Francis fukuyama ilmuwan sosial politik paman sam keturunan jepang telah menjelaskan dengan sangat meyakinkan, bahwa modal sosial itu sangat penting bagi suatu negara. Modal sosial itu diantaranya adalah kepercayaan/trust, jaingan sosial dan norma.
Dahulu sering kita mendengar kata poleksosbud, artinya ada 4 jenis modal suatu negara untuk mencapai tujuan bernegaranya, yaitu modal politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam perkembangannya, di negeri kayangan lebih mementingkan modal ekonomi. Padahal masih ada bidang politik, sosial dan budaya, yang selama ini seolah2 terlupakan. Dan dunia akademik juga kurang memperhatikan keseimbangan kemajuan 4 modal tersebut yang dimiliki negeri kayangan.
Jika menurut francis fukuyama, indikator modal sosial sudah jelas, bagaimana dengan indikator modal politik? Perlu sekiranya cerdik pandai negeri kayangan untuk menyusun, sehingga bisa menghitung besaran modal politik yang dimiliki.
Bila dilihat sekilas, modal politik negeri kayangan sudah menipis.
Pertama, dari sisi parpol:
1. bagaimana parpol seolah2 sudah tidak memiliki ideologi yang harus dipegang teguh, padahal nilai penting yang membedakan parpol dengan organisasi lainnya adalah di ideologinya.
2. bagaimana parpol yang tidak pernah mendeclare keuangannya, sehingga sulit untuk bisa yakin, bahwa parpol benar2 mandiri dari sisi keuangannya. Apa mungkin suatu parpol mengambil keputusan independen jika dari sisi keuangannya belum bisa mandiri? Apalagi, perilaku pemodal selalu mendekati penguasa. Dan parpol adalah organisasi yang memiliki kekuasaan berpengaruh di suatu negera demokrasi, karena parpol yang menentukan siapa calon presiden dan wakilnya, kepala daerah, dewan, selanjutnya presiden dan senator pusat yang menentukan siapa yang menjadi hakim MA, MK, anggota KPK, KPU, BPK dll.
3. bagaimana kepengerusan parpol masih sering mengalami perpecahan. Sepertinya, keberhasilan belanda menjajah negeri ini belum menyadarkan, bahwa pokitik adu domba telah menghancurkan kejayaan leluhur bangsa.
4. bagaimana banyak parpol gagal melahirkan pimpinan untuk negeri kayangan, dan
5. yang paling penting ternyata parpol telah gagal mendidik masyarakat dalam kesadaran dan kedewasaan berpolitik, hingga beberapa parpol terasa seperti badan usaha milik keluarga.
Kedua, dari sisi politisi, bagaimana politisi di negeri kayangan yang gemar melompat ke parpol lain, tanpa menperhatikan ideologi.
Dampak dari kedua sisi tersebut adalah terbentuknya simbiosis mutualisme antara pemilik modal yang menginginkan kekuasaan dan parpol yang memiliki kekuasaan butuh modal. Sehingga tidak heran jika pengurus parpol dan politisi sudah didominasi oleh mereka yang berlatar belakang pengusaha, bukan aktivis, bukan orang2 yang memiliki DNA di pergerakan.
Ketiga, penyelenggaraan pemilu dan pemilukada, masih sering terjadi sengketa hingga dibawa ke MK.
Penting bagi akademsi untuk meneliti potensi, dan eksistensi modal politik negeri kayangan, sehingga bisa menjadi dasar kebijakan dalam menyusun paket UU politik.
Jika tidak mau, apa menunggu akademisi asing?
Terus ikipiye.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar