Bagaimana cerita jaman dahulu, warga membuat sumur didepan rumah dan menyediakan air minum dipinggir jalan, karena menyadari akan ada orang yang lewat yang membutuhkan air minum. Ketika yang diberi merasa senang, lantas berdoa, maka berkahlah bagi warga desa itu.
Tapi sejak orde baru, apalagi sejak terbit UU 7/2004, maka air telah berubah, air dari publics goods menjadi economic goods, air menjadi barang yang diperjualbelikan, sehingga air menjadi barang mewah. Hal ini bisa dilihat dari mahalnya air minum bagi masyarakat.
Lihatlah warga yang tinggal di Sukabumi dan Klaten disekitar mata air untuk pabrikan air minum. Saat kemarau mereka sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air dari mata air, justru air mata yang keluar. Saat masyarakat kesulitan air, banyak yang bertanya dimana negara?
Pembatalan UU 7/2004 ttg sumber daya air sungguh mengejutkan banyak pihak. Apalagi dari swasta yang bergerak dibidang air minum.
Tapi apapun putusan MK, masyarakat pasti senang sekali.
Kompas hari ini (2/03/2015) menyebutkan saat ini sekitar 10.000 pengusaha air isi ulang beroperasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Artinya apa? Masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air minum sebagian besar dari membeli. Bagi yang tidak mampu bagaimana??
Masalah yang perlu diselesaikan segera adalah bagaimana keberadaan perusahaan swasta pasca keluarnya keputusan MK tersebut? Apa mungkin pemerintah langsung menggantikan langsung peran swasta yang sudah dimainkan selama ini. Bagaimana dengan peran BUMN dan BUMD? serta pamsimas?
Bagaimana dengan turunan dari UU 7/2004 tersebut?? Khususnya terkait dengan PP 16/2005 tentang pengembangan sistem penyedian air minum? Bagaimana dengan status Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM)?
Jangan sampai air yang keluar dari mata air tetap menjadi keluarnya air mata warga. Semoga.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar