Sabtu, 08 Oktober 2016

Mereka (ronggo warsito) hidup di jamannya

Jika ulama dan ahli2 sekarang ini, era tahun 2000an menulis karya mereka dengan bahasa indonesia wajar, karena sebagian umatnya paham berbahasanya juga bahasa indonesia.

Misal mantan rektor IAIN/UIN pak quraish shihab dengan buku lentera hati, tafsir al misbah, pak komarudin hidayat dalam karyanya Memahami Bahasa Agama (1996)
Masa Depan Agama (1995), Tragedi Raja Midas (1998), Tuhan Begitu Dekat (2000), Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi (2002), Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003), Psikologi Kematian (2005) kebanyakan dalam bahasa indonesia, meski beliau2 pasti mampu menulis dalam bajasa arab yang baik sekali.

Keseharian mereka bisa dilihat dari cara berdoa yang terkadang masih 100%  berbahasa indonesia, dan terkadang juga masih campur bahsa indonesia dan bahasa arab. Bahkan saat khatib membacakan ceramah jumatpun masih menggunakan bahasa indonesia, dapat dijumpai di beberapa daerah masih menggunakan bahasa daerah masing2.

Artinya, dalam keseharian beragama, masyarakat indonesia saat ini tidak semua menggunakan bahasa arab. Apalagi untuk bahasa keseharian.

Seandainya 300 tahun nanti, karena ada kejadian luar biasa, sehingga bahasa nasional dan bahasa keseharian masyarakat kita bukan bahasa indonesia, dan kita hidup di masa itu, apakah kita akan mengatakan islam masyarakat yang hidup tahun 2000an itu islam indonesia? Karena banyak doa, dan aktivitas keagamaan menggunakan bahasa indonesia?

Begitu pula pandangan orang sekarang, yang hidup di tahun 2000an setelah bahasa indonesia menjadi bahasa nasional dan keseharian. Ketika kita memandang ronggo warsito yang hidup di tahun 1800an, dengan karya2nya (tulisan) dalam bahasa jawa, kemudian dengan mudahnya banyak orang mengatakan ronggo warsito itu "kejawen".

Seperti diketahui, ronggo warsito atau dikenal sebagai Raden Ngabehi Rangga Warsita lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Maret 1802 meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71 tahun adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa. Sewaktu muda ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Artinya apa? Beliau juga sangat mengenal islam.

Apalagi namanya sangat jawa sekali "ronggo warsito", seandainya ronggo warsito mengubah namanya dalam bahasa arab, dan karyanya dalam bahasa arab, akankah banyak orang sekarang masih mengatakan ronggo warsito itu kejawen?

Janganlah menggunakan ukuran diri kita untuk orang lain. Apalagi sudah beda masanya, sudah beda jamannya, dan tentu saja sudah beda sosial budaya nya.

Dan lebih menyedihkan lagi, ketika apapun berbahasa arab, kebiasaan arab, selalu disamakan dengan islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar