Selasa, 28 Februari 2017

Transformasi nilai di masa orde baru

.......
Rupa-rupanya perubahan sejak 1965 telah melahirkan kelas sosial baru, kelas menengah, yang hampir-hampir tidak mempunyai akar masa lalu. Mereka adalah pendatang baru yang memanfaatkan kesempatan ketika sebuah kekuasaan tiba2 saja muncul tanpa mempunyai referensi sejarah di masa lalu. Kekuasaan itu menginginkan partner bekerja, yang tidak ditemukannya pada kelas menengah lama yang sudah mempunyai ideologi sendiri.
Dalam waktu yang singkat, kelas menengah baru itu dapat mengerjakan apa yang tidak terbayangkan, bahkan oleh kekuasaan itu sendiri. Pada mulanya mereka masih berada di bawah bayang2 wibawa kekuasaan, tetapi kemudian berhasil keluar dari jaring2nya. Akhirnya, kekuasaan harus melayani paket2 yang mereka inginkan.
Pertemuan Tapos yang terkenal itu adalah saksi bagaimana kekuasaan tiba2 sadar bahwa sejawat kelas menengahnya sudah terlalu besar. Ada keinginan untuk mengurangi kekuatan mereka, tetapi tidak tersedia peralatan konstitusional yang memadai.
.......
.......
Ketergantungan kelas menangah pada kekuasaan semakin berkurang.  Kelas menengah bisnis dan industri yang muncul sejak 1965 memang mempunyai ikatan yang kuat dengan birokrasi, tetapi mereka sudah berkembang lebih pesat dalam sepuluh tahun terakhir (1990), dengan langkah2 go public dan globalisasi bisnis menanam akar ke dalam masyarakat dan dunia internasional, sehingga mereka dapat berdiri sendiri.
Jika mereka mengatakan tidak kepada birokrasi, dapat dibayangkan bahwa pembangunan bisa berhenti.
Siapa memerlukan siapa sekarang menjadi tidak lagi jelas seperti sebelumnya.
Ketergantungan semakin melonggar, bahkan ada kemungkinan bahwa mereka menjadikan tak terkendalikan. Kedudukan yang semakin sejajar antara bisnis dan birokrasi tidak lagi menjamin kesetiaan.
.........

Dua alinia diatas dikutip dari tulisan  Kuntowijoyo, hal 409, 411 buku PARADIGMA ISLAM interpretasi untuk aksi, cetakan pertama januari 2017, tiara wacana.

Sepertinya sudah cukup jelas, apakah sejarah akan berulang?

Kalau generasi sekarang tidak mau belajar dari generasi sebelumnya, terus ikipiye?

Sabtu, 25 Februari 2017

Lompatan katak

Bila suatu bangsa mau maju seperti paman sam, negara2 eropa dan ausi, dan singgapur,  benarkah harus mengikuti tahapan perubahan bangsa2 tersebut?

Misal melalui tahapan:

Dari tradisi mitos, ke pemikirana rasional, lanjut ke empiris, terus ke paham idealis, hingga ke pragmatis.

Dari objek pembangunan yang fokus di agraris, menjadi negara industri, bangsa modern yang menguasai ITC khususnya dari sisi software.

Paham ekonomi,  dari sosialis, keynes, liberalis sekaligus kapitalis?

Dari kepemimpinan otoriter hingga demokrasi?

Apakah memang harus begitu? Melalui tahapan2 seperti itu?

Tapi untuk bisa melalui tahapan itu semua, yang dibutuhkan adalah ORANG2 BERILMU.

Seandainya, negeri kayangan mampu mencerdaskan masyarakatnya, ada orang2 yang berilmu, tapi melompat, tidak melalui tahapan2 diatas, mungkinkah negeri kayangan bisa berkemajuan?? Atau berkemajuan meski dengan pondasi yang lemah dan rapuh??

Sebenarnya, akan ada banyak alasan kemungkinan terjadinya kemajuan suatu bangsa jika di kaitkan dengan bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Setiap bidang memiliki banyak faktor. Masalahnya, mana yang sesuai dengan konteks negeri kayangan dan masyarakatnya hingga tercipta kemajuan yang berkeseimbangan hingga tercipta suatu harmoni?

Misal::

Singgapur menjadi negara maju, meski tidak ada demokrasi dan cenderung otoriter, ekonominya di monopoli BUMN pemerintah, pendapatan terbesar jasa dan investasi di indonesia.

Brunei, abu dhabi, menjadi negara maju dan modern, meski berbentuk kerajaan, pendapatan negara dahulu terbesar dari minyak, sekarang dari investasi di beberapa negara. Apakah mereka melalui itu semua, toh sekarang mereka juga mampu menjadi negara yang berkemajuan.

Tiongkok, sekarang menjadi negara maju, meski ideologi tetap komunis, tapi ekonominya sangat liberal. Dan yang perlu diperhatikan, pemerintah tiongkok sangat mendorong warganya yang menjadi pengusaha dan milyader. Tiongkok memiliki modal SDM yang luar biasa, karena banyaknya warga tiongkok yang lulus dari pendidikan eropa dan paman sam, serta ausie.

Seperti permainan catur, saat mulai terdesak dan kalah, semua kemungkinan langkah akan terasa sulit dan terbaca lawan. Itukah yang sekarang di rasakan para pemimpin negeri kayangan?

Mungkinkah negeri kayangan melakukan lompatan untuk menjadi negeri berkemajuan? Sekaligus melompat menjadi negeri berkebenaran?

*)ditulis 100% dgn hp asus zenphone 3, di  pantai anyer, banten.

Berkemajuan (saja)

Begitu menyilaukannya kemajuan teknologi industri, informasi dan komunikasi, hingga membuat banyak rakyat negeri kayangan sulit melihat kebenaran.

Bila negeri kayangan mengejar kemajuan paman sam, dan singgapur, dari sisi nilai ekonomi, sepertinya akan mustahil. Kenapa? Karena dari sisi software dan hardware pasti kecepatannya jauh dibandingkan dengan mereka.

Kecepatan gerak langkah, dan jangkauan langkah pasti akan tertinggal, semakin lama, pasti semakin tertinggal jauh.

Perlu strategi baru untuk mengejar mereka, yang pasti tidak dengan cara mereka, dari sisi ekonomi, tetapi melalui kemajuan modal sosial dan budaya. Mungkinkah?

Masih lekat diingatan ajaran nenek moyang kita, bahwa negeri kayangan adalah bangsa yang berbudaya luhur. Meski perlu usaha yang luar biasa untuk menyajikan kembali dengan bahasa era sekarang, bahasa yang mudah diterima dengan realita multikultur.

Bukankah contoh langsung lebih memiliki kekuatan daripada himbauan, anjuran bahkan perintah. Jadi, negeri kayangan perlu pemimpin yang benar2 bisa menjadi contoh, panutan dan suri tauludan untuk mengajarkan budaya bangsa nenek moyang.

Negeri kayangan perlu pemimpin seperti sukarno yang memiliki kecintaan untuk kesatuan bangsa dan negaranya, mohamad hatta dengan kesahajaannya, hugeng dengan kejujurannya, cerdas dan toleran seperti wahid hasyim, dll.

Biarkan mereka berkemajuan melalui jalur mereka, negeri kayangan harus bisa berkemajuan dengan jalur tersendiri, yakni jalur sosial budaya.

Jadi, negeri kayangan perlu pemimpin sebagai suri tauladan di bidang sosial budaya.

Kalau gak ada, ikipiye?

Selasa, 21 Februari 2017

Negeri kayangan dan (tanpa) Modal politik

Francis fukuyama ilmuwan sosial politik paman sam keturunan jepang telah menjelaskan dengan sangat  meyakinkan, bahwa modal sosial itu sangat penting bagi suatu negara. Modal sosial itu diantaranya adalah kepercayaan/trust, jaingan sosial dan norma.

Dahulu sering kita mendengar kata poleksosbud, artinya ada 4 jenis modal suatu negara untuk mencapai tujuan bernegaranya, yaitu modal politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Dalam perkembangannya, di negeri kayangan lebih mementingkan modal ekonomi. Padahal masih ada bidang politik, sosial dan budaya, yang selama ini  seolah2 terlupakan. Dan dunia akademik juga kurang memperhatikan keseimbangan kemajuan 4 modal tersebut yang dimiliki negeri kayangan.

Jika menurut francis fukuyama, indikator modal sosial sudah jelas, bagaimana dengan indikator modal politik? Perlu sekiranya cerdik pandai negeri kayangan untuk menyusun, sehingga  bisa menghitung besaran modal politik yang dimiliki.

Bila dilihat sekilas, modal politik negeri kayangan sudah menipis.

Pertama, dari sisi parpol:
1. bagaimana parpol seolah2 sudah tidak memiliki ideologi yang harus dipegang teguh, padahal nilai penting yang membedakan parpol dengan organisasi lainnya adalah di ideologinya.
2. bagaimana parpol yang tidak pernah mendeclare keuangannya, sehingga sulit untuk bisa yakin, bahwa parpol benar2 mandiri dari sisi keuangannya. Apa mungkin suatu parpol mengambil keputusan independen jika dari sisi keuangannya belum bisa mandiri? Apalagi, perilaku pemodal selalu mendekati penguasa. Dan parpol adalah organisasi yang memiliki kekuasaan berpengaruh di suatu negera demokrasi, karena parpol yang menentukan siapa calon presiden dan wakilnya, kepala daerah, dewan, selanjutnya presiden dan senator pusat yang menentukan siapa yang menjadi hakim MA, MK, anggota KPK, KPU, BPK dll.
3. bagaimana kepengerusan parpol masih sering mengalami perpecahan. Sepertinya, keberhasilan belanda menjajah negeri ini belum menyadarkan, bahwa pokitik adu domba telah menghancurkan kejayaan leluhur bangsa.
4. bagaimana banyak parpol gagal melahirkan pimpinan untuk negeri kayangan, dan
5. yang paling penting ternyata parpol telah gagal mendidik masyarakat dalam kesadaran dan kedewasaan berpolitik, hingga beberapa parpol terasa seperti badan usaha milik keluarga.

Kedua, dari sisi politisi, bagaimana politisi di negeri kayangan yang gemar melompat ke parpol lain, tanpa menperhatikan ideologi.

Dampak dari kedua sisi tersebut adalah terbentuknya simbiosis mutualisme antara pemilik modal yang menginginkan kekuasaan dan parpol yang memiliki kekuasaan butuh modal. Sehingga tidak heran jika pengurus parpol dan politisi sudah didominasi oleh mereka yang berlatar belakang pengusaha, bukan aktivis, bukan orang2 yang memiliki DNA di pergerakan.

Ketiga, penyelenggaraan pemilu dan pemilukada, masih sering terjadi sengketa hingga dibawa ke MK.

Penting bagi akademsi untuk meneliti potensi, dan eksistensi modal politik negeri kayangan, sehingga bisa menjadi dasar kebijakan dalam menyusun paket UU politik.

Jika tidak mau, apa menunggu akademisi asing?

Terus ikipiye.....

Sabtu, 18 Februari 2017

Kebenaran dan kemajuan

Masyarakat terpelajar negeri kayangan sedang pusing, karena kemiskinan, kesenjangan dan dominasi orang asing terhadap warganya.

Umat muslim pasti yakin, kebenaran itu bersumber dari alquran dan hadis. Dan kebenaran itu bersifat statis, tidak akan bertambah. Dalam islam, aqidah, akhlak, ibadah dan syariat adalah final.

Disisi lain, kemajuan itu selalu bertambah, bahkan bertambah seperti deret hitung, bahkan seperti deret ukur. Disaat sekarang paman sam memiliki peradaban yang maju, itu memang kemajuan, tapi belum tentu kebenaran.

Ketika belum ditemukan jam sebagai penunjuk waktu, bagaimana umat islam jaman dahulu mengetahui waktu sholat? Begitu juga dengan arah qiblat. Maka, ketika jam dan kompas ditemukan, itulah kemajuan, dan perintah sholat berdasarkan waktu2 tertentu tetap suatu kebenaran. Tidak berubah, final.

Tapi, bagi negara tertentu, jam dan kompas bisa saja digunakan untuk berbuat jahat, artinya kemajuan tapi belum tentu untuk kebenaran.

Begitu juga dengan hp, tab, notebook sebagai alat baca adalah kemajuan, tapi kebenaran tetap IQRA, bacalah...itu perintah Allah.

Banyak masyarakat awam negeri kayangan yang mencampuradukan antara kebenaran dan kemajuan. Kemajuan paman sam telah membiaskan sebagian besar warga muslim, seolah2 kemajuan di paman sam itu sama dengan kebenaran.

Benarkah negeri kayangan harus mengikuti kemajuan paman sam? Kemajuan singgapur?

Peradaban mereka memang berkemajuan, tetapi belum tentu itu semua kebenaran. Apa enaknya hidup di negara yang semua harus diselesaikan di pengadilan? Apa enaknya di kehidupan yang serba timpang?

Negara2 yang berkemajuan tersebut belum tentu menjadi negara yang penuh ampunan dari yang maha esa, tuhan penguasa langit dan bumi. Bukankah dahulu kerajaan fir'aun juga besar, peradabannya sangay maju dan menguasai dunia, tapi dihancurkan oleh Allah.

Elite terdidik warga negeri kayangan lagi pusing, memikirkan, agar negeri kayangan bisa tetap berpegang teguh kepada kebenaran, dan selalu berkemajuan, berkemajuan untuk ibadah muammalah,  duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi dengan negara2 lain.

Bahkan, karena sebagai muslim, maka penduduk negeri kayangan merupakan khalifah dimuka bumi, dan juga bisa membuktikan sebagai umat yang  terbaik yang pernah diciptakan oleh Allah.

Terus, kalau sebagian besar penduduk negeri kayangan tidak mengerti tugasnya sebagai khalifah, dan tidak menyadari, mereka adalah sebaik2 umat terus piye? Kalau sudah paham dan menyadari, piye rencana aksi untuk mewujudkannya?

*)tulisan ini terinspirasi dari buku ISLAM sebagai ILMU, karya Prof Kuntowijoyo, semoga Allah yang maha berilmu, menurunkan banyak orang berilmu seperti beliau.

Senin, 06 Februari 2017

Bukan mencari pengadilan, tapi keadilan

Cerita dari negeri kayangan, saat masyarakat protes, demo, atau berencana mengadu ke wakil rakyat, biasanya jika benar akan di tampung, meski ntah sampai kapan akan ditindaklanjuti. Karena memang agenda wakil rakyat negeri kayangan yang padat. Sebaliknya, masyarakat mencari keadilan di tempat lain, pengadilan.

Ternyata, dipengadilanpun, ada model baru, dicari2 pula akan kesalahannya, nantinya akan digunakan untuk menuntut balik, biasanya dengan alasan mencemarkan nama baik atau memberi keterangan palsu.

Dituntut dipengadilan, berarti beracara menurut aturan pengadilan, beracara yang membutuhkan waktu yang lama. Bagaimana masyarakat mau menghadiri proses panjang dipengadilan, untuk kerja sehari2 aja belum tentu cukup.

Apa jadinya, jika pejabat, politisi, orang kaya, perusahaan besar, diprotes masyarakat selalu diselesaikan di pengadilan, selain repot, pasti akan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat.

Jika hal itu dibiarkan terus, maka hanya yang kuat yang akan mendapatkan keadilan menurut keputusan pengadilan. Karena beracara di pengadilan itu membutuhkan waktu, pengetahuan, strategi, dan hanya orang kuat yang mampu melakukan itu.

Apakah ini  suatu tanda, bahwa untuk mencari keadilan saja sudah begitu  mengedepankan mekanisme liberal.

Bukankah era kesejahteraan kerajaan dahulu, adalah namanya "pepe", dimana ada hari2 tertentu masyarakat akan demo, protes di suatu lapangan di tengah kota, biasanya disebut alun2, maka raja beserta punggawa akan menerima, dan disana langsung ada titah raja untuk segera menyelesaikan. Jadi, kerajaan benar2 hadir di setiap permasalahan rakyat.

Apakah rakyat negeri kayangan memang menginginkan begitu? Penyelesaian dipengadilan? Terus siapa yang membela masyarakat kecil?

Katanya negara harus hadir.......

Negara dan segelintir orang

Saat indonesia terjajah, ribuan warga meninggal, berpuluh2 pemimpin dari berbagai daerah meninggal demi indonesia merdeka.

Apa sekarang kemerdekaan ini akan terhempas, bangsa ini akan tercerai berai hanya karena segelintir  orang yang selalu omong besar, yang tidak mau mengerti dan mengakui kesalahan, tidak mau melihat keadaan kalau masyarakat muak melihat tingkah mereka, dan  merasa sebagai pemberani untuk membela kebenaran.

Mungkin perlu dikaitkan dengan sistem pendidikan mereka saat sekolah dasar, menengah, bahkan saat kuliah, atau pendidikan dikeluarganya. Sehingga bisa menjadi pelajaran bagi banyak masyarakat dalam mendidik anak2 mereka.

Kita memilih negara mengorbankan mereka (segelintir orang), atau negara kita akan menjadi korban mereka.

Rabu, 01 Februari 2017

Susu di balas toba

Tidak salah jika koes plus dalam menyanyikan negeri nusantara ini seperti kolam susu. Sederhana dan sangat dalam maknanya.

Negeri subur makmur......

Negeri elok mempesona...

Negeri yang penduduknya sudah mampu menemukan bahwa kebutuhan bukan sekedar materi...tapi sudah melampaui sampai kebutuhan yang tidak nampak mata, ketentraman bathin.

Suatu tingkat budaya pengenalan diri sebagai manusia yang sangat tinggi,. proses panjang dalam sejarah manusia.

Sejarah menuliskan, puluhan suku bangsa di seluruh dunia ingin tinggal disini...dibumi nusantara.

Tinggal dengan proses baik, mengedepankan kesamaan, kesetaraan  dan sifat humanisme. Atau sebaliknya....

Jakarta dan kota besar lainnya hanyalah tanda....

Dan itu sampai sekarang ini........

Pilihan, sebagai tuan rumah, apakah tetap menjadi tuan di negeri sendiri, atau menjadi kuli di negeri sendiri.

Pilihan, atau paksaan karena memang harus memilih, suka tidak suka, mau atau tidak mau.

Dan PANCASILA mengajarkan PERSATUAN INDONESIA