Rabu, 23 September 2015

Sapi, beras, garam dan lainnya "beli aja" gitu aja kok repot

Saat idul adha begini banyak berita mengenai hewan potong yang tidak layak/tidak boleh untuk di potong karena tidak memenuhi syarat. Apalagi iklan tentang penjualan hewan qurban , lebih banyak lagi. Sebenarnya berita dan iklan itu gak salah.

Dari sisi berita cuma menjadi tidak seimbang karena dari tahun ke tahun beritanya juga gak jauh beda. Padahal, ada hal menarik yang selama ini jarang dibahas, bagaimana menghasilkan hewan2 qurban sehingga menjadi lebih berkualitas dan murah?

Apa mungkin? Mungkin saja, kenapa gak.

Negeri nusantara yang subur ini penuh keajaiban. Kalau adanya borobudur menjadi keajaiban dunia itu hal yang wajar, tampak mata sebagai mahakarya nenek moyang bangsa.

Tapi, mengapa sapi, beras, garam dll nya masih banyak yg harus diimport? Bukankah kata koesplus negeri ini sangat subur.

Ketika sumber daya alam ikan yang melimpah dilautan, banyak yang diam saja saat nelayan2 asing mencuri dilautan kita, selamat untuk bu susi menteri KKP yang berusaha untuk menjadikan nelayan anak bangsa agar berdaulat di negeri sendiri.

Tapi bagaimana dengan garam? Bukankah dengan panjang pantai yang luar biasa akan bisa menghasilkan garam? Ternyata selama ini, garam impor juga menguasai pasar. Mengapa hal ini terjadi? Seperti nya pedagang itu (kerennya importir) mau gampangnya mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Tidak berpikir tentang harga diri bangsa, tidak berpikir betapa banyak orang2 asing keheranan melihat mengapa bangsa indonesia impor garam, dan juga membuat kebingungan  para pejabat saat harus menjelaskan mengapa bangsa ini "harus" impor.

Sapi, kerbau, kambing juga begitu, kalau saja diteliti bagaimana kerbau, sapi, kambing, yang bisa hidup tanpa pemeliharan yang khusus di pulau rinca dan pulau komodo. Maka, kita akan berpikir, mengapa tidak kita pakai saja ribuan pulau yang kosong untuk ternak2 itu? Lepaskan saja hewan tersebut, libatkan masyarakat sekitar untuk menjaga.

Tapi, sama saja, ternyata pengusaha importir lebih suka melakukan impor sapi dari australia. Mengapa? Karena pasti untung, karena sapi di australia produknya melimpah dan murah. Bandingkan jika para pengusaha itu harus membangun peternakan sendiri, biayanya besar, prosesnya lama, ijinnya juga lama, tidak didukung oleh kebijakan, apalagi teknologi pangan dan teknologi kesehatan, dan kesimpulannya belum tentu untung. Maka, pragmatis saja, import.

Seharusnya, import harus dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jangan sampai punya keinginan, bahkan didesain untuk selalu import,  jangan hanya memilih import, karena import itu yang gampang, menguntungkan dan aman, serta didukung oleh politisi dan pengambil kebijakan.

Akhirnya, menjadi importir itu bidang usaha yang menarik, saking menariknya banyak sekali yang mau ikut2an, apalagi yang punya kekuasaan dan yang bisa membeli kekuasaan. Sehingga, pengusaha yang besar di bidang manufaktur dan sektor produksi lainnya sulit berkembang. Apalagi dibidang agrobisnis dan pertanian.

Kalau hanya memikirkan diri sendiri dan kelompok, dan tidak mau repot memikirkan "kedaulatan bangsa", bagi yang mampu, silahkan menjadi importir sapi, garam, dll. Biarkan masyarakat sekarang yang cukup melihat dan mendengar, dan anak cucu kita yang merasakan pilihan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar