Senin, 31 Agustus 2015

Sulitnya rekreasi di negeri sendiri

Ada rasa iri ketika melihat bule2 dengan gaya "gembel"nya banyak sekali di bali. Apakah memang mereka orang kaya di negerinya, sehingga dengan kekakayaannya mereka bisa berlibur berhari2 bahkan berminggu2 di bali? Mengapa sedikit sekali cerita orang indonesia bisa berlibur di bali atau ke tempat wisata lainnya selama berminggu2.

Memang 3-4 tahun terakhir ini sudah ada buku yang bercerita tentang perjalanan wisata dengan menjadi backpacker, pengalaman rekreasi/wisata dengan gaya nge"gembel" yang ditulis dalam sebuah  buku yang memang mengesankan, tetapi sejauh ini backpacker ini belum menjadi kebiasaan di negeri ini.

Bisa jadi, dari sisi materi banyak masyarakat yang sudah mampu melakukan rekreasi dengan backpacker, tapi hal ini belum menjadi kebiasaan, apalagi menjadi menjadi gaya hidup.

Melakukan rekreasi/wisata bisa jadi ini juga di pengaruhi model perkantoran (PNS dan perusahaan asli indonesia) dan pemberi pekerja di indonesia yang sangat sulit memberikan cuti kerja. Kalau perlu pegawai itu tidak boleh cuti. Sehingga, ketika lingkungan tidak mendukung, maka rencana untuk mengagendakan melakukan perjalanan wisata menjadi sulit, dan ini juga berpengaruh dari sulitnya memanfaatkan tawaran wisata promo atau tiket promo.

Sangat mungkin, pengaruh terbesar tidak terbiasa rekreasi  karena masih adanya kebutuhan pokok yang memang harus dipenuhi, dibandingkan dengan kebutuhan bersenang2.

Ada yang sulit dimengerti, mengapa di negara2 maju, warganya hanya bekerja 3 bulan, tapi hasilnya bisa digunakan untuk keliling dunia 1 bulan,  sedangkan bagi warga negara indonesia, bekerja 3 tahun, hasilnya dipakai keliling bali 3 hari saja belum tentu cukup.

Bahkan, pengangguran aussie dengan subsidi dari negaranya bisa tinggal di bali berminggu2.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apa hal ini dipengaruhi oleh nilai mata uang yang berlaku di negara2 maju tersebut? Artinya, semakin tinggi nilai mata uangnya, maka akan semakin besar nilainya jika akan digunakan untuk keliling dunia di negara2 yang memiliki mata uang rendah seperti indonesia.

Yang seringkali bikin nyesek ati, mengapa warga indonesia yang sudah bekerja keras, tetap harus bekerja keras sampai hari tuanya. Beda sekali dengan warga negara2 maju....

Hujan emas di negara orang lain, tetap lebih baik hujan batu di negara sendiri. Meski kita mau nya kalau bisa hujan emas di negeri sendir.  Semoga.....

Begitu nyata menjadi kuli di negeri sendiri

Tidak terbantahkan, bandara ngurah rai bali memang mengalami perubahan fisik yang sangat signifikan. Baik dari luas, kemewahan dan juga fasilitas yang diberikan. Seperti tersedianya fasilitas ATM yang sangat lengkap dan ruang tunggu yang cukup memadai serta resto2 yang terkesan antik,  meski tetap tampak mewah dan nyaman.

Lama duduk diruang tunggu ada yang aneh dengan para pekerja yang bekerja di bandara ngurah rai ini. Para pekerja kebersihan dengan seragamnya, penjaga toilet yang berdiri sambil melihat kedatangan pengguna, ataupun para pramuniaga yang menjaga toko yang berharap pengunjung untuk mampir di tokonya, bahwa mereka tampak sekali sebagai orang asli/lokal diantara banyaknya orang asing/bule2. Mereka semakin nyata saat mereka bekerja bersama dan berdekatan.

Mengapa mereka disini, menjadi "kuli" di negeri sendiri? Mengapa juga saat kita mendengar TKW disana tetap juga menjadi "kuli" di negeri orang? Apakah ini karena pemberitaan yang tidak seimbang.
Maksudnya, sebenarnya ada juga orang kaya indonesia di dalam/luar negeri yang memiliki pekerja asing. Tapi tidak menjadi pemberitaan.

Jadi ingat bagaimana ibu sushi menteri KKP menjawab dengan cerdas saat diberitakan pilot di perusahaannya ternyata lebih banyak pekerja asingnya. Artinya orang pribumi menjadi tuan di negeri sendiri ternyata ada. Adakah lainnya selain beliau?

Permasalahannya adalah, mengapa banyak orang indonesia yang justru menjadi kuli dinegeri sendiri dan juga menjadi kuli dinegeri orang lain? Mengapa mahasiswa/i indonesia yang kuliah di luar negeri (eropa/usa/aussie) seringkali bercerita bahwa mereka disana terbiasa menjadi tenaga kasar untuk mencari tambahan uang saku.

Apakah dinegeri asing tersebut memang sudah makmur semua, sehingga tidak ada lagi pekerja kasar? Tidak ada lagi orang bekerja informal pada perusahaan/ orang lain. Apakah semua pekerjaan sudah menjadi profesi, sehingga pekerjaan kasar tersebut seringkali harus dikerjakan sendiri?.

Apapun penyebabnya, tapi yang pasti sudah terlihat dengan nyata dan jelas, bahwa banyak warga indonesia telah menjadi kuli di negeri sendiri dan juga menjadi kuli di negeri orang lain.

Bagaimana cara mengurangi hal ini? Tidak ada cara lain selain meningkatkan kapasitas SDM semua warga negara. Dengan memberi kesempatan dan dorongan bagi warga negara untuk selalu IQRA dan IQRA.

Minggu, 16 Agustus 2015

Moge, apa manfaatnya untuk pengguna jalan?

Hari sabtu 15 aguatus 2015 ramai di bicarakan di media sosial, seorang bawa sepeda menghadang rombongan moge di yogya. Dan banyak nitizen yang memberi apresiasi terhadap pengendara sepeda tersebut, belakangan di ketahui bernama Elanto Wijoyono.

Dan sebagian komen2 di medsos juga banyak mengkritik pengendara moge. Sepertinya masyarakat kurang memberi apresiasi terhadap pengendara moge. Mengapa?

Sangat mungkin karena pengendara moge sangat eksklusif, dan sering meminta pelayanan yang berbeda (diistimewakan) dengan kendaraan bermotor lainnya. Misal:
1. penggunaan jalan tol, jelas hanya untuk kendaraan beroda empat atau lebih. Tapi ada juga pengendara moge lewat tol. (http://m.youtube.com/watch?v=PaqdnVWlF2E)
2. kalau pengendara motor biasa lewat ya lewat2 saja. Tidak perlu pengawalan. Beda sekali dengan moge. Apa karena mereka bayar pajak lebih mahal dibandingkan motor biasa? Atau karena pengendara moge sebagian orang "penting"?
3. Karena sudah dikawal, terkadang kecepatan rombongan moge sepertinya melebihi kecepatan normal untuk di jalan.
4. Moge di sediakan parkir khusus di beberapa mall, meskipun parkir di mall itu urusan pengelola mall.
5. Meski moge identik dengan motor mahal, tapi belum pernah ada pemberitaan pendapatan negara/daerah dari moge. Apa memang sudah masuk dalam kategori pajak kendaraan bermotor roda dua? Atau sebaliknya moge itu tidak memiliki surat. ( http://pertamax7.com/2015/06/29/lima-klub-moge-ajukan-akses-jalan-tol-saat-40-persen-motor-besar-bodong-tanpa-surat/)
6. Pengendara moge cenderung arogan. Lihat bagaimana saat rombongan moge di yogya, saat kejadian diantara mereka ada yang menabrak mobil kepala dinas pariwisata DIY. (http://m.merdeka.com/peristiwa/panitia-akui-ada-biker-moge-senggol-mobil-warga-yogya-lalu-kabur.html)

Masyarakat melihat mobil mewah lewat juga biasa saja, beda saat melihat moge. Mengapa? Karena meskipun itu mobil mewah lewat, tapi jika memang sesuai aturan yang berlaku umum, masyarakat sangat paham, sehingga tidak mempermasalahkan. Bandingkan dengan saat pengendara moge lewat. Sepertinya ada kecenderungan untuk tidak memberi perhatian yang positip.

Bagi masyarakat kebanyakan sangat mungkin berpikirnya sederhana, jika tidak bisa memberi manfaat dan kemudahan bagi pengedara lainnya, minimal jangan mengganggu. Apakah hal ini ada di pengendara moge? Memberi manfaat dan kemudahan bagi pengendara lain? Atau justru sudah masuk kategori mengganggu?

Biarkan pengambil kebijakan pengelola jalan yang melakukan survei. Sehingga bisa membuat kebijakan sesuai kebutuhan masyarakat. Bukan melulu hanya memberikan kemudahan  bagi yang berUang dan berkuasa.

Sabtu, 15 Agustus 2015

Angka Indeks gini dan importir daging sapi


Apakah ada hubungan ketimpangan/kesenjangan (indeks gini yang lebih dari 0.4) yg semakin lebar/besar dengan keberadaan mafia ekonomi yang ada di bangsa ini.

Baru2 ini ramai dibicarakan mahalnya daging sapi, diduga penyebabnya adalah permainan para mafia pedagang daging sapi, lebih tepatnya mafia importir daging sapi. Dan sekarang KPPU juga sedang menyelediki kemungkinan adanya kartel dalam import daging daging sapi tersebut.

Seandainya betul adanya mafia importir daging sapi, yang begitu mudah dan besar bisa mendapatkan keuntungan, dan itu tidak lebih dari 20 perusahaan. Pastilah mereka sudah kaya sekali.... (http://m.republika.co.id/berita/kolom/fokus/13/02/12/mi3rvl-ini-cara-main-mafia-impor-daging-sapi)

Dan, jika, seandainya, barangkali, mafia itu ada, dan mungkin juga ada di importir garam, importir beras, importir minyak, dan importir barang2 lainnya....sangat mungkin importir2 itulah yang sangat kaya dan masyarakat yang jadi korban, artinya masyarakat akan membeli lebih mahal. Padahal importir2 sangat sedikit sekali jumlahnya dibandingkan masyarakat indonesia.

Artinya apa, jika betul adanya mafia2 itu, sangat mungkin ikut memberikan andil semakin memperbesarnya indeks gini di indonesia.

Dengan memberantas mafia tersebut berarti telah ikut mewujudkan tujuan negara keadilan dan kesejahteraan.

Referensi:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/10/111000326/.Pak.Harto.yang.Otoriter.Saja.Gini.Rationya.Tak.Sebesar.Ini.

Dimana uang idle APBN?

Mengapa di bulan 5 dan 6 tahun anggaran 2015, menkeu rajin sekali mengatakan penyerapan APBD rendah, dan jarang sekali menyebut bagaimana penyerapan APBN.

Dan juga menkeu rajin menyebut dana idle pemda dalan semester pertama ini ratusan triulliun dan dana itu di tempatkan di Bank Pembangunan Daerah (BPD), selanjutnya dana yang di BPD tersebut oleh BPD dibelikan SUN. 

Mungkin menkeu pura2 lupa, atau memang tidak mau menyampaikan, ketika  penyerapan dipusat sangat kecil, kemana uang idle pusat?

Semester pertama t.a 2015 penyerapan APBD jauh lebih bagus dibandingkan dengan APBN. Karena penyerapan APBN terhambat oleh restrukturisasi organisasi Kementerian dan Lembaga.

Penyerapan APBN itu pun perlu di cek sebenarnya, apakah penyerapan APBN itu karena kegiatan pembangunan atau sekedar gaji TNI, POLRI, ASN dan pejabat negara lainnya. Atau jangan2 belanja APBN itu tampak besar karena belanja transfer ke daerah dan dana desa yang besar?

Meski menkeu dapat menunjukkan data2 APBD tersebut, tapi sebaiknya diimbangi dengan kajian dan analisis yang jelas mengapa penyerapan APBD rendah.

Apa sih sebenarnya penyebab realisasi APBD rendah? Diantaranya adalah:
A. Terlambat di Perencanaan dan penganggaran.
1. Terlambat penetapan RKPD dan
2. Terlambat penetapan perda APBD.
B. Saat pelaksanaan.
1. Restrukturisasi organisasi yang belum selesai.
2. Restrukturisasi pegawai, hal ini akan terkait dengan penetapan pengelola keuangan dan pejabat lelang.
3. petunjuk pelaksanaan perda APBD: penetapan DPA SKPD dan anggaran kas, pengaturan mekanisme lelang.
4. Rencana perubahan karena perencanaan yang kurang cermat.
5. Adanya keragu2an dalam melaksanakan, sehingga perlu dikonsultasikan kepada pemerintah pusat, BPK bahkan ke APH.
6. Beberapa kegiatan memang sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca, dan dipengaruhi oleh selesainya kegiatan lainnya.
7. Beberapa tahun yang lalu, beberapa kegiatan yang bersumber dari dana transfer terlambat karena menunggu juknis yg juga terlambat.
8. Beberapa daerah yang memiliki DBH tinggi cenderung terjadi perbedaan pagu di anggaran APBD dengan penetapan transfer di perpres/pmk. Hal ini berakibat pada kualitas APBD. Silpa terbesar rata2 dimiliki oleh pemda dengan DBH tinggi. Artinya apa? Penyebab Silpa tinggi diantaranya  karena besaran dana transfer DBH yang tidak bisa ditetapkan menkeu dengan tepat.
9. Adanya keraguan dan kekwatiran bagi pelaksana APBD terhadap implikasi hukum. Hal ini bisa terjadi karena begitu mudah dan gampangnya mereka dipanggil APH.

Masih banyak penyebab lainnya mengepa penyerapan APBD rendah.

Tapi yang pasti, kegemaran menkeu yang lebih sering menyampaikan idle dana APBD, kasda pemda yang ditempatkan di BPD, BPD  membelikan SUN, pernyataan negatif terhadap pekerjaan pengelolaan APBD dan pengelolaan BPD menjadi kurang bijak, bahkan cenderung tendensius, akan tampak lebih elegent bagi menkeu jika menunjukkan juga mengapa penyerapan di APBN juga rendah, dan uang APBN disimpan dimana.

Seperti diketahui, bahwa menkeu sendiri pengelola APBN dan mewakili pemerintah dalam pembinaan  dan pengawasan BUMN perbankan, tapi sangat sedikit menkeu menyampaikan kepada publik kemana penyerapan APBN yang rendah di semester pertama t.a 2015 dan menkeu juga tidak pernah mengungkapkan berapa dana APBD yang didepositokan ke PERBANKAN BUMN, selanjutnya oleh perbankan BUMN tersebut uangnya untuk apa? Membeli SUN atau kredit ke masyarakat kecil?

Selasa, 11 Agustus 2015

Berkumpul di tempat pelayanan umum

Salah satu ciri tempat2 umum, seperti di kawasan bandara, stasiun ataupun terminal di Indonesia ini adalah, selalu banyak orang bergerombol, berkumpul dan pasti selalu rame, tetapi apakah mereka itu pengguna atau yang berkepentingan untuk hadir? Mengapa hal itu terjadi?

Apakah memang selalu ada rizki disana? Apakah kehadiran mereka membantu pengguna pelayanan umum tersebut? Atau sebaliknya?

Biasanya, ketika banyak orang berkumpul tanpa tujuan yang kurang jelas, akan terjadi kecenderungan untuk mendominasi minoritas yang ada disekitar mereka. Apalagi minoritas itu pendatang. Mengapa? Karena ketika mereka berkumpul akan menimbulkan semangat dan keberanian.

Sekitaran sebulan yang lalu, menhub akan mengatur agar tidak semua orang bisa masuk kawasan stasiun ataupun terminal. Kalau sekarang ini, siapapun dapat masuk terminal begitu mudah dan tanpa biaya. Meskipun ada retribusi dikawasan stasiun dan terminal, tapi di tempat2 tertentu tetap masih bebas/free.

Apa implikasinya jika pelayanan publik dipenuhi oleh orang2 yang kurang jelas aktivitas, tujuan dan kesibukannnya? Yang pasti akan tampak rame, biasanya akan meninggalkan sampah, apalagi kalau masih banyak yang merokok sembarangan. Dari sisi psikologis penumpang, keramaian itu akan menimbulkan was-was.

Jadi, memang ada baiknya, perlu diatur pembatasan agar tidak sembarangan orang masuk tempat pelayanan umum. Biar pengguna merasa lebih nyaman dan aman. Bila perlu, mereka yang mengganggu kenyaman pelayanan umum untuk di beri sanksi. Misalnya bagi yang buang sampah sembarang, merokok sembarang. Dan juga sebaliknya, agar pengelola juga memberi apresiasi bagi pengguna yang berperilaku baik dan ikut menjaga tempat2 pelayan umum tersebut.

Senin, 10 Agustus 2015

Kurang dari 15 menit gratis

Kebijakan yang perlu diacungi jempol bagi pengelola bandara soetta diantaranya adalah kebijakan yang menggratiskan parkir mobil apabila masuk area parkir kurang dari 15 menit.

Tentu saja ini menjadi pemicu untuk  tidak lama2 di kawasan parkiran bandara. Sehingga sejak kebijakan ini diterapkan, agak terasa berkurangnya kepadatan kendaraan di area parkir bandara soetta.

Dari sisi pengguna parkir, hal ini menjadi lebih murah, karena saat masuk area parkir untuk drop off atau menjemput penumpang akan mengatur waktu, sehingga mendorong driver untuk mengatur waktu agar tidak lebih 15 menit di area parkiran bandara.

Bandingkan dengan stasiun gambir atau stasiun  senin, hanya drop off saja harus bayar 5 ribu. Kenapa tidak meniru kebijakan dibandara? Mungkin karena kapasitas parkir distasiun tersebut masih cukup longgar. Atau karena hasil parkir masih menjadi pendapatan yang utama bagi pengelola stasiun?

Dari sisi konsumen, tentu saja kebijakan ini memberatkan. Tapi karena kebutuhan akan drop off atau memasuki area parkir dan tidak ada pilihan, akhirnya bayar 5 ribu juga gak apa2. Dan di mall dan hotel sepertinya juga belum ada yang meniru kebijakan parkir gratis sebelum 15 menit, layaknya di bandara soetta.

Menulis-membaca dan bicara-mendengarkan di bandara

Judul itu memang terasa panjang, tetapi tujuannya untuk memudahkan maksud dari isi tulisan ini.

Saat dibandara international ngurah rai, ruang tunggu gate 5, minggu kedua Agustus 2015, sedikit sekali terlihat monitor tv sebagai media pengumuman status penerbangan. Bahkan untuk diruang tunggu sama sekali tidak ada. Kalaupun ada tv justru berisi acr hiburan.

Yang sering terdengar justru adanya beberapa kali pengumuman penerbangan. Tentu saja itu menjadi tidak nyaman. Awalnya terasa aneh, akhirnya menjadi terbiasa, ketika ada pengumuman via speaker, konsentrasi sejenak untuk mendengarkan. Apalagi jika kualitas suara yang dihasilkan speaker kurang bagus, tentu saja akan menghabiskan energi untuk konsentrasi.

Bahkan beberapa kali petugas dari maskapai penerbangan justru berteriak2 tanpa alat, mengumumkan pernerbangan. Menjadi hiburan dan mengusik rasa kasihan terhadap beratnya kerja mereka.

Apakah ketidaktersedianya tv sebagai media pengumuman karena bandara ngurah rai masih baru? Artinya rencana penyediaan sudah ada, tapi belum dilaksanakan karena adanya beberapa hambatan. Misalnya dari sisi pendanaan.

Jika diperhatikan di tempat2 yang sejenis, di beberapa bandara dan stasiun, bahkan terminal bus, untuk di bandara memang relatif lebih lengkap dan maju. Terkait dengan kuantitas, perlu mendapatkan perhatian bersama. Agar tidak ada lagi cerita penumpang ketinggalan pesawat, kereta ataupun bus hanya karena tidak mendengar pengumuman.

Selain kuantitas, yang perlu mendapat perhatian adalah isi atau konten tv tersebut. Di bandara soetta masih sering dijumpai perbedaan informasi di tv yang terletak di pintu gate dengan di dokumen boarding. Hal ini pasti akan menimbulkan keraguan bagi penumpang. Bisa jadi, dari pada berbeda sehingga membingunkan, lebih baik tidak ada saja. Beberapa kali isi tv kurang update.

Sudah agak lama di pintu keluar bandara soetta diterminal 2.f terdapat tv yang berisi status kedatangan pesawat. Hal ini tentu saja akan mempermudah penjemput.

Mengapa perkembangan tv sebagai media informasi dibandara, stasiun dan terminal sangat lambat sekali? Mengapa masih tetap dominasi penyampaian informasi melalui suara speaker?  Betulkah pengguna merasa nyaman dan mudah dengan suara speaker? Atau justru sebaliknya.

Mungkinkah hal ini ada kaitannya budaya baca-menulis yang masih sangat kurang, dibandingkan dengan budaya bicara-mendengarkan di bangsa ini. Hal ini bisa jadi dipengaruhi sejarah panjang bangsa ini yang dari dulu lebih sering mendengar cerita wayang, ketoprak dan ludruk dll. Dan juga budaya ceramah dalam pengajian2.

Ada baiknya teman2 dari jurusan komunikasi melakukan penelitian ini. Agar menjadi dasar arah pengambilan kebijakan pengelola bandara, pengelola stasiun dan terminal.

Delay penerbangan, kebiasaan nyampah dan monopoli tempat duduk

Seiring meningkatnya jumlah penerbangan, tentunya semakin sulit pengaturan jadwal penerbangan, ditambah dengan keinginan maskapai yang mementingkan penambahan jumlah penumpang dan penerbangan, tetapi tidak diimbangi dengan jumlah pesawat yang memadai, sehingga menjadi sangat biasa dan terasa umum naik pesawat dengan maskapai tertentu terjadi delay.

Saat beberapa penerbangan delay dalam waktu yang bersamaan, yang pasti terjadi adalah penumpukan penumpang diruang tunggu, dan karena aturan, jika terlambat dalam jangka waktu tertentu, maka maskapai harus menyediakan snack, bahkan makanan.

Masalah berikutnya adalah, ketika sebagian besar penumpang, makan snack dan makanan nasi kotak yang dibagikan maskapai, pasti ada saja beberapa penumpang yang asal meninggalkan sampah di sekitar tempat duduknya diruang tunggu. Mereka lupa atau tidak berpikir, bahwa setelah mereka pergi, maka tempat itu akan dipakai oleh orang lain. Padahal pengelola bandara sudah menyediakan tempat sampah.

Mengapa mereka berperilaku seperti itu? Apakah hal seperti ini hasil didikan keluarga atau didikan saat di sekolah?  Terkadang memang harus diakui, beberapa bule yang kelihatannya pake baju asal2an aja, ternyata mereka sangat menjaga kebersihan. Bule2 itu tidak buang sampah sembarang.

Ada lagi pemandangan yang sudah jamak di bandara, beberapa penumpang yang bawa tas, meletakkan tasnya di kursi samping mereka duduk, bahkan ada yang tidur2an, disisi lain banyak penumpang tidak kebagian tempat duduk.

Apakah pemandangan ini sudah dapat menggambarkan budaya bangsa ini? Mementingkan diri sendiri di tempat umum,  tidak memikirkan orang lain yang juga memiliki hak yang sama. Semoga saja tidak.

Minggu, 09 Agustus 2015

Toilet, gaya hidup dan kesesuaian kebutuhan

Tidak bisa dipungkiri jika kebutuhan peningkatan kualitas pelayanan publik untuk bandara internasional soetta semakin meningkat. Hal ini tentu saja harus diimbangi dengan pembangunan, terutama infrastruktur. Masih belum terlalu lama ini, bandara soetta sudah membangun terminal 3.

Seperti layaknya bangunan baru, fasilitas dan sarana prasarana juga baru. Tidak terkecuali toilet, khususnya tempat kencing laki2 yang didesain harus kencing sambil berdiri, dan seperti biasanya, dilengkapi dengan aliran air untuk pembersih.

Masalahnya adalah, ketika untuk mengeluarkan air pembersih itu  itu harus menggunakan teknologi canggih, menggunakan sensor, dan tentu saja sensor itu akan bekerja saat ada yang mendekat. Saat ada yang mendekat, maka keluarlah air pembersih itu.

Justru disitu sebenarnya masalah yang sebenarnya, saat pengguna datang, air pembersih keluar, tapi saat selesai justru tidak keluar itu air pembersih. Jadi bagaimana mau bersuci?

Apa pengelola bandara tidak memikirkan hal ini, tidak memikirkan kebutuhan pengguna yang sebagian besar adalah muslim yang membutuhkan air untuk bersuci.

Apakah penyediaan sarana untuk layanan publik di indonesia ini sebagian besar juga begini?

Artinya, apakah yang penting ada, tersedia, masalah sesuai kebutuhan pengguna itu urusan lain?. Yang penting secara administrasi keuangan sudah dapat dipertanggungjawabkan, dan secara teknologi tergolong canggih dan sesuai gaya hidup. Apalagi banyak bule2 yang menggunakan toilet tersebut, kan bisa dinilai oleh mereka bahwa pembangunan terminal 3 soetta canggih, khususnya penyediaan toiletnya.

Mengapa mereka mendesain aliran  toilet harus dengan sensor seperti itu? Apakah sengaja diperuntukkan bagi orang2 yang tidak perlu bersuci? Jadi berprasangka, apa sengaja agar kaum muslin terkena najis saat ke toilet karena kesukitan bersuci, sehingga tidak sah sholatnya. Semoga saja tidak demikian.

Mobil, kemiskinan dan kelas sosial

Judul itu bukanlah untuk menyalahkan kaum miskin. Tapi di negara tercinta Indonesia ini, orang miskin itu memang sulit, dan benar2 sulit, lebih tepatnya dipersulit.

Untuk yang kaitannya dengan administrasi pemerintahan atau pelayanan publik, masih banyak yang belum memuaskan. Bagaimana dengan pelayanan yang diberikan oleh swasta? Apakah sudah memuaskan?

Permasalahan mendasar bukan hanya memuaskan atau tidak, tapi pemisahan layanan untuk "orang miskin" sejak awal sudah sangat terasa.

Marilah kita perhatikan layanan untuk:
1. Parkiran kendaraan bermotor di hotel dan mall. Biasanya motor disediakan tempat parkir yang jauh. Kecuali motor besar.
2. Di beberapa stasiun (gambir), motor ojek dan bajay tidak boleh masuk kawasan parkir. Jadi, kalau orang miskin yang mampunya naik ojek, harus jalan kaki lumayan jauh untuk sampai pintu masuk stasiun (peron). Padahal ojek itu sekarang lebih kepada menghemat waktu.
3. Penggunaan jalan tol didesain tidak  untuk sepeda motor, dan tidak pernah diusahakan untuk disediakan. Kecuali keadaan darurat saat banjir.
4. Pejalan kaki di kantor OJK depan Kemenkeu lapangan banteng pun tidak boleh lewat pintu depan, harus melewati pintu samping.
5. Dengan alasan keamanan, taxi tidak boleh masuk area perkantoran.
6. Motor juga tidak boleh lewat jalan protokol tertentu di Jakarta.
7. Drop off penumpang motor juga tidak boleh di bandara soetta, stasiun, mall, hotel, rumah sakit dll.

Artinya apa? Menjadi orang miskin itu memang tidak enak. Seringkali dianggap tidak penting, sehingga tidak diberi hal2 khusus untuk pelayanan. Baik itu oleh pemerintah maupun swasta.

Sedangkan bawa mobil, dengan sendirinya diberi kelas sosial yang lebih baik. Meskipun mobilnya bisa jadi masih kredit, atau berasal dari pinjam atau rental.