Minggu, 27 September 2015

Asap hutan, asap rokok dan DPR RI

Sudah hampir 2 bulan ini saudara2 kita yang tinggal di hampir seluruh sumatera, sebagian kalimantan, tidak bisa menghirup udara bersih, kecuali harus menghirup udara yang berasap.

Bangsa ini memang tidak lepas dengan yang namanya asap.

Pertama, asap kebakaran hutan, asap ini sepertinya sudah menjadi tradisi tahunan, dan anehnya lagi,  setiap tahunnya masyarakat juga tidak bisa memilih untuk tidak menghirup asap.

Yang sabar paling hanya diam, sambil berdoa semoga asap segera hilang, yang punya gadget sudah biasa mengeluarkan amarahnya di fb, status bbm atau ngeblog. Yang lainnya sangat mungkin hanya bisa membicarakannya diwarung2, atau ditempat nongkrong membicarakan kapan turun hujan,  apa tindakan pemerintah, atau rencana2 aja untuk membeli alat pembersih udara dalam ruangan, hanya sebatas rencana karena memang belum tentu ada uang. Kalaupun ada uangnya, belum tentu alat tersebut juga mampu membuat udara menjadi bersih.

Kedua, asap rokok. Sudah sejak dahulu, hampir sebagian tempat juga dipenuhi asap, meskipun sedikit, tapi ini asap yang khas, karena telah menjadi budaya sebagian besar laki2.

Meskipun sudah banyak tulisan dan himbauan larangan merokok disembarang tempat, ataupun sudah ada penyediaan ruangan khusus merokok, tapi tetap saja banyak ditemukan orang2 merokok disembarangan tempat.

Apalagi di jakarta. Kenapa? Bisa jadi karena peraturan dilarang merokok hanya sebatas teks2 yang kering, yang tidak dipahami apalagi dihayati masyarakatnya, selain itu karena model hukumannya yang tidak mungkin dilaksanakan.

Sepertinya pemberian sanksi harus diubah, sekarang ini hukumannya menggunakan denda  maksimal x juta atau y penjara, padahal denda x juta itu besar sekali bagi masyarakat, dan ditambah proses pengadilan yang lama dan rumit. Sehingga implementasi hukum itu sulit, lebih tepatnya menjadi tidak operasional.

Mengapa tidak membuat sanksi dihukum denda minimal 50 ribu, artinya denda nya tidak usah besar, dan dilaksanakan ditempat. Sehingga hukum itu operasional. Bagi masyarakat yang kena denda kecil tapi sering, lama2 juga akan merasa besar, dan menjadi malu.

Yang lebih tidak masuk akal lagi adalah, sejauh ini pengukuran kinerja DPR RI dari sisi pelaksanaan fungsi legislasi masih sebatas "berapa" UU yang di buat. Sederhana sekali, masih sebatas kuantitas, belum kualitas. Belum ada laporan penelitian terkait bagaimana kualitas UU yang dibuat DPR RI.

Apa kaitannya dengan asap hutan dan asap rokok? Kaitannya karena UU sebagai alat mencapai kesejahteraan, dan agar tidak ada yang dirugikan, khususnya karena pembakaran hutan dan lahan sulit sekali diterapkan, hal ini tampak dari hasilnya penegakan hukum yang belum memuaskan masyarakat. Hal yang sama juga dalam pengaturan merokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar