adi soemarmo, 14 agustus 2016)

Membaca peraturan

Dapatkah suatu kata, kalimat, bahkan suatu buku untuk bisa menceritakan suatu benda? Apakah penjelasan itu bukanlah merupakan  tafsir penulis itu sendiri? Artinya, penulis yang lain akan memiliki tafsir yang berbeda pula.

Misalnya, adakah ada yang bisa menceritakan mangga itu seperti apa?
1. Mau di bilang manis, banyak buah juga manis, bahkan antar mangga manisnya juga beda.
2. Mau di bilang dagingnya berwarna kuming, apa semua kuning? Bukankah ada yang merah, bahkan yang masih muda warnanya putih kehijau2an.
3. Mau di bilang bentuknya seperti mangga "indramayu", ternyata ada juga mangga yang bentuknya sangat berbeda, yang cenderu bulat.
4. ....

Kalau untuk menjelaskan mangga saja sudah begitu rumit, bagaimana kita bisa mengatur dan menjelaskan  banyak hal dengan kata? Artinya, apakah penjelasan tersebut tidak akan multi tafsir?

Hal seperti ini sebenarnya sering terjadi, maka dalam beberapa kasus hukum, seringkali di didatangkan ahli bahasa, untuk menjelaskan maksud teks2 tersebut dari sisi semantik.

Hal ini tentu saja akan menjadi jauh lebih sulit ketika APH membaca peraturan cenderung ke teks, bukan konteks.

Konteks itu dapat diartikan sebagai keadaan saat berlaku. Misalnya,
Ada nasi goreng (nasgor) yang di buat oleh bu fathia (muslimah), yang mengolah dengan cara dan bahan yang halal.

apakah nasi tersebut halal atau haram? Tergantung uang nya darimana, apakah uang halal atau tidak untuk membeli bahannya, anggap saja halal.

Apakah yang makan nasgor itu bayi atau orang dewasa? Kalau anak kecil maka haram, karena memang belum boleh makan nasgor, kalau dewasa berarti halal.

Selanjutnya, apakah yang makan sedang puasa atau tidak? Anggap saja tidak sedang puasa, artinya halal untuk makan.

Artinya untuk memastikan bahwa nasgor itu halal atau tidak ternyata perlu melihat keadaan yang banyak sekali. Tidak hanya fisik zat nya nasgor semata. Artinya untuk bisa menyatakan hukum suatu zat, maka hukumnya "tak tentu".  Tak tentu tersebut tergantung dari konteks nya saat itu.

Dan disinilah dibutuhkan pemahaman dan kebijakan APH untuk melihat kejadian di pemerintah dan daerah, yang seringkali apabila dilihat secara sederhana tidak sesuai peraturan. Padahal situasi dan kondisi sangat berbeda dengan ketika peraturan itu saat dibuat.

Maka, dalam membaca peraturan, seharusnya untuk berusaha melihat dan memahami apa maksud penulis peraturan itu. Meski tentu saja sulit...

(Solo, bandara adi soemarmo, 14 agustus 2016)

Apalah arti suatu nama "bandara"

Bandara terminal 3 ultimate sudah dioperasionalkan. Wajar, sebagai warga negara akan merasa bangga, karena bangsa ini memiliki bandara yang modern dan canggih. Apalagi terminal 3 ultimate didesain untuk terkoneksi dengan kereta api yang sekarang masih dalam pengerjaan.

Menjadi membingunkan dan mengherankan, menggapa PT. Angkasa Pura (AP) persero sebagai pengelola bandara memberi nama "terminal 3 ultimate"? Mengapa harus menggunakan kata "terminal 3"? Bukankah di soetta sudah ada terminal 1, 2 dan 3?

Memang ada beda antara "terminal 3" dan "terminal 3 ultimate". Masalahnya, apakah dengan nama yang hampir mirip, tidak akan membingungkan bagi pengguna bandara?

Jika seseorang tidak begitu mengenal terminal bandara soetta, khususnya keberadaan terminal 3, maka akan menyampaikan ke rekan2nya, bahwa keberangkatan dan kedatangan dari terminal 3 (kebiasaan menyebut pendeknagar cepat), padahal yang dimaksud adalah terminal 3 ultimate. Hal ini tentu saja akan menyulitkan bagi:
1. yang akan melakukan  penjemputan. Karena sangat mungkin akan beda maksud, antara penumpang dan penjemput.
2. Penjemputpun akan bingung jika membaca rambu2 penunjuk jalan untuk menuju terminal 3 dan terminal 3 ultimate.
3. Penulisan di tiket harus jelas, penumpang di berangkatkan dari terminal berapa.

Mungkin bagi teman2 di PT. AP kemiripan penamaan terminal itu gak masalah, tapi sepertinya akan menjadi masalah bagi pengguna, khususnya pengguna yang belum familiar dengan bandara soetta.

Apa sulitnya jika nama terminal baru, yang sekarang disebut terminal 3 ultimate, misalnya diberi nama "terminal 4". Pasti lebih mudah membedakannya....
Apalah arti sebuah nama, pernyataan singkat William Shakespeare, ““What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”
(Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi), tapi ternyata nama memang benar2 penting. Bahkan teramat penting.

Semoga PT. AP dan maskapai bisa memberikan keterangan yang jelas pada papan penunjuk arah, lembar tiket dan memberikan edukasi kepada pengguna, sehingga tidak akan membingungkan bagi para pengguna bandara.

(Solo, bandara adi soemarmo, 14 agustus 2016)