Minggu, 10 Desember 2017

Pembangunan era VOC untuk siapa?

Tahun 1990 masih sering melihat kebun tebu dan pabrik gula, serta rel sebagai jalan lokomotifnya. Tapi sekarang ini sepertinya sudah sulit diketemukan.

Dulu tidak pernah berpikir pabrik gula yang dibangun era VOC untuk siapa? Untuk rakyat indonesia ato untuk VOC?, begitu juga dengan rel jalan lokomotifnya....itu untuk siapa.

Tapi, sekarang mulai ada pemahaman dan  pengertian, mengapa ada jalan deandles, rel dan lokomotif, pabrik gula, dan mengapa dulu VOC membawa biji kopi untuk di tanam di bumi yang memiliki banyak gunung. Mengapa VOC dulu menanam teh, menanam coklat dll. Ternyata, hasil alam itu sangat menguntungkan VOC untuk di perjualbelikan di eropa. Dan untuk mengangkut hadil bumi itu membutuhkan jalan, lokomotif, serta dibutuhkn pabrik gula.

Artinya, investasi VOC di bumi pertiwi ini tujuan utamanya hanya untuk mempermudah VOC itu sendiri, untuk menguntungkan VOC itu sendiri. Kalopun ada manfaatnya untul bumi putera, pasti lebih banyak untuk VOC.

Yang pasti VOC sudah mengamankan jalur transportasi di darat dengan membangun jalan, rel lokomotif hingga ke pelabuhan laut. Di jalur laut, VOC juga tetap berusaha menguasai jalur laut antar pulau2 sampai ke eropa, meski terlihat sulit, karena rebutan kekuasaan jalur laut antar kelompok dagang asia dan eropa lainnya.

Dan dari sisi bisnis, VOC selalu menginginkan monopoli, semua mau diambilnya sendiri, mau dikuasai sendiri. Apa yang dilakukan VOC untuk menguasai tempat2 dagang dan tempat2 strategis? Mengajak kerjasama raja/penguasa lokal, jika tidak bisa, di adu domba, jika tidak bisa juga baru di serang dengan kekuatan tentara.

Apakah strategi VOC itu masih relevan era sekarang ini? Mungkinkah sejarah akan berulang di negara anttahbrantah now.

Mari bersama2 di pikirkan dan direnungkan. Apa jadinya jika jalan, pelabuhan, bandara, di operasikan ato dijual ke swasta? Bagaimana dengan keamanan negara tersebut? Bagaimana dengan penguasaan tanah dalam kawasan2 khusus, dimana pemodal selalu membangun pagar tinggi dan kokoh. Dan juga pembangunan super blok apartemen yang penguasaan dan keamanannya selalu dengan pagar besar dan tinggi.

Jadi, pembangunan dan penguasaan di negara antahbrantah itu semua oleh kelompok pemodal dari golongan tertentu, senyatanya untuk apa? Untuk siapa?

#saveAnakBangsaAntahBrantah
#savePemilikSahamAntahBrantah

Dimana pentingnya ketua parpol?

Permasalahan parpol yang paling sering adalah perpecahan, rebutan kekuasaan tapi kurang beretika.

Banyak yang meyakini, yang namanya parpol, tempat berebut kekuasaan, yang sesuai itu seperti yang ditulis Macvelli. Kekuasaan itu diatas segala, tentang bagaimana merebut kekuasaan itu apapun caranya boleh, gak ada lagi batas2 etika.

Tapi sebagai manusia, yang dari dasarnya memiliki kemanusiaan, apakah seperti itu benar dan menentramkan?

Kembali ke masalah ketua parpol, perpecahan parpol, dualisme kepemimpinan ketua, karena sibuk dengan hal2 yang sifatnya individu, ketamakan, akhirnya sering  melupakan masalah parpol sebenarnya.

Ketika memperjuangankan RUU Desa di 2013, mereka menuntut ada kemandirian desa, mandiri dari sisi manapun. Termasuk keuangan. Meski kemandirian desa itu hal yang utopia, karena sampai sekarang ini, 99% sumber pendapatan desa masih transfer dari pusat dan daerah. Tapi paling tidak harapan itu masih ada.

Ketika awal reformasi 1997, banyak yang memperjuangkan otonomi daerah, kalo pake bahasa masyarakat ya kemandirian daerah. Hampir sama...meski sampai sekarang tidak akan pernah ada yang ada namanya otonomi yang benar2 otonom/mandiri. Karena memang oleh pemerintah pusat, didesain untuk tidak bisa mandiri. Terutama dari sisi keuangan daerah.

Jika diperhatikan, dari seluruh prov/kab/kota, adakah daerah yang benar2 bisa mandiri dari sisi keuangan? Mampu mencukupi kebutuhan sendiri tanpa dana transfer dari pemerintah pusat? Tidak ada, bahkan terkesan daerah dibuat tergantung dengan pusat, dan hukuman2 bagi daerah yang paling menakutkan daerah adalah pemotongan dan penundaan dana transfer.

Kembali ke parpol, adakah yang bisa membuktikan bahwa parpol di indonesia sekarang ini, baik parpol lama, parpol baru, mereka bisa mandiri dari sisi keuangan? Adakah parpol2 itu yang berani mendeklar uang parpol dari mana? Dan untuk apa?

Mengapa tidak ada satu calon ketum parpol, termasuk calon ketum golkar yang sedang berebut sekarang ini, menjadikan ini sebagai agenda dan isu yang sangat2 penting.  Mengapa?

Apakah agenda dan isu itu menjadi tidak menarik? Atau pura2 tidak tahu?

Apa jadinya jika kemandirian keuangan parpol benar2 terwujud? Bagaimana dengan para pemodal yang terbiasa membantu untuk meninabobokan para pengurus parpol? Apa ruginya bagi para pemodal? Bukankah pemodal itu nalurinya ingin nemiliki kekuasaan juga? Meski kekuasaan yang sifatnya tidak langsung.

Bukankah dulu dipaman sam, clinton  juga menerima sumbangan pemodal yang kurang bisa dipertanggungjawabkan. Jika di paman sam yang terkenal sesuatunya harus transparan saja masih seperti itu, bagaimana dengan di indonesia ini?

Kalo pemilihan ketum parpol yang besar, yang orang2nya paling terdidik dibidang politik masih sibuk dengan kompromi, sibuk dengan kepentingan ketamakan, terus parpol lain seperti apa?

#saveParpolDariKapitalis
#saveParpolDariNaga
#saveParpolDariVOCTimur
#bukaMatabukaTelinga

Selasa, 26 September 2017

Drop penumpang 5 ribu

Ada yang janggal dengan desain area parkiran di terminal 1 soetta, jika penumpang dengan kendaraan pribadi, hanya untuk drop penumpang, ternyata sudah terkena tarif parkir 5 ribu.

Bandingkan jika drop penumpang di terminal 2 dan 3. GRATIS.

Mengapa hal ini beda? Apakah karena alasan keamanan dan agar tidak macet penumpang harus bayar 5 ribu? Bukankah seharusnya, pengelola bandara menyediakan tempat khusus untuk drop penumpang.

Coba saja perhatikan, berapa pendapatan pengelola parkir dari drop penumpang? Pasti fantastis sekali.

Lo terus hak nya penumpang ikipiyeto?

Rabu, 06 September 2017

Kapan status sosial petani naik?

Apakah menjadi petani dari jaman dahulu sampai sekarang itu suatu pilihan?

Atau justru karena tidak ada pilihan lain, akhirnya tetap harus memilih menjadi petani?

Bagaimana dahulu VOC era penjajahan belanda menempatkan petani dalam kasta yang paling rendah. Begitupun dengan era sukarno, karena pemerintah masih sibuk dengan mempersatukan anak bangsa.

Era suharto, petani mulai membaik, banyak kegiatan untuk memakmurkan petani, lebih tepatnya untuk mewujudkan swasembada beras. Ingat petani, biasanya ingat kelompok capir, penyuluh pertanian, bulog, pupuk dan pembacaan berita harga 9 bahan makanan pokok di RRI oleh menpen yang sangat lengendaris Harmoko.

Setelah reformasi, profesi petani kembali ke kasta paling bawah lagi.

Tapi tidak sebaliknya untuk perkebunan, khususnya perkebunan yang dikelola perusahaan2 besar. Banyak perkebunan dibuka untuk rakyat, dan tidak bisa dipungkiri hak tersebut menambah kesejahteraan rakyat. Sekarang ini, ada beberapa perusahaan yang memiliki luas lahan perusahaan yang fantastis. Seolah2 perusahaan tersebut dahulu nenek moyangnya adalah orang indonesia. Dan yang bukti ketimpangan agraria di negeri nusantara sudah sangat luar biasa. Menyedihkan...

Apakah bila terjadi pemerataan tanah, kemudian masyarakat pasti sejahtera karena kepemilikan tanah tersebut? Belum tentu, karena sebagian masyarakat kita sudah jauh dari budaya pertanian.

Lihatlah penguasaan benih oleh industri2 besar. Yang terjadi justru masyarakat sudah sangat tersandera, karena adanya paten benih2 yang beredar.

Bagaimana dengan pupuk? Sepertinya tidak jauh berbeda, pupuk sering menghilang saat dibutuhkan.

Bagaimana dengan pengairan? Lebih menyedihkan lagi, karena sekarang ini sudah tidak ada lagi perangkat desa yang ngurusin pengairan.

Bagaimana dengan teknologi pertanian? Meskipun ada, tapi dengan harga yang mahal, hal ini karena perlakuan pajak yang belum memihak kepada para petani.

Bagaimana dengan pembelian hasil pertanian? Lebih menyedihkan lagi, petani  harus berhadapan dengan calo2 impor, mereka seolah2 memiliki tujuan khusus, kenapa di saat panen, barang impor justru datang? Apakah ini sengaja untuk menghancurkan perekonomian petani, sehingga mereka selalu terpuruk, dan akhirnya tetap tersandera dalam kemiskinan, dan perbankan akan datang sebagai pahlawan?

Jika memang profesi petani menjanjikan kesejahteraan,  maka dengan sendirinya banyak orang2 terdidik akan beralih menjadi petani. Tetapi ini yang terjadi justru sebaliknya. Tidak sedikit yang ahli pertanian, tapi justru kerja di sektor2 lainnya.

Padahal mayoritas penduduk yang menjadi petani, tapi sering terlupakan.

Klo sudah begini, ikipiye?

Minggu, 03 September 2017

Ternyata persaingan dan standarisasi itu perlu

Banyak faktor yang membuat perusahaan bisa berkembang, secara internal adalah berkembangnya secara sinergis modal 5M, dari eksternal diantaranya keberadaan pesaing.

Tanpa pesaing, suatu perusahaan pasti akan lalai dan terlena. Perusahaan tanpa pesaing biasanya adalah BUMN, BUMD yang diberi prioritas karena UU. Maka, tidak heran jika kebanyakan diantara mereka beroperasi "tidak" dengan efektif dan efisien. Kenapa? Karena merasa sudah puas dengan kinerja yang sudah dicapai.

Bagaimana dengan di swasta?

Cobalah menginap di hotel S*****A  (S) di kota pasir pangarian kab. Rokan hulu provinsi riau, yang letaknya disamping persis masjid megah di kota pasir. Tidak jelas hotel ini bintang berapa? Tapi kalau dilihat tarifnya lumayan, permalam paling murah 500 rb. Hotel ini sudah berdiri kurang lebih 5 tahun terakhir.

Kelebihan yang dapat di tangkap sekilas adalah ukuran kamar tidur dan kamar mandi  yang lumayan besar, serta ada sajadah di kamar. Begitu masuk kamar akan terasa sekali desain interior yang biasa saja, artinya dari sisi bahan, presisi dan tata letak sangat biasa sekali. Pastinya tidak seperti hotel berbintang yang standar internasional seperti hotel amaris, ibis, fave, neo atau pop hotel. Dan akan lebih terasa saat masuk kamar mandi.

Dengan tarif yang luamayan mahal ini, ternyata tidak ada fasilitas alat pemanas air, cangkir, kopi, teh dan gula. Meskipun di amaris  dan ibis budget juga tidak ada alat pemanas air untuk membuat minuman, tapi masih disediakan gelas dan pemanas air despenser di luar kamar, airnya cukup panas untuk membuat teh panas dan susu dan susu coklat.

Sekarang bandingkan dengan hotel S di rohul ini, dengan tarif 500 ribu, ternyata fasilitas yang diberikan jauh dengan yang diberikan oleh hotel2 yang berstandar nasional dan internasional, tanpa alat pemanas air, tanpa pemanas air despenser, cangkir, kopi, teh dan gula.

Soal kebersihan kamar dan kamar mandi, jauh tidak bisa dikatakan sebanding dengan hotel standar internasional.

Bagi masyarakat, karena tidak ada pilihan hotel yang sebanding, akhirnya apa boleh buat, daripada nginap di tempat yang jauh lagi, sekitar 45 menit perjalanan dengan mobil. Seandainya ada pilihan2 hotel seperti amaris, ibis, fave, neo atau pop hotel, disekitar pasir, ada 2 kemungkinan, hotel S ini tergilas atau mencoba meningkatkan pelayanan agar bisa bertahan.

Tapi, jika terus tanpa pesaing, sepertinya hotel S ini tidak akan meningkatkan pelayanan, karena akan merasa sudah hebat sendiri. Toh masyatakat dan pemda akan tetap pakai hotel ini, karena tidak ada pilihan. Yang ada justru pelanggan yang dirugikan, karena uang yang dikeluarkan kurang sebanding dengan jasa dan fasilitas yang diterima.

Maka, wajar, jika persaingan itu perlu, bahkan harus diciptakan.

Dan tugas pemda untuk mengatur agar tercipta persaingan. Agar tercipta efisiensi dan tidak merugikan pelanggan.

Yang tidak kalah penting adalah, perlunya pengaturan standarisasi fasilitas yang diberikan hotel, agar pelanggan tidak dirugikan. Jadi, pemda cq. BAPENDA jangan hanya semangat pasang iklan bayar pajak 10%.

Kalau monopoli terus dan tanpa standarisasi, terus ikipiyeto?

Sabtu, 19 Agustus 2017

Dasyatnya kekuatan gabungan kamera dan tulisan

Gambar lebih berarti dari 1000 kata.

Dan bagaimana jika gambar digabung dengan tulisan?

Jika dahulu era kamera masih jarang, tulisanlah alat untuk menceritakan objek dalam ruang dan waktu.

Sudah terbiasa, sekarang ini terdapat gambar yang dihasilkan dari perspektif dan sudut pandang yang berbeda2. Jika pengambilan 1 objek dan/atau peristiwa dahulu  dengan banyak kamera hanya bisa dilakukan oleh studio profesional, saat ini sudah banyak orang yang dapat melakukan.

Hampir semua hp sudah ada kamera, bahkan sudah banyak kamera didesain menempel pada satu objek tertentu yang sering digunakan sebagai alat beraktivitas, misal, kamera dalam notebook dan kamera dalam mobil dan rumah.

Hal yang menarik, perkembangan drone, dengan menggambungkan kamera dengan benda terbang ini memungkinkan pengambilan gambar dari sudut pandang yang tidak biasa dilakukan oleh orang biasa, dari posisi atas. Dan pengambilan gambar dari sudut pandang yang lebih tinggi, mengesankan suatu objek yang sudah banyak menjadi semakin banyak.

Maka sekarang ini, pengabadian peristiwa/kejadian akhirnya sering dengan gambar, bukan sekedar tulisan saja.  Namum karena gambar belum dapat mengungkapkan semua dan tidak mudah juga membacanya, maka masih tetap saja dibutuhkan tulisan pada gambar2 tersebut.

Misalnya dalam pengambilan gambar pada lokus yabg sempit dan jarang, maka perlu penjelasan tambahan. Dan juga  karena waktu kejadian yang tidak bisa dilihat, perlu ditambahkan tulisan.

Dan untuk itu, tidak heran jika sekarang banyak gambar disertai dengan tulisan pada kertas dengan informasi tempat dan waktu kejadian. Atau sekedar tulisan biasa yang dihasilkan dengan teknologi digital.

Padahal, gambar dengan tulisan semacam itu dahulu biasanya adanya pada gambar di kepolisian. Foto orang2 yang sedang diperiksa. Ternyata ide bagus yang dicontoh tidak selalu dari peristiwa menyenangkan, namun kejadian memilukan.

Kedepan, jangan heran, bila akhirnya kita juga akan terbiasa ikut2an menginformasikan gambar disertai tulisan tertentu.

Dan paling tidak, dialektika akan terjadi tidak dengan vocal langsung, tapi dengan tulisan dalam gambar  dan itu mampu disampaikan seabadi gambar itu sendiri.

Maka, belajar menulis itu menjadi sangat penting. Dan mengambil gambar itu juga sangat penting. Tapi, siapkah kita2 mengikuti perubahan produksi gambar dan tulisan yang begitu cepat?

Dan yang lebih mengkwatirkan adalah kekeliruan dalam membaca gambar dan/atau tulisan.  Banyak gambar, bahkan gambar salah ditambahkan dengan produksi tulisan yang keliru, bahkan cenderung sengaja untuk menyesatkan gambar itu.

Jadi, akan terdapat 4 kemungkinan:
1. Gambar benar dengan tulisan benar
2. Gambar benar dengan tulisan salah
3. Gambar salah (edited)  dengan tulisan benar
4. Gambar salah (edited) dengan tulisan salah.

Perhatikan gambar peristiwa kemanusiaan rohingnya yang beredar, BEBERAPA gambar tersebut dari peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan tragedi kemanusiaan rohingnya september 2017, artinya ada sebagian gambar itu yang hoax.

Yang menyedihkan, penyesatan tulisan2 dan/atau gambar sulit di cek kebenarannnya. Klo sudah begini, terus ikipiye?

Modal bernegara : budaya (4)


Sebenarnya, budaya bangsa indonesia sangat tinggi nilainya, bahkan melampaui paman sam, aussie apalagi singgapur. Kalau negara2 tersebut sekarang ini tampak hebat dengan teknologinya, itu lebih menggambarkan dalam berkemajuan teknologi, bukan dalam berkemajuan dalam peradaban.

Jaman dahulu leluhur bangsa ini sudah mampu:
1. Menulis, dan itu dalam rangkaian bahasa yang indah dan penuh pesan yang tersurat dan tersirat, misal peninggalan kitab2 atau buku2 diantaranya kitab negara kertagama, sutasuma dll. Dan yang lebih hebat lagi memiliki huruf dan bahasa sendiri, dan dalam berbahasapun sudah memiliki kekayaan kosakata yang luar biasa.
2. Pemberian gelar untuk orang2 yang berilmu, seperti Ki Hajar bagi orang yang memiliki ilmu oengajaran atau guri, Ki Manteb untuk orang berilmu di bidang seni, budaya, Empu untuk orang yang memiliki keahlian tertentu, dll2.
3. Perhitungan waktu, jaman dahulu sudah ada model kalender tersendiri, tidak banyak negara memiliki kalender sendiri.
4. Kitab primbon, suatu kitab yang mendasarkan dari kebiasaan2 orang, alam semesta dan seluruh isinya, dari kebiasaan akan menjadi perkiraan yang akan terjadi selanjutnya, sehingga terkesan kitab primbon berisi ilmu ramal, padahal lebih pada ilmu titen. Ilmu titen sekarang ini mirip dengan pendekatatan deduktif, dari data yang ada, ditarik kesimpulan. Dari kesimpulan itulah yang digunakan dasar untuk memperkirakan kejadian2 berikutnya, atau ramalan.
5. Pakaian, lihatlah pakaian raja2 jawa, dan juga pangeran diponegoro, sudah menggambarkan kemajuan yang sangat tinggi.
6. Prambanan dan borobudur, dapat dibaca dengan mudah dan jelas keilmuan orang2 jaman dahulu dalam membuat candi2 tersebut. Mengapa? Karena untuk bisa membuat hal tersebut dibutuhkan ilmu matematika, fisika, seni dan arsitek, dll.
7. Dalam beragama, manusia jawa itu terkenal paling toleran, borobudur dan prambanan adalah bukti nyata. Tapi sekarang ini, dikesankan pribumi intoleran.
8. Menemukan kebahagian,  dan letaknya bukan di materiil, bandingkan dengan negara2 sekuler, yang masih berkutat pada paham materilisme. Mereka masih sibuk dengan panca indera, belum bisa menangkap dan mwrasakan yang tidak terlihat.
9. Menjaga alam. Konsep menjaga kelestarian alam semesta untuk anak cucu, suatu filosofi hidup yang luar biasa, tidak mengeploitasi demi kesenangan sesaat generasi yang sekarang, tapi sudah memperkirakan bagaimana kebutuhan anak cucu. Lihatlah paman sam yang sibuk memgambil, memaksa bahkan merampok kekayaan alam negara2 lain, tanpa memperkirakan yang terjadi selanjutnya.
10. ......yang selanjutnya silahkan pikirkan lagi.

Selain itu, beberapa kebiasaan dan sudah menjadi budaya yang luar biasa seperti,  banyak kampung2 dahulu menyediakan air minum gratis didepan rumah, di pinggir jalan, diperuntukkan bagi yang membutuhkan, terutama orang2 dalam perjalanan, mereka tidak mengedepankan transaksi, tapi pendekatan kemanusiaan.

Bandingkan dengan era sekarang ini, sebagian besar sekarang ini di transaksikan. Orang2 yang memiliki keahlian pendidikan, kesehatan dll, dahulu tidak memasang tarif, tapi sekarang selalu pasang tarif. Transaksi.

Masih tidak percayakah dengan keluhuran dan kekayaan budaya nenek moyang kita??

Modal bernegara : modal sosial (3)


Banyak yang melupakan terkait dengan modal sosial, seringkali dianggap tidak penting, padahal modal sosial itu merupakan awal dan akhir dalam bernegara.

Dalam pancasila, 4 sila dengan eksplisit terkait langsung dengan modal sosial, hanya sila kesatu yang mendekati ke budaya, tapi tetap terkait dengan modal sosial.

Apa ukuran modal sosial suatu bangsa agar bisa tetap dapat melanjutkan dan mewujudkan dalam berbangsa?

Penulis terkenal terkait modal sosial adalah francis fukuyama, keturunan jepang tinggal di paman sam. Francis fukuyama menekankan pada segala sesuatu yang membuat masyarakat berhimpun untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.

Perbedaan dengan modal manusia yaitu segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada Modal Sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok dan antarkelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antarsesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.

#modal sosial politisi

Dalam era saat ini, bagaimana aktor politik politik di pusat dan daerah terasa banyak sekali bajunya, dan begitu mudah ganti baju dan penampilan. Sepertinya tidak ada masalah dengan hal tersebut.

Terkadang perubahan baju dan peran lebih terasa sebagai aktor film daripada aktor politik. Hemmm...

Dan tentu saja menjadi pertanyaan, adakah perubahan baju itu tetap terikat dengan nilai2 dasar berbangsa dan bernegara? Seberapa nilai2 itu dapat dipertahankan? 

Apakah perubahan baju politisi diikat dengan persamaan ideologi, persamaan visi misi, atau persamaan lainnya? Jangan2 berhimpun hanya karena kepentingan kekuasaan dan ekonomi semata.

#modal sosial agamawan

Ulama, kiai, ustad, pendeta, dan tokoh agama lainnya sebagian sudah mulai senang dan sering untuk mencari2 kesalahan urusan pribadi yang bukan kelompokknya, bukan saling menutupi. Tampaknya, arah penglihatan nilai2 kemanusian sudah berkurang, tergantikan dengan pembenaran atas kelompoknya.

Betapa miris, ribuan ulama islam dengan kemampuan dan kecerdasan akademik yang baik, tetapi kurang mampu menerapkan dalam kehidupan sosial, cenderung merasa benar sendiri, hubungan dengan umat lainnya hanya dinilai dari kepatuhan mereka kepada tokoh pemuka mereka sendiri. Bahkan jika ada yang tidak patuh, dinyatakan sesat. Mungkin mereka sudah pegang kunci surga.

#modal sosial enterpreuner

Sebagian besar pengusaha dengan ketamakannya seperti sudah tidak mau dan mampu membela saudaranya setanah air, yang terjadi justru menumpuk kekayaan sendiri, lebih senang kaya dengan memajukan asing dan aseng, bahkan bila perlu menghancurkan pengusaha boemi putera tidak ada masalah.

Semakin sulit menemukan relasi saling percaya yang kuat antara konglomerat, pengusaha dan UKM diantara warga indonesia. Hal ini mulai tampak ketika pak harto mengumpulkan konglomerat di Tapos. Diantara pengusaha sekarang ini selalu diihubungkan dengan relasi transaksi semata, untung rugi diri dan kelompok.

#modal sosial birokrasi

Bagaimana dengan birokrasi? Dan kepercayaan relasi didalamnya? Posisi APH yang jauh dominan dengan komisi ombusman menjadi birokrasi semakin was2, kwatir bahkan terkesan ketakutan, karena saat ada laporan maka muncullah telah diduga terjadi kerugian keuangan negara/daerah/desa, selanjutnya merembet ke "dan turut serta", bahkan ke ranah pencucian uang. Sebentar lagi akan mengikat masuk ke pidana pajak.

Hal ini mungkin karena lebih dominannya tindakan APH daripada pencegahan dalam pengawasan pelaksanaan pelayanan publik oleh komisi ombusdman. Ditambah dengan relasi kepala daerah yang DNA politisi dengam birokrasi sering belum ada kesamaan visi, misi,  dan metode untuk mewujudkannya.

#modal sosial masyarakat biasa.

Hal menarik dalam 2 tahun terakhir adalah tumbuhnya ormas2 yang seragamnya menyerupai seragam milik TNI. Jika dilihat sekilas, pasti masyarakat awan akan mengira itu TNI.

Ditambah dengan ormas berbasiskan kedaerahan mulai muncul dengan penguatan emosi lokalitas, tanpa didasari dengan penguatan emosi kebangsaan, semakin menggerus nilai2 Bhinneka.

Kaum nahdliyin terbiasa membentuk kumpulan tahlilan, dari situ akan ada turunan aktivitas bersama lainnya, seperti semaan al quran, ziarah makam wali, atau pengajian bulanan. Tapi beberapa kelompok lainnya dengan tanpa henti berteriak bid'ah, syirik, dll, seolah mereka sudah pegang kunci surga.

#langkah strategis
Perlu peningkatan pemahaman bersama kepada seluruh politisi, tokoh agama, pengusaha, birokrasi, ormas terkait pentingnya modal sosial, jika sudah memahami, perlu komitmen untuk mengatur kebersamaan irama gerak langkah untuk mencapai tujuan bersama.

Artinya, manusianya perlu iqra dan mengendalikan nafsu.

(Berlanjut)...

#minggu, 20 Agustus 2017, resto allseason gajah mada, jakarta.

Jumat, 18 Agustus 2017

Modal bernegara: modal ekonomi (2)

Modal bernegara yaitu politik, ekonomi, selanjutnya sosial dan budaya.

Kekuatan modal ekonomi dapat diukur dari seberapa mandirinya dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dan terciptanya keadilan atas penguasaan modal2 ekonomi untuk semua masyarakat.

Jika falsafah jawa selalu menekankan sandang, pangan dan papan. Era orde baru menekankan sembilan bahan makanan pokok, begitu pentingnya urusan tersebut, pak harto selalu menekankan kepada semua K/L untuk lebih berkoordinasi untuk hal tersebut.

Misal, untuk urusan beras, Kementerian PU memprioritas saluran irigasi persawahan, BPN mempermudah penambahan luas lahan pertanian, didirikan BUMN pabrik pupuk, pabrik benih, BUMN Bulog yang selalu menjaga agar harga stabil. Dan masih banyak kebijakan lainnya, hingga sudah menjadi sewajarnya bangsa yang subur ini bisa swasembada beras.

Mengapa mandiri ekonomi itu penting? Dari bidang ekonomi itu akan mempengaruhi bidang politik dan sosial budaya. Jelasnya, ketidakmampuan dalam kemandirian ekonomi akan menjadi sandera untuk bidang2 lainnya.

Jika, tidak mampu mandiri secara ekonomi, maka dalam pentas politik dunia juga akan menjadi sangat lemah. Bagaimana negara2 maju selalu mau turut campur urusan politik dalam negeri bangsa lain. Masih ingat bagaimana IMF dari tahun 1997 sampai 2004 telah banyak mendikte bangsa ini, maka lahirlah UU yang didanai, dan/atau konsultannya yang berasal dari negara lain. UU 6/2005 ttg sumber daya air adalah contoh nyata, bagaimana air yang merupakan karunia Allah untuk bangsa ini akhirnya diberi hak atas air, pengaturannya seperti hak atas tanah. Maka air minum untuk warga indonesia sudah dikuasai perusahaan2 AMDK, dan perusahaan itu mayoritas asing. Dan bagaimana PDAM DKI harus melakukan kerjasama operasional dengan 2 perusahaan asing.

Kemandirian ekonomi akan dimulai dari mana? Ini seperti mengurai benang kusut yang sudah terjadi bertahun2.

Yang pasti, mengurangi ekspor bahan mentah untuk diganti barang setengah jadi, atau barang jadi, dan mengurangi impor barang jadi menjadi barang setengah jadi, atau impor barang mentah untuk di olah oleh anak bangsa.

Dan hal inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Pastinya sulit sekali, karena membutuhkan komitmen semua pihak, dan hambatan terbesar adalah dari orang2 yang tamak, tidak mau repot, dan maunya cepat tapi punya kuasa dan/atau ingin mempertahankan kuasa.

Dan cara impor sebanyak2nya itulah yang sudah terbukti bagi pemilik kuasa memberi keuntungan yang besar, cepat dan tidak repot.

Terkait dengan distribusi ekonomi, tugas negara agar fokus menciptakan terjadinya keadilan.

Dalam buku kapitalisme semu  asia tenggara karya Yoshihara Kunio, yang sempat dicetak untuk kedua kalinya tersebut akhirnya dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung saat era pak harto, menjelaskan kalau kongloremat yang sebagian besar pengusaha aseng bisa tumbuh besar ternyata diberi kemudahan, kemudahan dan kemudahan oleh rezim penguasa saat itu. Bagaiamana tanpa jaminan bisa diberi pinjaman milyaran, trilliunan, hanya karena dekat penguasa diberi HPH kehutanan, ijin perkebunan, ijin pertambangan dan penunjukkan untuk menjadi rekanan2 BUMN, bagaimana tanah2 pemda dengan mudahnya dijadikan objek kerjasama dengan kelompok elit. Ibarat buah matang bukan karena buahnya yang baik, tapi karena karbitan.

Setelah sekian lama, akhirnya kesenjangan antar maasyarakat semakin menjadi2, indek GINI yang semakin besar adalah bukti nyata. Harus menjadi perhatian bersama, karena kesenjangan dalam batas tertentu akan menjadi pemicu krisis sosial.

Bagaimana langkah pemerintah, pengusaha dan masyarakat dalam menuju kemandirian ekonomi? Sekaligus tercipta keadilan sosial bagi seluruh Indonesia.

Yang pasti harus dengan cara2 yang ekstrem, butuh keberanian pimpinan, karena ini menyangkut pembatasan ketamakan kapitalis asing dan aseng.

Masalahnya, benarkah, masalah kemandirian dan keadilan itu sudah menjadi masalah yang mendesak dan penting semenjak reornasi?. Kalau belum, kelas VVIP kapal NKRI ini akan diisi oleh 200 orang kapitalis, dan sebagian besar boemi putra akan digeladak, sekaligus menjadi ABK seperti di kapal2 VOC jaman dahulu.

(Berlanjut....)

Modal bernegara: modal politik (1)

Bangga melihat saudara2 sebangsa, setanah air, saudara2 yang tinggal di bumi nusantara ini, ato di belahan bumi lainnya  semangat merayakan kemerdekaan HUT 72 RI. MERDEKA3x.

Momentum kemerdekaan ini, jadikan pijakan menuju kearah Indonesia yang lebih baik, diantaranya dengan selalu memperbesar, memperbanyak dan mengoptimalkan modal bernegara.

Pertama modal politik. Apa ukuran keberhasilan dalam bidang politik di suatu banngsa? Diantaranya yaitu terjadinya keseimbangan penyebaran dan pelaksanaan kekuasaan untuk mencapai tujuan berbangsa. Tujuan yang termaktup dalam UUD NRI 1945.

Apakah saat ini, penyebaran kekuasaan sudah seimbang? Bagaimana dengan pelaksanaannya?

Pasca amandemen UUD, terdapat perubahan dan pergeseran kekuasaan yang mendasar. Misalnya, peran BPK yang semakin proporsional, dan dibentuknya  MK serta DPD. Dan masih ada lagi karena keputusan politik DPR RI dan Presiden dalam UU, kaitannya dengan pengaturan kembali atau mengatur hal baru terkait beberapa Kementerian, Lembaga dan Badan di pemerintah pusat dan daerah.

Dari semua pengaturan pusat2 kekuasaan tersebut, apakah sudah terjadi keseimbangan dari distribusi kekuasaan hingga pertanggungjawaban.

Bagaimana dengan pertanggungjawaban kekuasaan yang dipilih oleh rakyat? Adakah pengaturan pertanggungjawaban DPR RI, presiden, DPRD, gubernur, bupati dan walikota kepada rakyatnya? Dan juga kades kepada rakyat pemilihnya? Bukankah mereka dipilih oleh rakyat?

Jadi jangan heran, setelah rakyat selesai memilih, maka selesai pula hubungan politik antara yang dipilih dan yang memilih. Karena relasi setelahnya sudah tidak ada lagi. Dampaknya, rakyat seringkali bingung menuntut pertanggungjawaban terhadap janji2 saat kampanye.

Apakah pertanggungjawaban presiden ke DPR RI  dan kepala daerah ke DPRD sudah merepresentasikan pertanggungjawaban kepada rakyat? Silahkan dicek, dicermati, adakah benar2 telah ada representasi rakyat dalam relasi pertanggungjawaban tersebut. Mengapa? Terdapat hal mendasar yang perlu dicermati, ternyata pertanggungjawaban DPR RI dan DPRD kepada rakyat, khususnya konstituentnya juga sangat lemah, bahkan tidak ada. Yang ada justru, anggota DPR RI dan DPRD yang terhormat lebih merasa bertanggungjawab kepada parpolnya dibandingkan kepada rakyat. Hal ini bisa dilihat dari kekuasaan parpol untuk melakukakan recall anggota dewan. Bagaimana mungkin rakyat yang memilih dewan, ternyata dewan bertanggungjawab kepada patpol?

Adakah mekanisme pertanggungjawaban parpol kepada rakyat?

Klo relasi2 tersebut tidak seimbang, bahkan tidak ada, bagaimana gerak langkah bangsa ini akan menghasilkan kekuasaan yang lebih besar lagi? Kekuasaan untuk tetap eksis dalam relasi bangsa2 di dunia, khususnya untuk menghadapi ketamakan kapitalis dan bangsa lain.

Klo sudah begini, terus ikipiye?

(berlanjut....)

#19 Agustus, 2017, pukul 02.46 waktu tangerang.

Senin, 14 Agustus 2017

Menjual produk dengan taste rasa takut

Apa tugas negara menurut UUD NRI 1945? Melindungi segenap bangsa indonesia.

Melindungi apa? Luas sekali, yang pasti memberikan perlindungan untuk masyarakat agar terpenuhinya kebutuhan badan, pikiran dan hati.

Ketiga kebutuhan tersebut pada dasarnya  tidak bisa dipisahkan. Jika negara bisa melindungi, maka masyarakat akan memiliki rasa aman.

Rasa aman badan bisa dilihat dari terpenuhinya kebutuhan badan sekurang2nya untuk sandang,  pangan dan papan. Dan ini selalu tampak nyata, karena memang bersifat materialisme.

Rasa aman pikiran bisa dilihat dari batasan kebebasan berpikir.  Sehingga dapat berpikir kreatif TANPA ada rasa ragu2, was2, kuatir, bahkan takut untuk berpikir. Hal ini bisa terwujud jika batasan ruang berpikir bisa di pahami bersama. Adanya kesamaan makna dan tujuan dalam menginterpretasikan kata, kalimat, alinea hingga buku.

Sehingga rasa aman berpikir akan tampak jelas dari sisi logika benar salah, diantaranya dengan analisis statistik, dan sisi hitung matematis.

Rasa aman bagi hati itu untuk dapat beribadah. Karena manusia itu pada dasarnya merindukan untuk dapat dekat dengan zat yang maha mencipta, mengatur dan maha segala2Nya.

Apa kaitanya rasa aman itu dengan dunia marketing?? Disitulah hebatnya orang2 marketing, dengan selalu mengkaitkan rasa takut dengan produk yang dijual.

Apa yang dijual air kemasan ato AMDK? Mereka menjual fubgsi air ditambah rasa takut,  yaitu jika minum air biasa, selain AMDK itu tidak sehat bagi tubuh, karena takut sakit, maka banyak orang membeli AMDK.

Apa yang dijual perusahaan asuransi kesehatan? Produk asuransi semata ato plus rasa takut jika nanti sakit ato meninggal ato jika terjadi musibah?

Apa yang dijual lembaga pedidikan? Sistem pendidikan yang menghasilkan manusia yang memanusiakan ato plus ketakutan miskin karena bodoh? jika bodoh maka sulit kerja, jika sulit kerja maka perekonomian sulit, jika perekonomian sulit maka hidup sulit, hidup sulit maka tidak akan bahagia. Karena takut tidak bahagia, maka akan sekolah meski mahal sekali.

Jika negara tidak bisa melindungi masyarakat dari segala bidang, maka akan banyak orang2 jualan dengan melabeli rasa takut, sehingga masyarakat berlomba bekerja untuk menghilangkan rasa takut dari sektor private.

Dan kapitalis akan mendesain negara untuk tidak atau mengurangi memberikan kebutuhan/ perlindungan  ke masyarakat, sehingga masyarakat akan datang dan membeli  produk2 kapitalis.

Semakin besar rasa takut yang dirasakan masyarakat, semakin besar kemungkinan produk2 itu akan terjual.

Sabtu, 08 April 2017

Ingat Pegadaian

Dalam 2 dekade terakhir ini terjadi penguatan hukum dalam pemberantasan korupsi, khususnya dari sisi kelembagaan pada lembaga negara dibidang yudikatif, tanpa kecuali penguatan dari sisi anggaran.

Penguatan yang terasa adalah dengan berdirinya komisi pemberantasan korupsi (KPK), dengan sendirinya harus diikuti dengan SDM, dan sarana prasarana kerja, tentu saja hal ini membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit.  Dan juga untuk dana untuk operasional setiap tahun anggaran.

Selain berdirinya KPK,  karena amanah dari amandemen UUD maka berdirilah Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Penguatan juga di kepolisian, dengan UU baru,  selain dibawah presiden langsung, polri memiliki kewenangan yang semakin besar, dan pastinya anggaran polri harus disesuaikan.

Hal yang sama juga dengan kejaksaan dan kehakiman.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun semakin powerfull dengan terbitnya UU 15/2004 dan UU 15/2006. Seiring waktu, sekarang BPK sudah memiliki kantor perwakilan hampir di semua daerah provinsi, dan tentu saja harus ada pegawai dan sarana prasarana. Artinya, pendanaan APBN juga harus disediakan untuk operasional BPK.

Tetapi, setelah 2 dekade ini, apakah pembangunan hukum dibidang  korupsi juga semakin maju? Apakah pembangunan hukum yang didominasi hukum pidana seperti sekarang ini telah sesuai dengan karakter bangsa Indonesia? Artinya penyelesaian masalah selalu diakhiri di pengadilan, harus ada yang benar dan salah. Apakah tidak bisa membuat mekanisme penyelesaian masalah tanpa saling menyalahkan, kata orang jawa, menang tanpo ngasorake. Atau menyelesaikan masalah tanpa masalah. (Ingat Pegadaian)

Seandainya, dihitung biaya APBN, untuk lembaga2 negara tersebut, dan dibandingkan dengan output dan outcomenya, apakah sesuai? Apakah benar penyelesaian hukum pidana bisa membuat efek jera? Atau sebaliknya. Apakah penyelesaian hukum pidana juga mampu menyelesaikan masalah mendasar dari praktek2 korupsi?

Sepertinya harus ada reformasi dibidang hukum, misalnya.dengan mengedepankan pencegahan daripada pemberantasan.

Jika mengedepankan pencegahan, harus dimulai dari pola pikir semua shareholder, dan langkah selanjutnya dengan penguatan kelembagaan Komisi Ombusmen.

Mengapa harus dari komisi ombusmen? Karena dari sisi pengelola APBN/D,  komisi ombusmen lebih mengedepankan pencegahan, lebih dekat dengan tagline pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Semoga.....

Jumat, 07 April 2017

Ingat Gus Dur

Di negeri khayangan sudah agak lama main sepak bola gak pake ribut2, mungkin karena dampak PSSI dibekukan, sehingga sudah dingin seperti es, atau sudah capek ribut.

Tapi, mungkin ribut sudah menjadi budaya baru di negeri khayangan ini, lihat saja, ada ribut di gedung senator, di tempat yang terhormat, senator2 daerah yang dipilih rakyat telah mempertontonkan hal yang mengherankan, sekaligus menjengkelkan, lebih tepatnya memuakkan. Senator yang representasi rakyat, ternyata bertingkah seperti anak TK. Jadi ingat Gus Dur.

Apa permasalahan mendasar atas perilaku senator2 itu? Apa masalahnya justru di masyarakat yang salah memilih mereka? Masyarakat yang tidak mengerti sifat, watak dan perilaku calon pemimpin saat pemilihan?

Apakah mereka setelah terpilih menjadi senator itu justru berpikir sebaliknya, kutahu yang kau (masyarakat) mau.... (ingat iklan Sprite), karena dianggapnya masyarakat memang senang keributan. Jadi mereka mau memberi contoh.

Klo senator nya sudah pada sibuk dengan ribut2 sendiri, terus ikipiyeto?

Rabu, 29 Maret 2017

Bukan mencari pengadilan, tapi keadilan (bag 2)

Tulisan berikut ini kutipan dari bukunya Prof. Dr. Romli Atmasasmita, Hukum kejahatan bisnis, hal 12::
"....., pandangan Friedmann hanya cocok bagi masyarakat hukum yang berlandaskan filsafat liberalisme-kapitalisme, dan tidak cocok dengan masyarakat hukum yang berfilsafat Pancasila. Karakter hukum Barat yang terobsesi pada kekuatan litigasi di pengadilan, tidak cocok dengan karakter hukum Pancasila yang bertujuan menciptakan perdamaian dengan mendahulukan proses musyawarah dan mufakat".

Memang betul,  ideologi negara kita Pancasila, tapi Pancasilanya juga sudah menjadi liberal pasca amandemen UUD 1945. (menurut Prof. DR. Kaelan dalam buku Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila)

klo sudah begini, ikipiyeto??

Pembangunan ekonomi (saja)

Ketika masih orde baru, selalu di sampaikan, bahwa pembangunan itu melalui POLEKSOSBUD, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Seiring waktu, diantaranya karena pengaruh globaliaasi, kekuatan kapitalis global, akhirnya ekonomilah yang menjadi pemenang, mendominasi 3 bidang lainnya.

Dominasi itu bisa dilihat dari berbagai hal, diantaranya::
1. Keberhasilan pembangunan negara selalu identik dengan pembangunan ekonomi. Bagaimana media dan para pejabat ini selalu mengedepankan dan memprioritaskan dan membanggakan kemajuan ekonomi.
2. Lembaga negara yang ngurusin pendapatan negara, pengelolaan uang negara, selalu mendapat prioritas. Hal ini bisa dilihat, kekuatan kelembagaan yang diatur dalam UU.
3. Besaran gaji biasanya tertinggi. Sangat fantastis gaji orang2 yang kerja di perbankan, ditjen pajak, OJK dan BI.
4. Karir orang2 yang di bidang ekonomi yang tiada matinya. Karirnya seakan2 berhenti jika orangnya benar2 sudah mati. Lihat saja, sudah menjadi menkeu, lanjut menjadi gubernur BI, bahkan ada lagi yang lanjut menjadi menkoperekonomian. Dari dirjen pajak, menjadi ketua BPK. Bahkan, setelah menjadi menkeu, menjadi pejabat world bank, balik lagi menjadi menkeu.

Masih banyak lagi yang bisa kita lihat dominasi bidang ekonomi, seringkali dalam kenyataan keseharian, limbah kebijakan ekonomi menjadi garapan orang2 hukum, dan juga mempengaruhi sosial budaya masyarakat. Misalnya, kasus BLBI, Bank Century menjadi limbah di aparat penegak hukum (APH). Cuci piring oleh APH merupakan pestanya orang2 di bidang ekonomi.

Perlu dicermati kembali dengan seksama, apakah dominasi pembangunan bidang ekonomi itu baik bagi anak cucu bangsa indonesia?? Bukankah semua harus seimbang, neben, tidak boleh berlebih2an.

Apalah enaknya, pembangunan ekonomi berkembang pesat, kalau tidak bisa tercipta ketenangan dan ketentraman?? Kalau tidak bisa memanusiakan manusia??

Apalah enaknya, pembangunan ekonomi tumbuh dengan tinggi, kalau akhirnya hanya menjadi kuli dan pembantu di negeri sendiri.

Apakah perjuangan pendahulu bangsa ini akhirnya akan dinikmati para tamu negeri ini??

Jumat, 03 Maret 2017

Di jakarta fleksibel, di daerah fluktuatif

Ada perubahan mendasar dalam perhitungan dana transfer dari pusat ke daerah t.a 2018, sebab kedepan dana transfer bersifat fleksibel, bagi pusat fleksibel, iya, tapi bagi pemda lebih tepatnya fluktuatif.

Maksud fleksibel itu besaran pagunya bisa berubah2 sesuai keadaan di pusat, tak terkecuali dana DAU yang selama ini sudah fix dari awal dengan formula tertentu.

Bagaimana keadaan APBD sekarang?

Sekarang ini, bagi daerah, belum tentu dapat informasi besaran final berapa dana transfer yang diterima saat menjelang penetapan APBD diminggu ke 4 bulan Desember.

Kepastian besaran nilai dana transfer seperti DAU, DAK, DBH yang diterima dari pemerintah pusat ditetapkan dalam perpres atau PMK, jadi jika perpres dan PMK terlambat, sangat mungkin akan ada beda pagu di APBD dengan nilai yang tercantum di perpres atau PMK.

Perbedaan biasanya memang terjadi, selain karena keterlambatan penetapan perpres dan PMK, juga sangat mungkin akan ada perubahan penetapan dalam perpres dan  PMK. Perubahan itu bisa karena kebijakan, atau kondisi tertentu seperti dalam transfer DBH di akhir TA selalu ada lebih atau kurang salur.

Dan perbedaan besaran itu akan di sesuaikan dalam perubahan APBD.

Bagamana jika ada lebih dan kurang salur? Kapan kepastian PMK lebih salur dan kurang salur di sampaikan ke pemda?

Bagaimana jika kurang salur diberikan setelah P.APBD? Seperti kabupaten di kaltim, pernah menerima kurang salur DBH 1.7 T setelah perubahan APBD? Maka akan menjadi SILPA, setelah silpa pemda besar, pemda akan dibilang oleh pejabat pusat tidak bisa mengelola APBD.

Dalam transfer DBH yang bersifat fluktuatif saja pemda sudah bingung membuat perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan APBD, bagaimana jika DAU dan DAK nya juga fluktuatif?

Misal, jika dana DAK sudah di perencanaan, sudah di APBD, bahkan sudah di lelang, sudah ada kontrak dengan pihak ketiga, tiba2 pagu DAK nya berkurang, lebih tepatnya dipotong (biasanya disebut optimalisasi), apa yang harus dilakukan pejabat pemda? Bagaimana menjelaskan ke pihak ketiga? Apakah ademdum pekerjaan itu mudah?

Artinya, pemda tidak punya uang untuk membayar pihak ketiga.

Sebenarnya turunnya besaran pagu DAK dan DBH diluar perkiraan pemda t.a 2015, 2016 sudah membuat banyak pejabat pemda pusing. Apakah kejadian tersebut belum menjadi pelajaran bagi pejabat di pemerintah pusat yang tusinya mentransfer dana daerah.

Bagaimana jika DAU yang notabene persentasinya terbesar bagi pendapatan pemda,  kedepan juga tidak ada kepastian pagu atau fluktuatif?

Bisa dibayangkan, betapa rumitnya mengelola APBD jika sumber2 pendapatan sangat fluktuatif. Artinya, semakin tidak ada kepastian besaran pendapatan, maka akan semakin sulit menentukan belanja. Dan pendapatan terbesar pemda hingga saat ini masih dari transfer pemerintah pusat, dan juga didesain memang pendapatan daerah itu terbesar dari transfer pusat.

Terus kalau rumit begitu, ikipiye?

Selasa, 28 Februari 2017

Transformasi nilai di masa orde baru

.......
Rupa-rupanya perubahan sejak 1965 telah melahirkan kelas sosial baru, kelas menengah, yang hampir-hampir tidak mempunyai akar masa lalu. Mereka adalah pendatang baru yang memanfaatkan kesempatan ketika sebuah kekuasaan tiba2 saja muncul tanpa mempunyai referensi sejarah di masa lalu. Kekuasaan itu menginginkan partner bekerja, yang tidak ditemukannya pada kelas menengah lama yang sudah mempunyai ideologi sendiri.
Dalam waktu yang singkat, kelas menengah baru itu dapat mengerjakan apa yang tidak terbayangkan, bahkan oleh kekuasaan itu sendiri. Pada mulanya mereka masih berada di bawah bayang2 wibawa kekuasaan, tetapi kemudian berhasil keluar dari jaring2nya. Akhirnya, kekuasaan harus melayani paket2 yang mereka inginkan.
Pertemuan Tapos yang terkenal itu adalah saksi bagaimana kekuasaan tiba2 sadar bahwa sejawat kelas menengahnya sudah terlalu besar. Ada keinginan untuk mengurangi kekuatan mereka, tetapi tidak tersedia peralatan konstitusional yang memadai.
.......
.......
Ketergantungan kelas menangah pada kekuasaan semakin berkurang.  Kelas menengah bisnis dan industri yang muncul sejak 1965 memang mempunyai ikatan yang kuat dengan birokrasi, tetapi mereka sudah berkembang lebih pesat dalam sepuluh tahun terakhir (1990), dengan langkah2 go public dan globalisasi bisnis menanam akar ke dalam masyarakat dan dunia internasional, sehingga mereka dapat berdiri sendiri.
Jika mereka mengatakan tidak kepada birokrasi, dapat dibayangkan bahwa pembangunan bisa berhenti.
Siapa memerlukan siapa sekarang menjadi tidak lagi jelas seperti sebelumnya.
Ketergantungan semakin melonggar, bahkan ada kemungkinan bahwa mereka menjadikan tak terkendalikan. Kedudukan yang semakin sejajar antara bisnis dan birokrasi tidak lagi menjamin kesetiaan.
.........

Dua alinia diatas dikutip dari tulisan  Kuntowijoyo, hal 409, 411 buku PARADIGMA ISLAM interpretasi untuk aksi, cetakan pertama januari 2017, tiara wacana.

Sepertinya sudah cukup jelas, apakah sejarah akan berulang?

Kalau generasi sekarang tidak mau belajar dari generasi sebelumnya, terus ikipiye?

Sabtu, 25 Februari 2017

Lompatan katak

Bila suatu bangsa mau maju seperti paman sam, negara2 eropa dan ausi, dan singgapur,  benarkah harus mengikuti tahapan perubahan bangsa2 tersebut?

Misal melalui tahapan:

Dari tradisi mitos, ke pemikirana rasional, lanjut ke empiris, terus ke paham idealis, hingga ke pragmatis.

Dari objek pembangunan yang fokus di agraris, menjadi negara industri, bangsa modern yang menguasai ITC khususnya dari sisi software.

Paham ekonomi,  dari sosialis, keynes, liberalis sekaligus kapitalis?

Dari kepemimpinan otoriter hingga demokrasi?

Apakah memang harus begitu? Melalui tahapan2 seperti itu?

Tapi untuk bisa melalui tahapan itu semua, yang dibutuhkan adalah ORANG2 BERILMU.

Seandainya, negeri kayangan mampu mencerdaskan masyarakatnya, ada orang2 yang berilmu, tapi melompat, tidak melalui tahapan2 diatas, mungkinkah negeri kayangan bisa berkemajuan?? Atau berkemajuan meski dengan pondasi yang lemah dan rapuh??

Sebenarnya, akan ada banyak alasan kemungkinan terjadinya kemajuan suatu bangsa jika di kaitkan dengan bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Setiap bidang memiliki banyak faktor. Masalahnya, mana yang sesuai dengan konteks negeri kayangan dan masyarakatnya hingga tercipta kemajuan yang berkeseimbangan hingga tercipta suatu harmoni?

Misal::

Singgapur menjadi negara maju, meski tidak ada demokrasi dan cenderung otoriter, ekonominya di monopoli BUMN pemerintah, pendapatan terbesar jasa dan investasi di indonesia.

Brunei, abu dhabi, menjadi negara maju dan modern, meski berbentuk kerajaan, pendapatan negara dahulu terbesar dari minyak, sekarang dari investasi di beberapa negara. Apakah mereka melalui itu semua, toh sekarang mereka juga mampu menjadi negara yang berkemajuan.

Tiongkok, sekarang menjadi negara maju, meski ideologi tetap komunis, tapi ekonominya sangat liberal. Dan yang perlu diperhatikan, pemerintah tiongkok sangat mendorong warganya yang menjadi pengusaha dan milyader. Tiongkok memiliki modal SDM yang luar biasa, karena banyaknya warga tiongkok yang lulus dari pendidikan eropa dan paman sam, serta ausie.

Seperti permainan catur, saat mulai terdesak dan kalah, semua kemungkinan langkah akan terasa sulit dan terbaca lawan. Itukah yang sekarang di rasakan para pemimpin negeri kayangan?

Mungkinkah negeri kayangan melakukan lompatan untuk menjadi negeri berkemajuan? Sekaligus melompat menjadi negeri berkebenaran?

*)ditulis 100% dgn hp asus zenphone 3, di  pantai anyer, banten.

Berkemajuan (saja)

Begitu menyilaukannya kemajuan teknologi industri, informasi dan komunikasi, hingga membuat banyak rakyat negeri kayangan sulit melihat kebenaran.

Bila negeri kayangan mengejar kemajuan paman sam, dan singgapur, dari sisi nilai ekonomi, sepertinya akan mustahil. Kenapa? Karena dari sisi software dan hardware pasti kecepatannya jauh dibandingkan dengan mereka.

Kecepatan gerak langkah, dan jangkauan langkah pasti akan tertinggal, semakin lama, pasti semakin tertinggal jauh.

Perlu strategi baru untuk mengejar mereka, yang pasti tidak dengan cara mereka, dari sisi ekonomi, tetapi melalui kemajuan modal sosial dan budaya. Mungkinkah?

Masih lekat diingatan ajaran nenek moyang kita, bahwa negeri kayangan adalah bangsa yang berbudaya luhur. Meski perlu usaha yang luar biasa untuk menyajikan kembali dengan bahasa era sekarang, bahasa yang mudah diterima dengan realita multikultur.

Bukankah contoh langsung lebih memiliki kekuatan daripada himbauan, anjuran bahkan perintah. Jadi, negeri kayangan perlu pemimpin yang benar2 bisa menjadi contoh, panutan dan suri tauludan untuk mengajarkan budaya bangsa nenek moyang.

Negeri kayangan perlu pemimpin seperti sukarno yang memiliki kecintaan untuk kesatuan bangsa dan negaranya, mohamad hatta dengan kesahajaannya, hugeng dengan kejujurannya, cerdas dan toleran seperti wahid hasyim, dll.

Biarkan mereka berkemajuan melalui jalur mereka, negeri kayangan harus bisa berkemajuan dengan jalur tersendiri, yakni jalur sosial budaya.

Jadi, negeri kayangan perlu pemimpin sebagai suri tauladan di bidang sosial budaya.

Kalau gak ada, ikipiye?

Selasa, 21 Februari 2017

Negeri kayangan dan (tanpa) Modal politik

Francis fukuyama ilmuwan sosial politik paman sam keturunan jepang telah menjelaskan dengan sangat  meyakinkan, bahwa modal sosial itu sangat penting bagi suatu negara. Modal sosial itu diantaranya adalah kepercayaan/trust, jaingan sosial dan norma.

Dahulu sering kita mendengar kata poleksosbud, artinya ada 4 jenis modal suatu negara untuk mencapai tujuan bernegaranya, yaitu modal politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Dalam perkembangannya, di negeri kayangan lebih mementingkan modal ekonomi. Padahal masih ada bidang politik, sosial dan budaya, yang selama ini  seolah2 terlupakan. Dan dunia akademik juga kurang memperhatikan keseimbangan kemajuan 4 modal tersebut yang dimiliki negeri kayangan.

Jika menurut francis fukuyama, indikator modal sosial sudah jelas, bagaimana dengan indikator modal politik? Perlu sekiranya cerdik pandai negeri kayangan untuk menyusun, sehingga  bisa menghitung besaran modal politik yang dimiliki.

Bila dilihat sekilas, modal politik negeri kayangan sudah menipis.

Pertama, dari sisi parpol:
1. bagaimana parpol seolah2 sudah tidak memiliki ideologi yang harus dipegang teguh, padahal nilai penting yang membedakan parpol dengan organisasi lainnya adalah di ideologinya.
2. bagaimana parpol yang tidak pernah mendeclare keuangannya, sehingga sulit untuk bisa yakin, bahwa parpol benar2 mandiri dari sisi keuangannya. Apa mungkin suatu parpol mengambil keputusan independen jika dari sisi keuangannya belum bisa mandiri? Apalagi, perilaku pemodal selalu mendekati penguasa. Dan parpol adalah organisasi yang memiliki kekuasaan berpengaruh di suatu negera demokrasi, karena parpol yang menentukan siapa calon presiden dan wakilnya, kepala daerah, dewan, selanjutnya presiden dan senator pusat yang menentukan siapa yang menjadi hakim MA, MK, anggota KPK, KPU, BPK dll.
3. bagaimana kepengerusan parpol masih sering mengalami perpecahan. Sepertinya, keberhasilan belanda menjajah negeri ini belum menyadarkan, bahwa pokitik adu domba telah menghancurkan kejayaan leluhur bangsa.
4. bagaimana banyak parpol gagal melahirkan pimpinan untuk negeri kayangan, dan
5. yang paling penting ternyata parpol telah gagal mendidik masyarakat dalam kesadaran dan kedewasaan berpolitik, hingga beberapa parpol terasa seperti badan usaha milik keluarga.

Kedua, dari sisi politisi, bagaimana politisi di negeri kayangan yang gemar melompat ke parpol lain, tanpa menperhatikan ideologi.

Dampak dari kedua sisi tersebut adalah terbentuknya simbiosis mutualisme antara pemilik modal yang menginginkan kekuasaan dan parpol yang memiliki kekuasaan butuh modal. Sehingga tidak heran jika pengurus parpol dan politisi sudah didominasi oleh mereka yang berlatar belakang pengusaha, bukan aktivis, bukan orang2 yang memiliki DNA di pergerakan.

Ketiga, penyelenggaraan pemilu dan pemilukada, masih sering terjadi sengketa hingga dibawa ke MK.

Penting bagi akademsi untuk meneliti potensi, dan eksistensi modal politik negeri kayangan, sehingga bisa menjadi dasar kebijakan dalam menyusun paket UU politik.

Jika tidak mau, apa menunggu akademisi asing?

Terus ikipiye.....

Sabtu, 18 Februari 2017

Kebenaran dan kemajuan

Masyarakat terpelajar negeri kayangan sedang pusing, karena kemiskinan, kesenjangan dan dominasi orang asing terhadap warganya.

Umat muslim pasti yakin, kebenaran itu bersumber dari alquran dan hadis. Dan kebenaran itu bersifat statis, tidak akan bertambah. Dalam islam, aqidah, akhlak, ibadah dan syariat adalah final.

Disisi lain, kemajuan itu selalu bertambah, bahkan bertambah seperti deret hitung, bahkan seperti deret ukur. Disaat sekarang paman sam memiliki peradaban yang maju, itu memang kemajuan, tapi belum tentu kebenaran.

Ketika belum ditemukan jam sebagai penunjuk waktu, bagaimana umat islam jaman dahulu mengetahui waktu sholat? Begitu juga dengan arah qiblat. Maka, ketika jam dan kompas ditemukan, itulah kemajuan, dan perintah sholat berdasarkan waktu2 tertentu tetap suatu kebenaran. Tidak berubah, final.

Tapi, bagi negara tertentu, jam dan kompas bisa saja digunakan untuk berbuat jahat, artinya kemajuan tapi belum tentu untuk kebenaran.

Begitu juga dengan hp, tab, notebook sebagai alat baca adalah kemajuan, tapi kebenaran tetap IQRA, bacalah...itu perintah Allah.

Banyak masyarakat awam negeri kayangan yang mencampuradukan antara kebenaran dan kemajuan. Kemajuan paman sam telah membiaskan sebagian besar warga muslim, seolah2 kemajuan di paman sam itu sama dengan kebenaran.

Benarkah negeri kayangan harus mengikuti kemajuan paman sam? Kemajuan singgapur?

Peradaban mereka memang berkemajuan, tetapi belum tentu itu semua kebenaran. Apa enaknya hidup di negara yang semua harus diselesaikan di pengadilan? Apa enaknya di kehidupan yang serba timpang?

Negara2 yang berkemajuan tersebut belum tentu menjadi negara yang penuh ampunan dari yang maha esa, tuhan penguasa langit dan bumi. Bukankah dahulu kerajaan fir'aun juga besar, peradabannya sangay maju dan menguasai dunia, tapi dihancurkan oleh Allah.

Elite terdidik warga negeri kayangan lagi pusing, memikirkan, agar negeri kayangan bisa tetap berpegang teguh kepada kebenaran, dan selalu berkemajuan, berkemajuan untuk ibadah muammalah,  duduk sama rendah, dan berdiri sama tinggi dengan negara2 lain.

Bahkan, karena sebagai muslim, maka penduduk negeri kayangan merupakan khalifah dimuka bumi, dan juga bisa membuktikan sebagai umat yang  terbaik yang pernah diciptakan oleh Allah.

Terus, kalau sebagian besar penduduk negeri kayangan tidak mengerti tugasnya sebagai khalifah, dan tidak menyadari, mereka adalah sebaik2 umat terus piye? Kalau sudah paham dan menyadari, piye rencana aksi untuk mewujudkannya?

*)tulisan ini terinspirasi dari buku ISLAM sebagai ILMU, karya Prof Kuntowijoyo, semoga Allah yang maha berilmu, menurunkan banyak orang berilmu seperti beliau.

Senin, 06 Februari 2017

Bukan mencari pengadilan, tapi keadilan

Cerita dari negeri kayangan, saat masyarakat protes, demo, atau berencana mengadu ke wakil rakyat, biasanya jika benar akan di tampung, meski ntah sampai kapan akan ditindaklanjuti. Karena memang agenda wakil rakyat negeri kayangan yang padat. Sebaliknya, masyarakat mencari keadilan di tempat lain, pengadilan.

Ternyata, dipengadilanpun, ada model baru, dicari2 pula akan kesalahannya, nantinya akan digunakan untuk menuntut balik, biasanya dengan alasan mencemarkan nama baik atau memberi keterangan palsu.

Dituntut dipengadilan, berarti beracara menurut aturan pengadilan, beracara yang membutuhkan waktu yang lama. Bagaimana masyarakat mau menghadiri proses panjang dipengadilan, untuk kerja sehari2 aja belum tentu cukup.

Apa jadinya, jika pejabat, politisi, orang kaya, perusahaan besar, diprotes masyarakat selalu diselesaikan di pengadilan, selain repot, pasti akan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat.

Jika hal itu dibiarkan terus, maka hanya yang kuat yang akan mendapatkan keadilan menurut keputusan pengadilan. Karena beracara di pengadilan itu membutuhkan waktu, pengetahuan, strategi, dan hanya orang kuat yang mampu melakukan itu.

Apakah ini  suatu tanda, bahwa untuk mencari keadilan saja sudah begitu  mengedepankan mekanisme liberal.

Bukankah era kesejahteraan kerajaan dahulu, adalah namanya "pepe", dimana ada hari2 tertentu masyarakat akan demo, protes di suatu lapangan di tengah kota, biasanya disebut alun2, maka raja beserta punggawa akan menerima, dan disana langsung ada titah raja untuk segera menyelesaikan. Jadi, kerajaan benar2 hadir di setiap permasalahan rakyat.

Apakah rakyat negeri kayangan memang menginginkan begitu? Penyelesaian dipengadilan? Terus siapa yang membela masyarakat kecil?

Katanya negara harus hadir.......

Negara dan segelintir orang

Saat indonesia terjajah, ribuan warga meninggal, berpuluh2 pemimpin dari berbagai daerah meninggal demi indonesia merdeka.

Apa sekarang kemerdekaan ini akan terhempas, bangsa ini akan tercerai berai hanya karena segelintir  orang yang selalu omong besar, yang tidak mau mengerti dan mengakui kesalahan, tidak mau melihat keadaan kalau masyarakat muak melihat tingkah mereka, dan  merasa sebagai pemberani untuk membela kebenaran.

Mungkin perlu dikaitkan dengan sistem pendidikan mereka saat sekolah dasar, menengah, bahkan saat kuliah, atau pendidikan dikeluarganya. Sehingga bisa menjadi pelajaran bagi banyak masyarakat dalam mendidik anak2 mereka.

Kita memilih negara mengorbankan mereka (segelintir orang), atau negara kita akan menjadi korban mereka.

Rabu, 01 Februari 2017

Susu di balas toba

Tidak salah jika koes plus dalam menyanyikan negeri nusantara ini seperti kolam susu. Sederhana dan sangat dalam maknanya.

Negeri subur makmur......

Negeri elok mempesona...

Negeri yang penduduknya sudah mampu menemukan bahwa kebutuhan bukan sekedar materi...tapi sudah melampaui sampai kebutuhan yang tidak nampak mata, ketentraman bathin.

Suatu tingkat budaya pengenalan diri sebagai manusia yang sangat tinggi,. proses panjang dalam sejarah manusia.

Sejarah menuliskan, puluhan suku bangsa di seluruh dunia ingin tinggal disini...dibumi nusantara.

Tinggal dengan proses baik, mengedepankan kesamaan, kesetaraan  dan sifat humanisme. Atau sebaliknya....

Jakarta dan kota besar lainnya hanyalah tanda....

Dan itu sampai sekarang ini........

Pilihan, sebagai tuan rumah, apakah tetap menjadi tuan di negeri sendiri, atau menjadi kuli di negeri sendiri.

Pilihan, atau paksaan karena memang harus memilih, suka tidak suka, mau atau tidak mau.

Dan PANCASILA mengajarkan PERSATUAN INDONESIA

Selasa, 31 Januari 2017

Media terasa asam

Enaknya masakan itu karena adonan bumbu yang pas, serta timing saat mencampur yang disesuaikan dengan panasnya api.

Hal yang sama juga dalam menyajikan berita oleh berbagai media, khususnya berita politik, harusnya terjadi keseimbangan, sehingga pembaca mendapat berita yang enak dan pas.

Mungkin karena efek pilkada, media2 besarpun kehilangan taste dalam menyajikan berita politik, terasa ketidakseimbangannnya. Ketidakseinbangan darj substansi, atau dari sisi lamanya laman website tampil.

Era orde baru, media dikontrol kuat oleh pemerintah, tapi siapakah sekarang ini yang bisa mengontrol dan mengendalikan media?

Bukankah pemilik media sebagian adalah politisi dan pengurus parpol. Artinya, pemilik modal di media itu pasti konglomerat, dan sekaligus politisi pemegang kekuasaan. Yang pasti tidak bisa dipungkiri adalah pemilik media pasti orang kaya, tepatnya borjuis.

Era seperti apa media bisa benar2 menjaga netralitas, independen dan mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Apakah harus menunggu puluhan, ratusan  orang seperti cak nun, yang mau dan mampu memberikan pencerahan berakhlak, berbangsa kepada masyarakat dengan tampil di tv lokal.

Jika rakyat menyadari pllitik media, sepertinya tidak akan sampai 20 tahun lagi, para borjuis akan menguasai media, sekaligus menguasai pusat2 kekuasaan.

Apakah itu tanda2 dajjal sudah mulai datang??

Sabtu, 28 Januari 2017

Ruang elektronik dan empati

Munculnya "ruang elektronik" dalam proses kehidupan secara luas menyebabkan hilangnya proses "social learning" yang memungkinkan berempati dilakukan dalam hubungan antar manusia. (Hal 40, konstruksi dan reproduksi kebudayaan, pustaka pelajar)

Dalam konteks sekarang ini, untuk sebagian besar masyarakat indonesia betul sekali, apalagi menjelang pemilu, pemilukada, dan pilpres.

Tapi sebenarnya, ruang elektronik itupun pernah digunakan untuk berempati, hingga masyarakat bersatu untuk membantu prita, dan beberapa momen kemanuasiaan lainnya.

Sayangnya, itu semua tumbuh seperti jamur, semusim, tanpa ada yang menyemai untuk selalu tumbuh berkembang.

Dan masa2 tertentu...saat banyak masyarakat yang baik diam, maka jadilah ruang elektronik itu menjadi arena saling menyalahkan, menghujat dan sumber fitnah. Dan sepertinya ruang elektronik itu telah menjadi salah satu bukti atau tanda akhir jaman, sulit membedakan antara yang benar dan salah, sulit membedakan orang baik dan orang jahat.

Hampir semua bangsa telah mengalami kesulitan dalam mengelola ruang elektronik. Dampaknya timur tengah mengalami arab spring, paman sam dalam pilpresnya hingga terpilih donald trump...

Semoga kita semua terhindar dari fitnah dan memfitnah.

Kamis, 26 Januari 2017

Menjadi juara kelas

Apalah arti suatu nama? Begitu kata shakespere. Tapi, apakah hal itu juga sama, apalah arti menjadi juara kelas? Masih begitu pentingkah menjadi juara kelas?

Atau sebaliknya, apakah begitu memalukan ketika tidak juara kelas?

Generasi  sekarang yang kira2 berumur 25 s.d 60 tahun merupakan produk dari metode pendidikan yang menerapkan rangking di kelas.  Suatu masa generasi yang menganggap rangking adalah yang utama, rangking adalah kebanggaan diri dan keluarga, rangking adalah pintu masuk ke sekolah yang lebih elit, yang akhirnya seakan2 akan menjadi kunci kesuksesan didunia kerja.

Tapi benarkah proses dalam mencapai rangking itu juga menjadi pertimbangan dan perhatian, melebihi dari rangking itu sendiri?

Proses yang mengedepankan kejujuran, kebersamaan, negosiasi dan sikap mengakui kesalahan dan kebenaran diri dan/atau orang lain.

Pasti tidak semua, sehingga tidak heran jika generasi bangsa sekarang ini, sebagian besar lebih pragmatis, pokoknya bagaimana mendapat rangking. Anak didik juga tidak bisa di salahkan, karena lingkungan keluarga, sekolah dan sebagian dunia kerja juga menuntut hal itu.

Keluarga bangga dengan rangking anaknya, sekolah bangga dengan nilai tertinggi siswanya sekabupaten/provinsi, dunia kerja sebagian juga begitu. Bahkan sekolah2 ikatan dinas pemerintah yang gratis, juga lembaga pemberi beasiswa juga mengedepankan hanya yang dapat rangking.

Akhirnya, sebagian besar mereka tidak mau tahu repotnya, bahwa ada suatu proses yang rumit, lama, dan penuh perjuangan untuk mencapai keberhasilan yang ideal, tapi tampaknya sebagian besar anak didik dan orang tua, bahkan guru2nya juga lebih senang melihat endingnya saja, nilai bagus, dapat rangking.

Generasi yang bermodal rangking, atau modal tanpa rangking, akhirnya mereka sampai juga ke dunia nyata kehidupan, bukan sekedar dunia kerja.

Betapa dikehidupan nyata terdapat perbedaan nilai2 yang di perlukan di bandingkan dengan nilai2 rangking juara kelas. Gap dari nilai ini akhirnya menjadi masalah berikutnya dari output setiap pekerjaan.

Apakah sebagian masyarakat yang minder dengan bangsa lain dan sikap pragmatis tadi adalah suatu produk dari model pendidikan yang mengedepankan rangking??

Semoga generasi selanjutnya, dididik dengan mengedepankan sisi kebersamaan, kerjasama dan gotong royong, kejujuran dan tanggungjawab.  Semoga.....

Pahit

Era sekarang ini, menulis memang di mudahkan oleh teknologi IT, tp menakutkan karena UU ITE.

Apalah arti suatu kemudahan, jika rasa ketakutan itu lebih besar.

Lebih menentramkan mana, sulit tapi tidak menakutkan? Atau mudah tapi menakutkan.

Terus piye ngini iki....
(Soetta, 20.45 WIB, 26 Januari 2017, dalam pesawat, JT 590)

Senin, 09 Januari 2017

Jempolmu harimau, jempol OK

Mulutmu harimaumu, itu dulu...sekarang
Jempolmu harimaumu.....

Keinginan terbesar manusia diantaranya ada di mulut. Mulut untuk memasukan makanan, karena didalamnya terdapat lidah yang memiliki indra perasa. Dan mulut untuk keluar angin yang bernada saat berbicara, tentu saja dengan bantuan lidah juga.

Lihatlah....
Betapa terpukaunya masyarakat saat mendengar pidato presiden sukarno. Betapa khusyunya ibu2 saat mendengarkan pengajian a a' gym.

Suara yang keluar dari mulut memang luar biasa berpengaruh, adalah anugerah besar sang maha pencipta.

Perubahan teknologi komunikasi hingga adanya smartphone, menjadikan memudahkan untuk memenuhi keinginan mulut untuk berbicara, dan juga untuk menuangkan kata2.

Dan smartphone dengan model qwerty telah menjadikan jempol tangan untuk mewakili mulut dalam mengungkapkan pikiran dan keinginan menjadi tulisan yang akan memiliki seribu arti dan makna.

Dan akhirnya, jempol bukan hanya untuk pertanda OK, tp juga untuk menjadikan manusia itu mengaung seperti harimau.

Minggu, 08 Januari 2017

Liberalisasi Agen perubahan

Buku yudi latif, genealogi inteligensia, pengetahuan dan kekuasaan inteligensia muslim indonesia abd XX, awalnya merupakan sebuah disertasi beliau,  dengan jelas dan ceto menjelaskan bagaimana orang2 elite terdidik menjadi agen perubahan bangsa.

Tapi, begitu teringat dengan pendidikan sekarang ini, khususnya lembaga pendidikan swasta dan asing (biasanya menyebut bertaraf internasional) yang telah banyak hadir di kota2 besar, masalahnya mungkinkah lembaga pendidikan tersebut masih mengajarkan Pancasila? Melakukan upacara bendera? Dan menyanyikan indonesia raya? Serta mengajarkan kewarganegaraan?

Semoga....

Bagaimanapun juga, sebagian anak didik lembaga pendidikan tersebut akan sangat mungkin  menjadi agen perubahan bangsa? Artinya memiliki kuasa atas kebijakan negara ini. Apa jadinya jika mereka tidak memahami pancasila, pasti keniscayaan untuk bisa mengamalkannya.

Tugas negara bukan hanya sekedar "mencerdaskan", tapi harus "mencerdaskan kehidupan berbangsa". Artinya bukan sekedar cerdas ilmu politik, ilmu ekonomi, dan ilmu sosial budaya, tapi cerdas dalam KEHIDUPAN BERBANGSA.

Terus ikipiye??  Jadi ingat pesan a'a gym, mulai dari diri sendiri.......