Selasa, 29 Desember 2015

Libur, macet, gak masalah

Macet. Itulah kejadian yang akhirnya tanpa sengaja didesentralisasikan di daerah. Khususnya di jakarta, jawa barat dan jawa tengah.

Seandainya....desentralisasi urusan, pegawai dan uang dalam berpemerintahan saat ini, diikuti dengan pemerataan pembanguanan, pasti daerah2 cepat maju. Daerah2 maju maka Indonesia juga maju.

Tidak banyak didunia ini ada bangsa yang memiliki kebudayaan untuk berkumpul dengan saudara, kerabat dan teman2.  Tradisi mudik lebaran atau mudik liburan, merupakan budaya yang harus dijaga. Termasuk didalamnya nilai2 persaudaraan yakni saling membantu.

Walaupun macet dijalanan....berjam2 berhenti....justru terkadang disana ditemukan persaudaraan. Disana tumbuh dan berkembang nilai2 kemanusiaan, saling berempati....

Lebaran, liburan dan macet kedepan akan seperti 2 sisi mata uang, yang akan menjadi kebiasaan, bahkan dalam 10 tahun kedepan, jika pemerintah tidak mengambil kebijakan yang luar biasa terkait transportasi....maka di jawa, jakarta khususnya, kemacetan akan dirasakan sejak dari pintu pagar rumah.

Jika tidak ingin kena macet....main smartphone di rumah. Praktis, mudah dan murah. Selamat berlibur...selamat menikmati kemajuan daerah hasil otonomi daerah.... dan secara tidak langsung akan ikut memajukan daerah.

Rabu, 14 Oktober 2015

Jamu, minuman kesehatan dan minuman berenergi

Banyak sekali jenis dan manfaat jamu tradisional yang masih ada, tapi sayang sekali, jamu tradisional tersebut belum bisa menguasai pasar di negeri sendiri, misalnya jamu tradisional yang dekat dengan sekitar kita, seperti beras kencur, kunyit, asam dan temu lawak.

Apalagi jika dibandingkan dengan perkembangan minuman kesehatan yang dikemas dalam dengan teknologi modern, dengan kemasan yang mewah, warna yang yang menarik, dan penyajian yang menggoda, maka jamu tradisional masih sangat jauh ketinggalan. Hal ini bisa dilihat dengan mudah di minimarket2 disekitar lingkungan kita, begitu masuk ke minimarket maka akan ada lemari pendingin dengan isi berbagai minuman modern.

Adakah jamu tradisional dalam display mereka? Memang ada, tapi dari sisi jenis dan jumlah tidak sebanding, dan dari sisi tata letak penyajian juga masih sangat tertinggal.

Mengapa jamu tradisional jauh tertinggal dengan minuman modern? Hal ini karena::

Pertama, karena kebijakan pemerintah dan daerah belum fokus untuk memberikan dukungan pada jamu tradisional. Misalnya, kebijakan agar rumah makan, restoran dan hotel untuk wajib selalu menyajikan dan menyediakan minuman dari jamu tradiaional tersebut.

Sebenarnya sangat memungkinkan jika pemda mau memberikan insentif pajak. Khususnya pajak rumah makan, untuk minuman jamu tradisional tidak perlu dikenai/ dikurangi pajak daerahnya.

Kedua, dukungan dari pengusaha yang belum optimal untuk ikut memperkenalkan jamu tradisional tersebut. Bisa dilihat di beberapa hotel, welcome drink biasanya minuman sari buah. Bahkan terkadang buah produk asing. Meskipun, beberapa hotel untuk pagi hari biasanya sudah menyiapkan jamu tradisional dalam menu sarapan pagi untuk mendampingi nasi goreng yang selalu tersaji.

Ketiga, belum banyak dukungan dari perguruan tinggi dan lembaga peneliti untuk melakukan penelitian terhadap jamu tradisional, dengan harapan dapat menyajikan dan mengolah jamu tradisional menjadi lebih berkualitas, mudah disajikan, tahan lama dan menarik dalam penyajian.

Hal ini akan menjadi modal utama, dalam meningkatkan nilai jual jamu2 tersebut. Misalnya, bahwa berdasarkan penelitian perguruan tinggi tertentu, maka jamu2 tersebut memiliki manfaat tertentu. Hal ini pasti akan menjadi faktor minat untuk mengkonsumsi.

Bandingkan dengan tingkat konsumsi minuman air putih yang diberi warna dan dikemas menarik, kemudian diiklankan, dengan janji memiliki manfaat kesehatan dan penambah energi, apalagi selalu ditampilkan dilemari pendingin di minimarket.

Keempat, dukungan industri kemasan, sepertinya masih jauh dari meyakinkan dan menarik, dan memudahkan, sehingga hal ini mengurangi minat masyarakat dalam mengkonsumsi.

Kelima, persepsi jamu tradisional harus diubah, dari jamu sebagai obat, ke jamu sebagai minuman penyegar, penjaga stamina.

Banggalah dengan hasil bumi dari Indonesia, banggalah dengan produksi anak  bangsa sendiri.....yakinlah dengan manfaat olahan ramuan sendiri...

Selasa, 13 Oktober 2015

Berkaca di HP

Kalau sekarang ini banyak orang berjaket hijau, duduk diatas motor sambil melihat hp bukan merupakan kejadian aneh di jakarta, bisa jadi di beberapa kota besar lainnya juga akan menyusul. Ya, mereka adalah go-jek, pengojek dari perusahaan start up yang lagi naik pamor. Wajar mereka sedikit2 melihat hp, karena berharap akan ada orderan penumpang.

Tapi sekarang ini sudah biasa melihat orang bercermin ke hp. Awalnya hanya selfie pake kamera depan hp. Tapi, kebiasaan selfie ini sudah menjadi jauh lebih sering, seirama kebiasaan berkaca untuk berdandan. Bahkan yang sering hanya selfie aja, dan hasilnya sebagai ganti berkaca,  tanpa berdandan dulu.

Mungkin, evolusi hp tidak diprediksi secepat ini perubahannya, bahkan bisa jadi tidak diprediksi kalau hp akhirnya menjadi alat berkaca dan berdandan. Hp memang sudah banyak berubah, dari alat komunikasi yang dahulu selalu menempel di telinga, sekarang telah berubah, meskioun hp sebagian masih sebagai alat komunikasi, meski posisinya sudah berpindah  di depan wajah/muka, lebih tepat di depan mata, bukan di telinga lagi.

Sudah biasa terlihat, begitu masuk restoran, yang dilakukan terlebih dahulu nyalakan  hp, selfie dan langsung lihat hasilnya, jika belum puas, berdandan ala kadarnya, minimal merubah gaya dan posisi, lanjut selfie lagi.

Hidup ini pilihan....tidak memilihpun itu suatu pilihan. Memilih hp dgn screen hitam putih, dua baris, atau hp yang smart, tentukan "kebutuhan" anda, jangan hanya menuruti "keinginan".

Jogya Istimewa

Sudah banyak pemimpin bangsa ini dilahirkan di jogya, atau hanya besar dan sekolah di jogya, bahkan setelah menjadi pemimpin pengin menikmati masa pensiun nantinya di jogya. Jogya memang istimewa. Mengapa?

Jika dikaitkan dengan urusan pendidikan, jogya tidak ada duanya (tagline toyota kijang). Banyak sekolah dan perguruan tinggi/kampus, apalagi mahasiswa pendatang. Kedatangan mereka bagi penduduk asli bisa jadi rizki ato sebaliknya.

Jika dikaitkan dengan budaya, jogya memang kota budaya. Banyak perilaku warga yang mencerminkan budaya kemanusiaan yang adi luhung. Yang jarang ditemukan di daerah2 lainnya. Bagaimana kesederhanaan, kelembutan, kesopanan dan kejujuran serta suka menolong dalam keseharian warga jogya.

Jika dikaitkan dengan perjuangan Indonesia merdeka, pengorbanan para pemimpin jogya, HB IX dan rakyat jogya pada masa  kemerdekaan dan awal kemerdekaan sungguh luar biasa.

Jika dikaitkan dengan budaya shoping, menjadi hal yang menarik. Didaerah lain, shoping itu akan diartikan sebagai kebiasaan belanja di mall untuk membeli baju, tas, dan aksesoris lainnya. Tapi di jogya beda sekali, shoping itu belanja buku. Meski ada beberapa tempat pertokoan buku di jogya, tapi semua memiliki kebiasaan yang sama.

Diantara shoping buku yang ada, shoping buku didekat taman pintar merupakan yang paling lengkap bahkan terbesar di indonesia, dan terasa nyaman. Meski dikota2 besar, seperti solo dekat manahan, jakarta di kwitang dan senin, bandung dengan palasarinya, surabaya,  juga ada shoping buku, tapi tidak sebesar dan sebanyak jogya. Untum kenyaman juga, jika kita datang hanya untuk melihat2 bukupun terasa nyaman, karena tidak terkesan dipaksa2 atau ditawarin oleh seseorang.

Jika dikaitkan dengan wisata kuliner, yogya terkenal dengan makanan khasnya,  gudeg. Meski lebih dominan rasa manis tapi tetap untuk rasa pedas ada pilihannya dengan cabe2nya yang utuh. Dan yang lebih menarik lagi adalah, warung angkringan, warung kecil yang menjual nasi dengan porsi kecil, bahkan sangat kecil, dengan berbagai lauk dengan porsi kecil atau eceran serta dengan ciri khasnya 3 teko diatas tungku bara arang, membuat warung angkringan identik dengan jogya.

Masih banyak yang lainnya, kalau  jogya istimewa. Silahkan datang dan berkunjung ke Jogya Istimewa.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Pasal 33 ayat (3) UUD NKI, asap kebakaran hutan dan siaran TV

Pasal 33 ayat (3) UUD NKI menyatakan Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Apa karena Pasal 33 tidak bicara tentang langit dan angkasa indonesia, sehingga asap kebakaran hutan boleh bebas memenuhi sampai ke pelosok2 daerah sehingga masyarakat sulit menghirup udara sehat, begitu juga dengan kebanyakan siaran TV yang semakin menjangkau daerah2, tetapi kurang mendidik, bahkan cenderung membahayakan masyarakat,  akhirnya terasa sekali masyarakat kehilangan ruang publik dilangit dan angkasa didaerah mereka.

#edisiPusing.

Jabatan struktural dan jabatan fungsional

Dalam prakteknya beberapa kondisi relasi jabatan struktural dlm lembaga/organisasi K/L/Pemda dan jabatan fungsional:
1. Ada jabatan struktural dan ada jabatan fungsional, dan hubungan mereka sudah terbina baik.
2. Ada jabatan struktural dan ada jabatan fungsional, tapi hubungan mereka belum baik. Artinya, menjadi fungsional masih belum menjadi pilihan, lebih kepada karena tidak ada pilihan.
3. Ada jabatan struktural dan tidak ada jabatan fungsional. Hal ini masih banyak di K/L/Pemda. Artinya belum ada sama sekali jabatan fungsional. Jd organisasi tersebut masih mengandalkan struktur, dan belum ada fungsionalnya sama sekali.

Point 2 dan 3 harus mendapat perhatian dalam pengembangan organisasi kedepan. Pemerintah perlu melakukan revolusi mental, sehingga jabatan fungsional itu menjadi prioritas dalam pilihan karier.

Jika tidak, pejabat struktural sulit untuk profesional. Karena dalam waktu bersamaan, harus mengerjakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan, administrasi lainnya dan ini membutuhkan banyak energi, sehingga energi untuk melaksanakan tupoksi utama dari sisi substansi sudah jauh berkurang. Sehingga substansi tupoksi utama menjadi kurang fokus dalam pelaksanaannya.

Jumat, 02 Oktober 2015

Organisasi dan fungsional Kementerian/Lembaga/Daerah

Sepertinya sudah menjadi kebiasaan, setiap pergantian kepala pemerintahan maka organisasi K/L juga berubah. Hal yang sama juga di daerah jika terjadi pergantian kepala daerah, biasanya organisasi juga berubah, minimal para pejabatnya.

Pelaksanaan TA 2015 untuk dibpemerintahan pusat,  baru berjalan full speed sekitar bulan Juni, salah satu sebab diantaranya adalah menunggu selesainya perubahan organisasi atau kelembagaan di K/L.

Ternyata perubahan kelembagaan di K/L masih fokus di penguatan pada strukturalnya, belum banyak yang membahas kelembagaan yang menekankan untuk penambahan jabatan fungsional.

Untuk lebih mudahnya,  perhatikan struktur K/L, yang di ubah2 adalah strukturnya. Artinya akan ada penambahan, pengurangan atau perubahan struktur es 1, 2, 3, 4. Tapi belum menfokuskan bagaimana pejabat2 fungsional agar semakin berkembang dan kuat.

Selama ini memang sudah banyak K/L yang menerapkan adanya pejabat fungsional, seperti tenaga medis di kemenkes, tenaga pendidik di kemendibud, peneliti di LIPI, dan masih banyak lagi fungsional di K/L.

Tertapi dari pertumbuhan dan penguatan fungsional dari sebelum2nya kurang mendaptkan perhatian. Misalnya, hampir semua es 1 memiliki fungsi perencanaan, tapi belum banyak K/L yang telah mengembangkan "fungsional perencana". Sehingga yang terjadi saat ini banyak pegawai ASN yang menginginkan menjadi pejabat struktural.

Hal yang sama dibidang lainnya. Misalnya, belum berkembangnya fungsional analis kebijakan keuangan daetah, analis kebijakan BUMD, analis kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), analis kebijakan perencanaan daerah, analis kebijakan perekonomian daerah, dan masih banyak lagi yang bisa dikembangkan.

Untuk memudahkan penjelasan ini misalnya, bidang kesehatan, jika penekanannya pada struktur, maka akan dibentuk struktur yang banyak untuk ngurusin kesehatan tersebut, sehingga akan ada pejabat struktural yang harus diangkat.

Tapi jika yang dikembangkan pejabat fungsionalnya, maka yang dikembangkan adalah fungsional tenaga medis, baik jenis maupun jumlahnya. Maka dengan struktur yang ramping, tinggal menambah tenaga medis yang sesuai dengan fungsionalnya tersebut. Jika belum bisa memenuhi pekerjaan, tinggal menambahkan pejabat fungsionalnya saja. Hal ini yang disebut dengan ramping struktur kaya fungsi.

Hal ini jika diterapkan di semua bidang, maka akan menjadi banyak ahli yang sesuai dengan bidangnya. Sehingga tidak akan rebutan menjadi pejabat struktural. Permasalahannya adalah, bagaimana mendesain jabatan fungsional itu lebih menarik, menyenangkan dan menjamin karier. Jika ini berhasil, dari pemerintah dan pegawai akan sama2 menguntungkan.

Mengapa menjadi pejabat fungsional kurang menarik?
1. Belum semua jabatan fungsional disediakan.
2. Belum semua jabatan fungsional, pembianaanya bagus.
3. Menjadi pejabat fungsional terkesan menjadi bawahan struktural.
4. Menjadi pejabat fungsional kurang prestise di masyarakat
5. Dari sisi kesejahteraan, jenjang karier, pengembangan kemampuan, sarana kerja kurang mendapat perhatian.
6. Dll.

Dengan kondisi adanya ketakutan para pejabat dalam mengelola uang akan implikasi hukum,  jabatan fungsional seharusnya menjadi pilihan yang menarik, selain karena alasan daripada pensiun.

Organisasi pemerintah maupun pemda, jika desainnya dan pelaksanaannya tidak dipaksa untuk menuju ke jabatan fungsional, maka yang terjadi akan banyak pegawai yang berkompeten, karena tidak kebagian jabatan struktural akan malas bekerja, atau bahkan keluar dari organisasi.

Perlu ada penilitian lebih lanjut, mengapa kebanyakan pegawai ASN senang ke struktural dibandingkan dengan fungsional.  Dan yang pasti itu membutuhkan revolusi mental.

Minggu, 27 September 2015

Asap hutan, asap rokok dan DPR RI

Sudah hampir 2 bulan ini saudara2 kita yang tinggal di hampir seluruh sumatera, sebagian kalimantan, tidak bisa menghirup udara bersih, kecuali harus menghirup udara yang berasap.

Bangsa ini memang tidak lepas dengan yang namanya asap.

Pertama, asap kebakaran hutan, asap ini sepertinya sudah menjadi tradisi tahunan, dan anehnya lagi,  setiap tahunnya masyarakat juga tidak bisa memilih untuk tidak menghirup asap.

Yang sabar paling hanya diam, sambil berdoa semoga asap segera hilang, yang punya gadget sudah biasa mengeluarkan amarahnya di fb, status bbm atau ngeblog. Yang lainnya sangat mungkin hanya bisa membicarakannya diwarung2, atau ditempat nongkrong membicarakan kapan turun hujan,  apa tindakan pemerintah, atau rencana2 aja untuk membeli alat pembersih udara dalam ruangan, hanya sebatas rencana karena memang belum tentu ada uang. Kalaupun ada uangnya, belum tentu alat tersebut juga mampu membuat udara menjadi bersih.

Kedua, asap rokok. Sudah sejak dahulu, hampir sebagian tempat juga dipenuhi asap, meskipun sedikit, tapi ini asap yang khas, karena telah menjadi budaya sebagian besar laki2.

Meskipun sudah banyak tulisan dan himbauan larangan merokok disembarang tempat, ataupun sudah ada penyediaan ruangan khusus merokok, tapi tetap saja banyak ditemukan orang2 merokok disembarangan tempat.

Apalagi di jakarta. Kenapa? Bisa jadi karena peraturan dilarang merokok hanya sebatas teks2 yang kering, yang tidak dipahami apalagi dihayati masyarakatnya, selain itu karena model hukumannya yang tidak mungkin dilaksanakan.

Sepertinya pemberian sanksi harus diubah, sekarang ini hukumannya menggunakan denda  maksimal x juta atau y penjara, padahal denda x juta itu besar sekali bagi masyarakat, dan ditambah proses pengadilan yang lama dan rumit. Sehingga implementasi hukum itu sulit, lebih tepatnya menjadi tidak operasional.

Mengapa tidak membuat sanksi dihukum denda minimal 50 ribu, artinya denda nya tidak usah besar, dan dilaksanakan ditempat. Sehingga hukum itu operasional. Bagi masyarakat yang kena denda kecil tapi sering, lama2 juga akan merasa besar, dan menjadi malu.

Yang lebih tidak masuk akal lagi adalah, sejauh ini pengukuran kinerja DPR RI dari sisi pelaksanaan fungsi legislasi masih sebatas "berapa" UU yang di buat. Sederhana sekali, masih sebatas kuantitas, belum kualitas. Belum ada laporan penelitian terkait bagaimana kualitas UU yang dibuat DPR RI.

Apa kaitannya dengan asap hutan dan asap rokok? Kaitannya karena UU sebagai alat mencapai kesejahteraan, dan agar tidak ada yang dirugikan, khususnya karena pembakaran hutan dan lahan sulit sekali diterapkan, hal ini tampak dari hasilnya penegakan hukum yang belum memuaskan masyarakat. Hal yang sama juga dalam pengaturan merokok.

Jumat, 25 September 2015

Kamar hotel, sajadah dan label halal

Perkembangan pariwisata yang pesat memang harus diikuti dengan penyediaan hotel dan penunjang lainnya. Tidak bisa dipungkuri dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak sekali berdiri hotel, khususnya hotel bintang 4 dan 3, atau lebih dikenal dengan sebutan hotel budget.

Beberapa kali nginap di hotel2 tersebut ini, sedikit sekali yang dikamarnya menyediakan sajadah. Sehingga seringakali untuk keperluan sajadah harus tlp ke housekeeping. Memang pasti diberi, tapi sepertinya ada yang kurang pas.

Di indonesia ini mayoritas warganya muslim, kenapa penyediaan sajadah belum menjadi standar dalam ruangan hotel. Kalau untuk kolam renang, bahkan hiburan karaoke saja menjadi indikator pengukuran tingkat suatu hotel.

Seandainya diasumsikan bahwa pihak hotel sudah menyediakan mushola untuk sholat, bagaimana dengan tamu perempuan? Apalagi kalau akan melaksanakan sholat subuh. Artinya ini bisa diartikan bahwa sajadah itu merupakan suatu kebutuhan.

Keadaan ini sepertinya menjadi hal yang biasa di negeri ini,  contoh yang hampir serupa, bahkan lebih luar biasa, adalah pemberian  label produk halal di indonesia. Seandainya label halal pada suatu makanan ini adanya di australia adalah hal yang wajar, karena disana muslim minoritas.

Tapi ini di indonesia yang notabene mayoritas penduduknya muslim. Seharusnya diasumsikan semua makanan pasti halal, kecuali yang  diberi label TIDAK HALAL. Bukan di balik2 seperti saat ini.

Rabu, 23 September 2015

Sapi, beras, garam dan lainnya "beli aja" gitu aja kok repot

Saat idul adha begini banyak berita mengenai hewan potong yang tidak layak/tidak boleh untuk di potong karena tidak memenuhi syarat. Apalagi iklan tentang penjualan hewan qurban , lebih banyak lagi. Sebenarnya berita dan iklan itu gak salah.

Dari sisi berita cuma menjadi tidak seimbang karena dari tahun ke tahun beritanya juga gak jauh beda. Padahal, ada hal menarik yang selama ini jarang dibahas, bagaimana menghasilkan hewan2 qurban sehingga menjadi lebih berkualitas dan murah?

Apa mungkin? Mungkin saja, kenapa gak.

Negeri nusantara yang subur ini penuh keajaiban. Kalau adanya borobudur menjadi keajaiban dunia itu hal yang wajar, tampak mata sebagai mahakarya nenek moyang bangsa.

Tapi, mengapa sapi, beras, garam dll nya masih banyak yg harus diimport? Bukankah kata koesplus negeri ini sangat subur.

Ketika sumber daya alam ikan yang melimpah dilautan, banyak yang diam saja saat nelayan2 asing mencuri dilautan kita, selamat untuk bu susi menteri KKP yang berusaha untuk menjadikan nelayan anak bangsa agar berdaulat di negeri sendiri.

Tapi bagaimana dengan garam? Bukankah dengan panjang pantai yang luar biasa akan bisa menghasilkan garam? Ternyata selama ini, garam impor juga menguasai pasar. Mengapa hal ini terjadi? Seperti nya pedagang itu (kerennya importir) mau gampangnya mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Tidak berpikir tentang harga diri bangsa, tidak berpikir betapa banyak orang2 asing keheranan melihat mengapa bangsa indonesia impor garam, dan juga membuat kebingungan  para pejabat saat harus menjelaskan mengapa bangsa ini "harus" impor.

Sapi, kerbau, kambing juga begitu, kalau saja diteliti bagaimana kerbau, sapi, kambing, yang bisa hidup tanpa pemeliharan yang khusus di pulau rinca dan pulau komodo. Maka, kita akan berpikir, mengapa tidak kita pakai saja ribuan pulau yang kosong untuk ternak2 itu? Lepaskan saja hewan tersebut, libatkan masyarakat sekitar untuk menjaga.

Tapi, sama saja, ternyata pengusaha importir lebih suka melakukan impor sapi dari australia. Mengapa? Karena pasti untung, karena sapi di australia produknya melimpah dan murah. Bandingkan jika para pengusaha itu harus membangun peternakan sendiri, biayanya besar, prosesnya lama, ijinnya juga lama, tidak didukung oleh kebijakan, apalagi teknologi pangan dan teknologi kesehatan, dan kesimpulannya belum tentu untung. Maka, pragmatis saja, import.

Seharusnya, import harus dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Jangan sampai punya keinginan, bahkan didesain untuk selalu import,  jangan hanya memilih import, karena import itu yang gampang, menguntungkan dan aman, serta didukung oleh politisi dan pengambil kebijakan.

Akhirnya, menjadi importir itu bidang usaha yang menarik, saking menariknya banyak sekali yang mau ikut2an, apalagi yang punya kekuasaan dan yang bisa membeli kekuasaan. Sehingga, pengusaha yang besar di bidang manufaktur dan sektor produksi lainnya sulit berkembang. Apalagi dibidang agrobisnis dan pertanian.

Kalau hanya memikirkan diri sendiri dan kelompok, dan tidak mau repot memikirkan "kedaulatan bangsa", bagi yang mampu, silahkan menjadi importir sapi, garam, dll. Biarkan masyarakat sekarang yang cukup melihat dan mendengar, dan anak cucu kita yang merasakan pilihan mereka.

Jumat, 18 September 2015

Bus tingkat wisata jakarta

Ada hal menarik juga saat naik bus tingkat wisata DKI, apalagi saat duduk diatas. Jarang2 bisa melihat sepinya jalanan jakarta, kebetulan karena hari sabtu, maka jalanan jakarta tampang lenggang, dan menjadi menarik saat dilihat dari bus tingkat, membuat semakin jelas hal2 yang selama tidak menjadi perhatian saat melalui jalanan jakarta disaat2 padatnya lalu lintas jakarta.

Dengan kenyamanan bus, dan suasana anak2 yang sedang menikmati jakarta menjadi terasa lain, sebab selama ini lebih sering melihat manusia dengan muka2 lelah dan semua serba buru2. Sangat beda sekali.

Bagi teman2 perlu sekali2 mencoba bus tingkat wisata yang disediakan gratis oleh pemda DKI. Jika hari sabtu, pagi2 bisa dimulai dengan menikmati kawasan  monas, selanjutnya bisa naik bus tingkat wisata dari halte depan balaikota. Jika mobil diparkir di MRT Monas, turun dari bus tingkat bisa mampir dulu menikmati wisata gedung balai kota, baru balik ke parkiran MRT.

Di balaikota bisa melihat ruang tunggu bagi tamu gubernur DKI, ruang rapat, dan ada juga pertunjukkan film bajaj bajuri. Setelah itu menikmati wisata kuliner yang ada disamping gedung balaikota.

Silahkan menikmati jakarta...

Kamis, 17 September 2015

Pak Jonan di PT. KAI dan sebagai Menteri Perhubungan

Semua mengakui kepiawaian Pak Jonan saat menjadi Dirut PT. KAI. Perkereta apian Indonesia berkembang sangat cepat. Banyak sekali inovasi di PT. KAI yang dibuat mantan banker ini. Intinya, kinerja Pak Jonan layak di acungi jempol.

Dari sisi eksternal kualitas pelayanan sangat bagus, dimulai dari kenyaman kereta, kebersihan kereta dan stasiun serta keamanan. Apalagi dari ketepatan jadwal kereta api serta kepastian ketersediaan untuk mendapatkan tiket.

Dari sisi internal perusahaan, loyalitas pegawai PT. KAI yang semakin meningkat, hal ini bisa dilihat saat beban berat pekerjaan di lebaran, mereka bekerja all out.

Bagaimana kabar kinerja Pak Jonan saat menjadi menteri perhubungan? Apakah masih seperti saat menjadi dirut PT. KAI?

Meski banyak inovasi dan kemajuan yang dibuat pak Jonan di kemenhub, tetapi tidak seperti dulu. Mengapa? Karena kewenangan beliau saat menjadi menteri tidak sebesar saat menjadi dirut PT. KAI. Misal:

1. Dibidang pendapatan keuangan, di PT. KAI bisa meningkatkan sumber2 pendapatan melalui kerjasama yang sifatnya B to B. Tapi tidak saat menjadi menhub, pendapatan kemenhub sudah diatur rigid, rumit oleh menkeu melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dan dari sisi hasilnya tidak akan bisa sebesar saat di PT. KAI.

2. Dari sisi belanja, di PT. KAI untuk alokasi anggaran dan perubahan anggaran relatif mudah dan cepat. Karena aturan RKAP perusahaan tidak serumit di RKA K/L. Dan yang paling berpengaruh adalah kewenangan untuk menentukan standar belanja. Misal, ketika pak jonan, berkeinginan untuk memberikan penghasilan yang layak pada pegawai PT. KAI, hal yersebut cukup kewenangan dirut. Tapi tidak seperti sekarang saat menjadi menhub, untuk memberi penghasilan yang layak bagi yang berprestasi akan mengalami kesulitan. Karena kewenangan itu adanya di menkeu. Hal yang sama, terkait kesulitan memberi kesejahteraan pegawai pernah disampaikan juga oleh Bu Susi Menteri Kelautan dan Perikanan.

3. Dari sisi kegawaian. Saat menjadi dirut PT. KAI, pak jonan memiliki kewenangan yang besar sekali di kepegawaian,  bisa melakukan mutasi bahkan bisa menambah tenaga kerja dari luar dengan mudah. Artinya, jika ada pegawai PT. KAI yang kinerja kurang baik, bisa dengan mudah melakukan restrukturisasi pegawai, dan jika berkinerja baik dapat langsung membuat kebijakan untuk memberikan reward. Tapi tidak seperti saat sekarang menjadi menhub. Karena untuk mengangkat dirjen bukanlah 100% kewenangan menhub. Tapi kewenangan itu lebih dominan ada di presiden. Apalagi memberi reward pada pegawai berprestasi, sangat kecil kewenangan itu.

4. Pengaturan struktur organisasi. Di PT. KAI relatif fleksibel untuk mengubah size dan bentuk struktur organisasi. Tapi tidak saat di kemenhub. Karena organisasi di atur oleh Menpan.

Dan masih banyak lagi kewenangan yang dimiliki saat sebagai dirut PT. KAI. Tapi tidak dimiliki saat menjadi menhub. Meski sebaliknya, bahwa kewenangan sebagai menhub lebih besar dibandingkan dengan dirut PT. KAI, tetapi besarnya kewenangan tersebut belum tentu selalu diikuti dengan kewenangan keuangan, kepegawaian, organisasi dll.

Bisa jadi, hal ini akan terjadi kepada siapapun yang sukses di luar, belum tentu sukses di birokrasi. Karena memang pengaturan dibirokrasi terkenal rigid, sehingga terasa lambat. Sehingga kepemimpinan orang2 hebat diluat birokrasi seperti pak Jonan, ibu Susi, pak dahlan iskan dll akan tampak biasa2 aja saat di birokrasi.

Perlu reformasi birokrasi yang utuh, seksama dan menyeluruh. Bukan hanya reformasi gaji di kemenkeu dan bbrp K/L saja, sehingga sekarang tampak adanya "kelas" antar K/L.

Sabtu, 05 September 2015

Smartphone dan Smartpeople

Memang lucu negeri ini, diantara kesulitan hidup, khususnya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan, ternyata banyak warga tersebut yang memiliki smartphone, paling tidak anak2 mereka yang masih sedang tumbuh remaja/abg.

Sepertinya ada perubahan fungsi smartphone bagi abg2 tersebut, yang tadinya smartphone dengan fasilitas telp, sms, selanjutnya muncul bbm untuk berkomunikasi, untuk bersilaturahmi, tapi sekarang sudah mengalami banyak perubahan fungsi.

Smartphone sekarang oleh abg2 tersebut lebih banyak digunakan untuk selfi, dan nonton video dan terakhir chat yang sifatnya main2 saja.

Sepertinya ada kegagalan negara dalam pendidikan teknologi. Bukan kegagalan mengoperasionalkan smartphone, tapi kegagalan menggunakan smartphone. Gagal menggunakan smartphone dalam arti manfaatnya kurang tepat.

Artinya, banyak fasilitas di smartphone tersebut yang bisa digunakan untuk hal2 yang bermanfaat, tapi tidak atau kurang dioptimalkan.

Bisa jadi, karena di masyarakat belum banyak budaya membaca, kemudian muncul smartphone, meskipun banyak bacaan dismartphone tersebut, tapi karena budaya membaca kurang, sehingga yang digunakan adalah budaya berbicara dan melihat. Yaitu, telp, nonton video berlama2.

Perlu ada survei, berapa rupiah masyarakat menghabiskan uangnya untuk akses youtube atau portal sejenisnya, dan dibandingkan dengan yang untuk akses media bacaan. Meskipun sulit, karena seringkali dalam satu portal ada fasilitas bacaan dan video menjadi satu.

Tapi, paling tidak, dengan kesungguhan penilitian bisa diungkapkan kepada pengambil kebijakan dan masyarakat. Sehingga pemerintah mampu mengambil kebijakan yang tepat. Jangan seperti anak kecil yang tidak tahu bahaya makan pedas,  kemudian makan pakai banyak sambel sehingga sakit perut tapi dibiarkan terus.

Sebab, jika dibiarkan terus, mau dibawa kemana negeri nusantara ini. Apalagi acara tv yang semakin dikuasai kapitalis. Jadi, sudah seharusnya Negara harus hadir melindungi warganya....

Senin, 31 Agustus 2015

Sulitnya rekreasi di negeri sendiri

Ada rasa iri ketika melihat bule2 dengan gaya "gembel"nya banyak sekali di bali. Apakah memang mereka orang kaya di negerinya, sehingga dengan kekakayaannya mereka bisa berlibur berhari2 bahkan berminggu2 di bali? Mengapa sedikit sekali cerita orang indonesia bisa berlibur di bali atau ke tempat wisata lainnya selama berminggu2.

Memang 3-4 tahun terakhir ini sudah ada buku yang bercerita tentang perjalanan wisata dengan menjadi backpacker, pengalaman rekreasi/wisata dengan gaya nge"gembel" yang ditulis dalam sebuah  buku yang memang mengesankan, tetapi sejauh ini backpacker ini belum menjadi kebiasaan di negeri ini.

Bisa jadi, dari sisi materi banyak masyarakat yang sudah mampu melakukan rekreasi dengan backpacker, tapi hal ini belum menjadi kebiasaan, apalagi menjadi menjadi gaya hidup.

Melakukan rekreasi/wisata bisa jadi ini juga di pengaruhi model perkantoran (PNS dan perusahaan asli indonesia) dan pemberi pekerja di indonesia yang sangat sulit memberikan cuti kerja. Kalau perlu pegawai itu tidak boleh cuti. Sehingga, ketika lingkungan tidak mendukung, maka rencana untuk mengagendakan melakukan perjalanan wisata menjadi sulit, dan ini juga berpengaruh dari sulitnya memanfaatkan tawaran wisata promo atau tiket promo.

Sangat mungkin, pengaruh terbesar tidak terbiasa rekreasi  karena masih adanya kebutuhan pokok yang memang harus dipenuhi, dibandingkan dengan kebutuhan bersenang2.

Ada yang sulit dimengerti, mengapa di negara2 maju, warganya hanya bekerja 3 bulan, tapi hasilnya bisa digunakan untuk keliling dunia 1 bulan,  sedangkan bagi warga negara indonesia, bekerja 3 tahun, hasilnya dipakai keliling bali 3 hari saja belum tentu cukup.

Bahkan, pengangguran aussie dengan subsidi dari negaranya bisa tinggal di bali berminggu2.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Apa hal ini dipengaruhi oleh nilai mata uang yang berlaku di negara2 maju tersebut? Artinya, semakin tinggi nilai mata uangnya, maka akan semakin besar nilainya jika akan digunakan untuk keliling dunia di negara2 yang memiliki mata uang rendah seperti indonesia.

Yang seringkali bikin nyesek ati, mengapa warga indonesia yang sudah bekerja keras, tetap harus bekerja keras sampai hari tuanya. Beda sekali dengan warga negara2 maju....

Hujan emas di negara orang lain, tetap lebih baik hujan batu di negara sendiri. Meski kita mau nya kalau bisa hujan emas di negeri sendir.  Semoga.....

Begitu nyata menjadi kuli di negeri sendiri

Tidak terbantahkan, bandara ngurah rai bali memang mengalami perubahan fisik yang sangat signifikan. Baik dari luas, kemewahan dan juga fasilitas yang diberikan. Seperti tersedianya fasilitas ATM yang sangat lengkap dan ruang tunggu yang cukup memadai serta resto2 yang terkesan antik,  meski tetap tampak mewah dan nyaman.

Lama duduk diruang tunggu ada yang aneh dengan para pekerja yang bekerja di bandara ngurah rai ini. Para pekerja kebersihan dengan seragamnya, penjaga toilet yang berdiri sambil melihat kedatangan pengguna, ataupun para pramuniaga yang menjaga toko yang berharap pengunjung untuk mampir di tokonya, bahwa mereka tampak sekali sebagai orang asli/lokal diantara banyaknya orang asing/bule2. Mereka semakin nyata saat mereka bekerja bersama dan berdekatan.

Mengapa mereka disini, menjadi "kuli" di negeri sendiri? Mengapa juga saat kita mendengar TKW disana tetap juga menjadi "kuli" di negeri orang? Apakah ini karena pemberitaan yang tidak seimbang.
Maksudnya, sebenarnya ada juga orang kaya indonesia di dalam/luar negeri yang memiliki pekerja asing. Tapi tidak menjadi pemberitaan.

Jadi ingat bagaimana ibu sushi menteri KKP menjawab dengan cerdas saat diberitakan pilot di perusahaannya ternyata lebih banyak pekerja asingnya. Artinya orang pribumi menjadi tuan di negeri sendiri ternyata ada. Adakah lainnya selain beliau?

Permasalahannya adalah, mengapa banyak orang indonesia yang justru menjadi kuli dinegeri sendiri dan juga menjadi kuli dinegeri orang lain? Mengapa mahasiswa/i indonesia yang kuliah di luar negeri (eropa/usa/aussie) seringkali bercerita bahwa mereka disana terbiasa menjadi tenaga kasar untuk mencari tambahan uang saku.

Apakah dinegeri asing tersebut memang sudah makmur semua, sehingga tidak ada lagi pekerja kasar? Tidak ada lagi orang bekerja informal pada perusahaan/ orang lain. Apakah semua pekerjaan sudah menjadi profesi, sehingga pekerjaan kasar tersebut seringkali harus dikerjakan sendiri?.

Apapun penyebabnya, tapi yang pasti sudah terlihat dengan nyata dan jelas, bahwa banyak warga indonesia telah menjadi kuli di negeri sendiri dan juga menjadi kuli di negeri orang lain.

Bagaimana cara mengurangi hal ini? Tidak ada cara lain selain meningkatkan kapasitas SDM semua warga negara. Dengan memberi kesempatan dan dorongan bagi warga negara untuk selalu IQRA dan IQRA.

Minggu, 16 Agustus 2015

Moge, apa manfaatnya untuk pengguna jalan?

Hari sabtu 15 aguatus 2015 ramai di bicarakan di media sosial, seorang bawa sepeda menghadang rombongan moge di yogya. Dan banyak nitizen yang memberi apresiasi terhadap pengendara sepeda tersebut, belakangan di ketahui bernama Elanto Wijoyono.

Dan sebagian komen2 di medsos juga banyak mengkritik pengendara moge. Sepertinya masyarakat kurang memberi apresiasi terhadap pengendara moge. Mengapa?

Sangat mungkin karena pengendara moge sangat eksklusif, dan sering meminta pelayanan yang berbeda (diistimewakan) dengan kendaraan bermotor lainnya. Misal:
1. penggunaan jalan tol, jelas hanya untuk kendaraan beroda empat atau lebih. Tapi ada juga pengendara moge lewat tol. (http://m.youtube.com/watch?v=PaqdnVWlF2E)
2. kalau pengendara motor biasa lewat ya lewat2 saja. Tidak perlu pengawalan. Beda sekali dengan moge. Apa karena mereka bayar pajak lebih mahal dibandingkan motor biasa? Atau karena pengendara moge sebagian orang "penting"?
3. Karena sudah dikawal, terkadang kecepatan rombongan moge sepertinya melebihi kecepatan normal untuk di jalan.
4. Moge di sediakan parkir khusus di beberapa mall, meskipun parkir di mall itu urusan pengelola mall.
5. Meski moge identik dengan motor mahal, tapi belum pernah ada pemberitaan pendapatan negara/daerah dari moge. Apa memang sudah masuk dalam kategori pajak kendaraan bermotor roda dua? Atau sebaliknya moge itu tidak memiliki surat. ( http://pertamax7.com/2015/06/29/lima-klub-moge-ajukan-akses-jalan-tol-saat-40-persen-motor-besar-bodong-tanpa-surat/)
6. Pengendara moge cenderung arogan. Lihat bagaimana saat rombongan moge di yogya, saat kejadian diantara mereka ada yang menabrak mobil kepala dinas pariwisata DIY. (http://m.merdeka.com/peristiwa/panitia-akui-ada-biker-moge-senggol-mobil-warga-yogya-lalu-kabur.html)

Masyarakat melihat mobil mewah lewat juga biasa saja, beda saat melihat moge. Mengapa? Karena meskipun itu mobil mewah lewat, tapi jika memang sesuai aturan yang berlaku umum, masyarakat sangat paham, sehingga tidak mempermasalahkan. Bandingkan dengan saat pengendara moge lewat. Sepertinya ada kecenderungan untuk tidak memberi perhatian yang positip.

Bagi masyarakat kebanyakan sangat mungkin berpikirnya sederhana, jika tidak bisa memberi manfaat dan kemudahan bagi pengedara lainnya, minimal jangan mengganggu. Apakah hal ini ada di pengendara moge? Memberi manfaat dan kemudahan bagi pengendara lain? Atau justru sudah masuk kategori mengganggu?

Biarkan pengambil kebijakan pengelola jalan yang melakukan survei. Sehingga bisa membuat kebijakan sesuai kebutuhan masyarakat. Bukan melulu hanya memberikan kemudahan  bagi yang berUang dan berkuasa.

Sabtu, 15 Agustus 2015

Angka Indeks gini dan importir daging sapi


Apakah ada hubungan ketimpangan/kesenjangan (indeks gini yang lebih dari 0.4) yg semakin lebar/besar dengan keberadaan mafia ekonomi yang ada di bangsa ini.

Baru2 ini ramai dibicarakan mahalnya daging sapi, diduga penyebabnya adalah permainan para mafia pedagang daging sapi, lebih tepatnya mafia importir daging sapi. Dan sekarang KPPU juga sedang menyelediki kemungkinan adanya kartel dalam import daging daging sapi tersebut.

Seandainya betul adanya mafia importir daging sapi, yang begitu mudah dan besar bisa mendapatkan keuntungan, dan itu tidak lebih dari 20 perusahaan. Pastilah mereka sudah kaya sekali.... (http://m.republika.co.id/berita/kolom/fokus/13/02/12/mi3rvl-ini-cara-main-mafia-impor-daging-sapi)

Dan, jika, seandainya, barangkali, mafia itu ada, dan mungkin juga ada di importir garam, importir beras, importir minyak, dan importir barang2 lainnya....sangat mungkin importir2 itulah yang sangat kaya dan masyarakat yang jadi korban, artinya masyarakat akan membeli lebih mahal. Padahal importir2 sangat sedikit sekali jumlahnya dibandingkan masyarakat indonesia.

Artinya apa, jika betul adanya mafia2 itu, sangat mungkin ikut memberikan andil semakin memperbesarnya indeks gini di indonesia.

Dengan memberantas mafia tersebut berarti telah ikut mewujudkan tujuan negara keadilan dan kesejahteraan.

Referensi:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/10/111000326/.Pak.Harto.yang.Otoriter.Saja.Gini.Rationya.Tak.Sebesar.Ini.

Dimana uang idle APBN?

Mengapa di bulan 5 dan 6 tahun anggaran 2015, menkeu rajin sekali mengatakan penyerapan APBD rendah, dan jarang sekali menyebut bagaimana penyerapan APBN.

Dan juga menkeu rajin menyebut dana idle pemda dalan semester pertama ini ratusan triulliun dan dana itu di tempatkan di Bank Pembangunan Daerah (BPD), selanjutnya dana yang di BPD tersebut oleh BPD dibelikan SUN. 

Mungkin menkeu pura2 lupa, atau memang tidak mau menyampaikan, ketika  penyerapan dipusat sangat kecil, kemana uang idle pusat?

Semester pertama t.a 2015 penyerapan APBD jauh lebih bagus dibandingkan dengan APBN. Karena penyerapan APBN terhambat oleh restrukturisasi organisasi Kementerian dan Lembaga.

Penyerapan APBN itu pun perlu di cek sebenarnya, apakah penyerapan APBN itu karena kegiatan pembangunan atau sekedar gaji TNI, POLRI, ASN dan pejabat negara lainnya. Atau jangan2 belanja APBN itu tampak besar karena belanja transfer ke daerah dan dana desa yang besar?

Meski menkeu dapat menunjukkan data2 APBD tersebut, tapi sebaiknya diimbangi dengan kajian dan analisis yang jelas mengapa penyerapan APBD rendah.

Apa sih sebenarnya penyebab realisasi APBD rendah? Diantaranya adalah:
A. Terlambat di Perencanaan dan penganggaran.
1. Terlambat penetapan RKPD dan
2. Terlambat penetapan perda APBD.
B. Saat pelaksanaan.
1. Restrukturisasi organisasi yang belum selesai.
2. Restrukturisasi pegawai, hal ini akan terkait dengan penetapan pengelola keuangan dan pejabat lelang.
3. petunjuk pelaksanaan perda APBD: penetapan DPA SKPD dan anggaran kas, pengaturan mekanisme lelang.
4. Rencana perubahan karena perencanaan yang kurang cermat.
5. Adanya keragu2an dalam melaksanakan, sehingga perlu dikonsultasikan kepada pemerintah pusat, BPK bahkan ke APH.
6. Beberapa kegiatan memang sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca, dan dipengaruhi oleh selesainya kegiatan lainnya.
7. Beberapa tahun yang lalu, beberapa kegiatan yang bersumber dari dana transfer terlambat karena menunggu juknis yg juga terlambat.
8. Beberapa daerah yang memiliki DBH tinggi cenderung terjadi perbedaan pagu di anggaran APBD dengan penetapan transfer di perpres/pmk. Hal ini berakibat pada kualitas APBD. Silpa terbesar rata2 dimiliki oleh pemda dengan DBH tinggi. Artinya apa? Penyebab Silpa tinggi diantaranya  karena besaran dana transfer DBH yang tidak bisa ditetapkan menkeu dengan tepat.
9. Adanya keraguan dan kekwatiran bagi pelaksana APBD terhadap implikasi hukum. Hal ini bisa terjadi karena begitu mudah dan gampangnya mereka dipanggil APH.

Masih banyak penyebab lainnya mengepa penyerapan APBD rendah.

Tapi yang pasti, kegemaran menkeu yang lebih sering menyampaikan idle dana APBD, kasda pemda yang ditempatkan di BPD, BPD  membelikan SUN, pernyataan negatif terhadap pekerjaan pengelolaan APBD dan pengelolaan BPD menjadi kurang bijak, bahkan cenderung tendensius, akan tampak lebih elegent bagi menkeu jika menunjukkan juga mengapa penyerapan di APBN juga rendah, dan uang APBN disimpan dimana.

Seperti diketahui, bahwa menkeu sendiri pengelola APBN dan mewakili pemerintah dalam pembinaan  dan pengawasan BUMN perbankan, tapi sangat sedikit menkeu menyampaikan kepada publik kemana penyerapan APBN yang rendah di semester pertama t.a 2015 dan menkeu juga tidak pernah mengungkapkan berapa dana APBD yang didepositokan ke PERBANKAN BUMN, selanjutnya oleh perbankan BUMN tersebut uangnya untuk apa? Membeli SUN atau kredit ke masyarakat kecil?

Selasa, 11 Agustus 2015

Berkumpul di tempat pelayanan umum

Salah satu ciri tempat2 umum, seperti di kawasan bandara, stasiun ataupun terminal di Indonesia ini adalah, selalu banyak orang bergerombol, berkumpul dan pasti selalu rame, tetapi apakah mereka itu pengguna atau yang berkepentingan untuk hadir? Mengapa hal itu terjadi?

Apakah memang selalu ada rizki disana? Apakah kehadiran mereka membantu pengguna pelayanan umum tersebut? Atau sebaliknya?

Biasanya, ketika banyak orang berkumpul tanpa tujuan yang kurang jelas, akan terjadi kecenderungan untuk mendominasi minoritas yang ada disekitar mereka. Apalagi minoritas itu pendatang. Mengapa? Karena ketika mereka berkumpul akan menimbulkan semangat dan keberanian.

Sekitaran sebulan yang lalu, menhub akan mengatur agar tidak semua orang bisa masuk kawasan stasiun ataupun terminal. Kalau sekarang ini, siapapun dapat masuk terminal begitu mudah dan tanpa biaya. Meskipun ada retribusi dikawasan stasiun dan terminal, tapi di tempat2 tertentu tetap masih bebas/free.

Apa implikasinya jika pelayanan publik dipenuhi oleh orang2 yang kurang jelas aktivitas, tujuan dan kesibukannnya? Yang pasti akan tampak rame, biasanya akan meninggalkan sampah, apalagi kalau masih banyak yang merokok sembarangan. Dari sisi psikologis penumpang, keramaian itu akan menimbulkan was-was.

Jadi, memang ada baiknya, perlu diatur pembatasan agar tidak sembarangan orang masuk tempat pelayanan umum. Biar pengguna merasa lebih nyaman dan aman. Bila perlu, mereka yang mengganggu kenyaman pelayanan umum untuk di beri sanksi. Misalnya bagi yang buang sampah sembarang, merokok sembarang. Dan juga sebaliknya, agar pengelola juga memberi apresiasi bagi pengguna yang berperilaku baik dan ikut menjaga tempat2 pelayan umum tersebut.

Senin, 10 Agustus 2015

Kurang dari 15 menit gratis

Kebijakan yang perlu diacungi jempol bagi pengelola bandara soetta diantaranya adalah kebijakan yang menggratiskan parkir mobil apabila masuk area parkir kurang dari 15 menit.

Tentu saja ini menjadi pemicu untuk  tidak lama2 di kawasan parkiran bandara. Sehingga sejak kebijakan ini diterapkan, agak terasa berkurangnya kepadatan kendaraan di area parkir bandara soetta.

Dari sisi pengguna parkir, hal ini menjadi lebih murah, karena saat masuk area parkir untuk drop off atau menjemput penumpang akan mengatur waktu, sehingga mendorong driver untuk mengatur waktu agar tidak lebih 15 menit di area parkiran bandara.

Bandingkan dengan stasiun gambir atau stasiun  senin, hanya drop off saja harus bayar 5 ribu. Kenapa tidak meniru kebijakan dibandara? Mungkin karena kapasitas parkir distasiun tersebut masih cukup longgar. Atau karena hasil parkir masih menjadi pendapatan yang utama bagi pengelola stasiun?

Dari sisi konsumen, tentu saja kebijakan ini memberatkan. Tapi karena kebutuhan akan drop off atau memasuki area parkir dan tidak ada pilihan, akhirnya bayar 5 ribu juga gak apa2. Dan di mall dan hotel sepertinya juga belum ada yang meniru kebijakan parkir gratis sebelum 15 menit, layaknya di bandara soetta.

Menulis-membaca dan bicara-mendengarkan di bandara

Judul itu memang terasa panjang, tetapi tujuannya untuk memudahkan maksud dari isi tulisan ini.

Saat dibandara international ngurah rai, ruang tunggu gate 5, minggu kedua Agustus 2015, sedikit sekali terlihat monitor tv sebagai media pengumuman status penerbangan. Bahkan untuk diruang tunggu sama sekali tidak ada. Kalaupun ada tv justru berisi acr hiburan.

Yang sering terdengar justru adanya beberapa kali pengumuman penerbangan. Tentu saja itu menjadi tidak nyaman. Awalnya terasa aneh, akhirnya menjadi terbiasa, ketika ada pengumuman via speaker, konsentrasi sejenak untuk mendengarkan. Apalagi jika kualitas suara yang dihasilkan speaker kurang bagus, tentu saja akan menghabiskan energi untuk konsentrasi.

Bahkan beberapa kali petugas dari maskapai penerbangan justru berteriak2 tanpa alat, mengumumkan pernerbangan. Menjadi hiburan dan mengusik rasa kasihan terhadap beratnya kerja mereka.

Apakah ketidaktersedianya tv sebagai media pengumuman karena bandara ngurah rai masih baru? Artinya rencana penyediaan sudah ada, tapi belum dilaksanakan karena adanya beberapa hambatan. Misalnya dari sisi pendanaan.

Jika diperhatikan di tempat2 yang sejenis, di beberapa bandara dan stasiun, bahkan terminal bus, untuk di bandara memang relatif lebih lengkap dan maju. Terkait dengan kuantitas, perlu mendapatkan perhatian bersama. Agar tidak ada lagi cerita penumpang ketinggalan pesawat, kereta ataupun bus hanya karena tidak mendengar pengumuman.

Selain kuantitas, yang perlu mendapat perhatian adalah isi atau konten tv tersebut. Di bandara soetta masih sering dijumpai perbedaan informasi di tv yang terletak di pintu gate dengan di dokumen boarding. Hal ini pasti akan menimbulkan keraguan bagi penumpang. Bisa jadi, dari pada berbeda sehingga membingunkan, lebih baik tidak ada saja. Beberapa kali isi tv kurang update.

Sudah agak lama di pintu keluar bandara soetta diterminal 2.f terdapat tv yang berisi status kedatangan pesawat. Hal ini tentu saja akan mempermudah penjemput.

Mengapa perkembangan tv sebagai media informasi dibandara, stasiun dan terminal sangat lambat sekali? Mengapa masih tetap dominasi penyampaian informasi melalui suara speaker?  Betulkah pengguna merasa nyaman dan mudah dengan suara speaker? Atau justru sebaliknya.

Mungkinkah hal ini ada kaitannya budaya baca-menulis yang masih sangat kurang, dibandingkan dengan budaya bicara-mendengarkan di bangsa ini. Hal ini bisa jadi dipengaruhi sejarah panjang bangsa ini yang dari dulu lebih sering mendengar cerita wayang, ketoprak dan ludruk dll. Dan juga budaya ceramah dalam pengajian2.

Ada baiknya teman2 dari jurusan komunikasi melakukan penelitian ini. Agar menjadi dasar arah pengambilan kebijakan pengelola bandara, pengelola stasiun dan terminal.

Delay penerbangan, kebiasaan nyampah dan monopoli tempat duduk

Seiring meningkatnya jumlah penerbangan, tentunya semakin sulit pengaturan jadwal penerbangan, ditambah dengan keinginan maskapai yang mementingkan penambahan jumlah penumpang dan penerbangan, tetapi tidak diimbangi dengan jumlah pesawat yang memadai, sehingga menjadi sangat biasa dan terasa umum naik pesawat dengan maskapai tertentu terjadi delay.

Saat beberapa penerbangan delay dalam waktu yang bersamaan, yang pasti terjadi adalah penumpukan penumpang diruang tunggu, dan karena aturan, jika terlambat dalam jangka waktu tertentu, maka maskapai harus menyediakan snack, bahkan makanan.

Masalah berikutnya adalah, ketika sebagian besar penumpang, makan snack dan makanan nasi kotak yang dibagikan maskapai, pasti ada saja beberapa penumpang yang asal meninggalkan sampah di sekitar tempat duduknya diruang tunggu. Mereka lupa atau tidak berpikir, bahwa setelah mereka pergi, maka tempat itu akan dipakai oleh orang lain. Padahal pengelola bandara sudah menyediakan tempat sampah.

Mengapa mereka berperilaku seperti itu? Apakah hal seperti ini hasil didikan keluarga atau didikan saat di sekolah?  Terkadang memang harus diakui, beberapa bule yang kelihatannya pake baju asal2an aja, ternyata mereka sangat menjaga kebersihan. Bule2 itu tidak buang sampah sembarang.

Ada lagi pemandangan yang sudah jamak di bandara, beberapa penumpang yang bawa tas, meletakkan tasnya di kursi samping mereka duduk, bahkan ada yang tidur2an, disisi lain banyak penumpang tidak kebagian tempat duduk.

Apakah pemandangan ini sudah dapat menggambarkan budaya bangsa ini? Mementingkan diri sendiri di tempat umum,  tidak memikirkan orang lain yang juga memiliki hak yang sama. Semoga saja tidak.

Minggu, 09 Agustus 2015

Toilet, gaya hidup dan kesesuaian kebutuhan

Tidak bisa dipungkiri jika kebutuhan peningkatan kualitas pelayanan publik untuk bandara internasional soetta semakin meningkat. Hal ini tentu saja harus diimbangi dengan pembangunan, terutama infrastruktur. Masih belum terlalu lama ini, bandara soetta sudah membangun terminal 3.

Seperti layaknya bangunan baru, fasilitas dan sarana prasarana juga baru. Tidak terkecuali toilet, khususnya tempat kencing laki2 yang didesain harus kencing sambil berdiri, dan seperti biasanya, dilengkapi dengan aliran air untuk pembersih.

Masalahnya adalah, ketika untuk mengeluarkan air pembersih itu  itu harus menggunakan teknologi canggih, menggunakan sensor, dan tentu saja sensor itu akan bekerja saat ada yang mendekat. Saat ada yang mendekat, maka keluarlah air pembersih itu.

Justru disitu sebenarnya masalah yang sebenarnya, saat pengguna datang, air pembersih keluar, tapi saat selesai justru tidak keluar itu air pembersih. Jadi bagaimana mau bersuci?

Apa pengelola bandara tidak memikirkan hal ini, tidak memikirkan kebutuhan pengguna yang sebagian besar adalah muslim yang membutuhkan air untuk bersuci.

Apakah penyediaan sarana untuk layanan publik di indonesia ini sebagian besar juga begini?

Artinya, apakah yang penting ada, tersedia, masalah sesuai kebutuhan pengguna itu urusan lain?. Yang penting secara administrasi keuangan sudah dapat dipertanggungjawabkan, dan secara teknologi tergolong canggih dan sesuai gaya hidup. Apalagi banyak bule2 yang menggunakan toilet tersebut, kan bisa dinilai oleh mereka bahwa pembangunan terminal 3 soetta canggih, khususnya penyediaan toiletnya.

Mengapa mereka mendesain aliran  toilet harus dengan sensor seperti itu? Apakah sengaja diperuntukkan bagi orang2 yang tidak perlu bersuci? Jadi berprasangka, apa sengaja agar kaum muslin terkena najis saat ke toilet karena kesukitan bersuci, sehingga tidak sah sholatnya. Semoga saja tidak demikian.

Mobil, kemiskinan dan kelas sosial

Judul itu bukanlah untuk menyalahkan kaum miskin. Tapi di negara tercinta Indonesia ini, orang miskin itu memang sulit, dan benar2 sulit, lebih tepatnya dipersulit.

Untuk yang kaitannya dengan administrasi pemerintahan atau pelayanan publik, masih banyak yang belum memuaskan. Bagaimana dengan pelayanan yang diberikan oleh swasta? Apakah sudah memuaskan?

Permasalahan mendasar bukan hanya memuaskan atau tidak, tapi pemisahan layanan untuk "orang miskin" sejak awal sudah sangat terasa.

Marilah kita perhatikan layanan untuk:
1. Parkiran kendaraan bermotor di hotel dan mall. Biasanya motor disediakan tempat parkir yang jauh. Kecuali motor besar.
2. Di beberapa stasiun (gambir), motor ojek dan bajay tidak boleh masuk kawasan parkir. Jadi, kalau orang miskin yang mampunya naik ojek, harus jalan kaki lumayan jauh untuk sampai pintu masuk stasiun (peron). Padahal ojek itu sekarang lebih kepada menghemat waktu.
3. Penggunaan jalan tol didesain tidak  untuk sepeda motor, dan tidak pernah diusahakan untuk disediakan. Kecuali keadaan darurat saat banjir.
4. Pejalan kaki di kantor OJK depan Kemenkeu lapangan banteng pun tidak boleh lewat pintu depan, harus melewati pintu samping.
5. Dengan alasan keamanan, taxi tidak boleh masuk area perkantoran.
6. Motor juga tidak boleh lewat jalan protokol tertentu di Jakarta.
7. Drop off penumpang motor juga tidak boleh di bandara soetta, stasiun, mall, hotel, rumah sakit dll.

Artinya apa? Menjadi orang miskin itu memang tidak enak. Seringkali dianggap tidak penting, sehingga tidak diberi hal2 khusus untuk pelayanan. Baik itu oleh pemerintah maupun swasta.

Sedangkan bawa mobil, dengan sendirinya diberi kelas sosial yang lebih baik. Meskipun mobilnya bisa jadi masih kredit, atau berasal dari pinjam atau rental.

Senin, 13 Juli 2015

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik pemda dan Bank Pasti Rentenir

Pemerintah daerah saat mendirikan BPR, pasti memiliki tujuan tertentu. Menurut UU 5/62 tentang perusahaan daerah, dan pasal 331 ayat 4 UU 23/14,  tujuan mendirikan BUMD hampir sama, yakni meningkatkan perekonomian daerah, memberikan manfaat umum dan mendapatkan laba dan/atau deviden.

Semestinya, saat pemda mendirikan BPR, tujuannya harus dinyatakan dengan jelas dan tegas. Misalnya untuk meningkatkan perekonomian (saja), diantaranya dengan memberikan fasilitas kredit yang mudah dan murah bagi masyarakat. Atau dari ketiga tujuan itu  cukup 2 yang harus menjadi prioritas.

Patut dicermati, ternyata tujuan pendirian BPR milik pemda di perda pendiriannya, hampir semuanya, masih menyebutkan ketiga hal tersebut dan tanpa penjelasan prioritasnya yang mana dari ketiganya. Dan dalam periode bussines plan nya juga begitu, serba umum dan kurang fokus.

Hal ini menjadi penting, karena kaitannya dalam menentukan arah kebijakan, strategi dan penilaian kinerja BPR milik pemda. Sebab selama ini banyak pengelola BPR milik pemda menjadi bingung, mana yang harus menjadi tujuan utama dan prioritas. Dan juga, pengelola dibingungkan dengan penilaian kinerja mereka. Seringkali masyarakat mengharapkan kemudahan dan bantuan BPR milik pemda, disisi lain DPRD biasanya meminta deviden yang besar.

Saat ini, hal tersebut sangat relevan untuk didiskusikan kembali, karena hal ini penting.  Mengapa? Untuk mengingatkan kembali spirit pendirian BPR milik pemda.

Karena dahulu, masih banyak masyarakat apabila mengalami masalah keuangan, pertama dan utama yang dihubungi adalah rentenir. Jadi, supaya masyarakat tidak terjebak dalam lingkaran benang kusut permodalan, pemda mendirikan BPR. Sehingga dikenal BPR milik pemda. Artinya apa? Tujuan pendirian BPR milik pemda awalnya bukanlah mencari keuntungan. Tapi membantu meningkatkan perekonomian masyarakat.

Permasalahannya sekarang ini, ketika pengambil kebijakan BPR milik pemda yang disana terdapat KDH dan DPRD, seringkali melupakan spirit awal pendirian BPR tersebut. Mereka lebih mudah memahami yang tertulis di UU dan perda pendirian BPR. Artinya, ketika di UU dan perda pendirian BPR milik pemda di tulis 3 tujuan tersebut dan tanpa menegaskan prioritas mana, menjadikan ambigu bagi pengambil kebijakan dan pengelola BPR milik pemda. Apakah mementingkan perekonomian atau meningkatkan laba dan/atau deviden.

Apalagi apabila  LSM tahunya BPR itu harus untung, pembina di pusat juga begitu, DPRD juga begitu, dan KDH juga tidak memahami spirit awal pendirian BPR tersebut, maka tidak heran jika BPR akhirnya dijadikan target untuk meningkatkan PAD saja. Yang akhirnya pengelola BPR juga tidak akan berani berbeda pendapat. Karena yang utama adalah mengejar LABA, akhirnya tujuan dari sisi meniningkatkan perekonomian masyarakat menjadi terlupakan.

Kalau sudah begitu, BPR milik pemda juga akan memberikan bunga yang tinggi, minimal sama dengan BPR lainnya. Bisa2 bunganya tidak jauh beda dengan pinjaman di masyarakat yang tanpa jaminan, yang sekarang lagi marak di masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya, siapa yang akan membantu masyarakat dari kemudahan memberikan pinjaman dan membela masyarakat terbebas dari rentenir?

Akhirnya BPR milik pemda berlaku sama, hanya beda seragam dengan rentenir. Meskipun hal ini tidak berlaku bagi semua BPR milik pemda, tetapi jika dilihat dari target laba dan deviden yang harus disetor ke pemda dikebanyakan pemda, hal ini bisa menjadi pertanda.

Jika cara berpikir ini tidak segera diubah, maka BPR bisa diplesetkan menjadi Bank Pasti Rentenir. Jika pemda, melalui BPR nya tidak bisa membantu, terus siapa yang membantu masyarakat?

Apakah pemda melalui incumbent akan membantu masyarakat saat menjelang pilkada saja? Seperti kebanyakan yang terjadi sekarang ini.

Apakah mungkin, masyarakat berharap bantuan dari perbankan nasional? Apalagi berharap dari bank nasional yang sahamnya sebagian besar sudah dimiliki asing? 

Minggu, 12 Juli 2015

Memanfaatkan ketidakngertian hukum masyarakat

Tujuan negara yaitu untuk mencipatakan kesejahteraan dan keadilan. Dan itu idealnya peran negara hadir baik secara struktur maupun menciptakan kultur dalam masyarakat. Secara struktur hadir melalui pendidikan,  pengaturan, pembinaan dan pengawasan kepada masyarakat. Termasuk dalam bidang jasa keuangan.

Dan negara harus hadir dalam membentuk dan membangun kultur dinmasyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kultur masyarakat sudah terbukti dan efektif dalam pembangunan. Bisa dilihat dari keberadaan Muhamddiyah dan NU. Bahkan menjadikan Negara Indonesia merdeka, itu lebih dominan karena kultur daripada struktur.

Sampai saat inipun, pemahaman dan tingkat pendidikan masyarakat terkait lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) masih sangat2 rendah. Jadi, tugas pemerintah memberikan pendidikan hukum bagi masyarakat ketika berinteraksi dengan lembaga keuangan, khususnya perbankan, masih sangat diperlukan.

Perusahaan2 besar lembaga keungan, seperti perbankan dan asuransi, mereka pasti memiliki divisi legal, dan itu sudah menjadi kewajiban perusahaan dalam melaksanakan GCG. Artinya, perbankan, finance dan lembaga pembiayaan, asuransi, atau apapun namanya, dapat membayar ahli hukum untuk membuat perjanjian dengan client atau nasabah.

Persoalan seringkali muncul ketika terjadi ketidakseimbangan  antara perusahaan besar tersebut dengam client/nasabah/masyarakat yang belum/tidak paham hukum, ditambah lagi dengan penjelasan marketing perusahaan yang berbeda dengan isi perjanjian yang ditandatangani nasabah.

Nasabah biasanya lebih memberi perhatian pada janji manis sales kredit perbankan/  sales asuransi drpd isi perjanjian. Karena biasanya perjanjiannya tebal,sepertinya sengaja dibuat tebal, banyak, dan mutar2. Apalagi perjanjian asuransi. Kapan bacanya?. Jangan2 salesnya juga gak pernah baca perjanjian yang biasanya ditandatangani nasabah.

Ketika terjadi sengketa hukum, masyarakat yang jarang mampu membayar lawyer akan kesulitan menghadapi perusahaan yang sudah memiliki divisi legal. Dan perusahaan besar itu akan menggunakan lawyer mereka untuk menuntut atas dasar apa yang sdh di tandatangani nasabah. Padahal nasabah sangat mungkin tidak paham/membaca detail isi perjanjian itu.

Perlu dilakukan penelitian oleh pemerintah, khususnya OJK, apakah nasabah paham/membaca detail isi perjanjian dalam transaksi keuangan?

Sehingga saat terjadi sengketa, masyarakat tidak asal protes ke pemerintah dan OJK. Saat ini, masih banyak yang bingung, dimana peran pemerintah dan OJK?.

Jika masyarakat dirugikan oleh perjanjian, karena kebodohan (seolah sengaja dibuat agar menjadi bodoh), maka apa beda dengan kredit cicil rentenir jaman penjajahan dahulu?  Cuma beda konteks.  Satu konteks era jaman penjajahan, satu konteks era kapitalis liberal. Adanya aturan dan tidakadanya tidak begitu berpengaruh bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang belum paham aturan keuangan.

Dalam konteks mareketing via tlp yang sekarang sering di gunakan oleh perusahaan asuransi, yang biasanya berafiliasi dengan perbankan yang mengeluarkan kartu kredit, betapa masyarakat dalam posisi lemah. Ketika masyarakat yang sudah terlanjur menjadi nasabah, mereka akan kalah karena tidak memiliki rekaman  tlp sebagai bukti. Sedangkan perusahaan tersebut memiliki karena mereka sudah siap dari awal jika terjadi perselesihan.

Kalaupuan memiliki bukti rekaman, karena banyak hp android yang sudah otomatis dipasang rekaman, tapi belum tentu mereka bisa menang dipengadilan karena tidak memiliki lawyer dan akan mau kehilangan waktu untuk ngurus sengketa itu. Karena kehilangan waktu sama dengan terjadi adanya opprtunity cost.

Sedangkan, perusahaan2 besar itu sudah pasti memiliki lawyer tetap, jadi jika terjadi masalah hukum mereka sudah tidak perlu membayar lagi dan perusahaan tetap berjalan seperti biasa.

Belum penggunaan debt collector oleh perusahaan perbankan/ pemberi kredit yang pasti membuat tidak nyaman, dan juga mengganggu keselamatan.

Dan kasus seperti ini cenderung meningkat. Maka, disinilah peran pentingnya BPD dan BPR milik pemda. Harus kembali ke tujuan semula, diantaranya untuk membantu masyarakat dibidang keuangan dan memberi pendidikan dan pemahaman terkait lembaga keuangan, khususnya perbankan. Sehingga dapat mengurangi sengketa antara masyarakat dengan lembaga keuangan sekaligus menghilangkan rentenir. Meskipun hal ini merupakan tugas pokok dari OJK.

Hal ini sebenarnya menjadi sangat strategis bagi BPD dan BPR milik pemda ditengah menurunnya rasa memiliki masyarakat terhadap kedua lembaga tersebut.

JIka terjadi sengketa perusahaan lembaga keuangan dan masyarakat, dimana peran negara dalam memberi keadilan warganya? Apakah masyarakat akan kalah oleh perusahaan2 kapitalisme? Dan ternyata perusahaan kapitalis itu bisa jadi dimiliki oleh pemerintah sendiri. Bahkan sudah banyak yang dimiliki oleh asing.

Kalau jaman orde baru, rakyat lemah berhadapan dengan pemerintah (penguasa dan aparaturnya), tapi era sekarang rakyat lemah berhadapan dengan perusahaan2 kapitalis, yang biasa menggunakan debt collector, lawyer, atau kekuatan lainnya.

Dan masyarakat akan sulit menghindarinya.  Kenapa? Karena dalam keseharian tidak mungkin lepas dari perusahaan kapitalis. Dari mulai lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan), kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Kalau sudah begini masyarakat mau ngadu kemana? Apakah mau mengadu ke rumput yang bergoyang?

Sabtu, 11 Juli 2015

Gaji ke 14

Menteri menpan RB br membuat pernyataan, PNS akan diberikan gaji ke 14. Luar biasa mantab. Permasalahannya sbnrnya, siapa yg pantas mengeluarkan pernyataan tersebut? Menkeu atau menpan br?

Dulu menpan br pernah membuat larangan, K/L dilarang rapat dihotel akhir TA 2014. Permasalahannya adalah, apakah larangan tersebut kewenangan menpan br? Apa bukan kewenangan menkeu jika di APBN? Bukankah kegiatan di hotel itu menyangkut anggaran?

Belum lama ini mempan br membolehkan PNS utk membawa plg kenadaraan dinas. Permasalahannya adalah, apakah menpan br juga berwenang melarang/mengijinkan PNS utk menggunakan mobil dinas dalam berlebaran?

Bukankah, pengaturan aset/BMD ada di PP 27/4. Dan dlm PP tersebut jelas, jika kewenangan utk BMN ada di menkeu, sedangkan utk BMD ada di kemdagri dan kdh.

Tapi kenapa menpan br tidak pernah menjelaskan keterlambatan SOTK, sehingga mengganggu pelaksanaan belanja K/L?

Mengurusi yg bukan urusannya, sedangkan urusannya terabaikan....kasihan negara ini.

Rabu, 27 Mei 2015

K/L Yang menikmati reformasi

Menurut Daron acemoglu dan jamew a. Robinson dalam bukumnya Mengapa negara gagal , bahwa suatu negara gagal karena masalah ekonomi dan politik.

Dalam konteks pemerintahan era pak harto hal itu sangat tepat. Bahwa reformasi terjadi saat krisis ekonomi, dimana saat terjadi inflasi, banyak pengangguran karena PHK, banyak bank2 bangkrut.

Dari sisi politik, masyarakat sudah bosan dengan politisi golkar yang tidak sama dengan ucapannya. Bahwa pemilu harus LUBER, langsung umum bebas dan rahasia. Padahal dalam prakteknya banyak pemaksaan untuk memilih golkar.

Setelah reformasi, banyak perubahan di kementerian dan lembaga di pemerintahan pusat. Dan perubahan itu seolah saling mendahului antar kementerian/lembaga.

Kementerian keuangan mengeluarkan UU 17/03 dan UU 1/04, serta UU 33/04, dgn ketiga UU tersebut menteri keuangan menjadi sangat powerfull.

Puncak dari kekuasaan kemenkeu adalah dengan menentukan remunerasi untuk kemenkeu sendiri. Tahun 2007 waktu ibu SMI menjadi menkeu, remunerasi menkeu terbesar diantara kementerian lainnya. Yang saat itu belum ada kementerian lainnya yang menerapkan remunerasi.  Apakah teori power tend to corroupt itu juga betul dalam hal ini? Andalah yang menilai hal ini.

Dengan alasan SOP nya sudah ada. Pertanyaan dari ini adalah, pertama apakah hanya menkeu yang sudah memiliki SOP? Bukankah TNI dan POLRI juga sudah memiliki SOP  dari jaman sukarno, termasuk cara melipat pakaian saja mereka memiliki SOP.

Kedua, apakah SOP kemenkeu dibuat sendiri atau pakai konsultan? Kalau pakai konsultan, kenapa kementerian lainnya juga tidak sekalian didanai untu bayar konsultan dalam menyusun SOP? Bukti kekuasaan penganggaran yang sangat powerfull di kemenkeu.

Menurut kabar remunerasi kemenkeu yang tertinggi akhirnya di 2015 di kalahkan oleh kementerian Setneg, MA, dan 3 kementerian lainnya. (ini masih perkiraan karena sulitnya mencari informasi perpres terkait remunerasi).

Pertanyaannya kenapa kok tiba2 ada kementerian/lembaga lainnya yang bisa meningkat drastis remunerasinya? Adakah ini ada keterkaitan dengan kedekatan menteri dengan presiden saat itu?

Hanya tuhan yang bisa jawab.

Jika betul dasarnya kenaikan remunerasi hanya kedekatan dengan pemegang kekuasaan di negeri ini, sederhana sekali cara menghitung remunerasi. Bisa jadi perlu perubahan nomenklatur dan definisi dari remunerasi.

Selasa, 26 Mei 2015

Batu Akik, kesadaran sbg manusia dan musrik

Batu akik, kadang disebut batu mulia, bahkan sekarang lebih sering disebut batu, dan saat ini batu sedang menjadi tren. Dari ujung sabang sampai merauke banyak orang lagi seneng batu. Baik laki2 atau perempuan,  baik pejabat atau orang biasa. Suatu hal yang luar biasa, karena tiba2 banyak orang tergila2 dgn batu.

Kejadian ini tampak lebih heboh daripada musim ikan koi, ikan lohan atau ikan lainnya. Dan batu tetap lebih banyak digemari daripada bunga gelombang cinta, mengapa?

Bisa jadi,  batu ini keindahannya bisa dirasakan oleh laki2 dan perempuan, dan bisa dibawa kemana aja, bisa dipake untuk cincin, liontin ato yang lainnya. Selain itu batu tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit, bandingkang dengam ikan yang harus diberi makan, ganti air bahkan bisa mati. Begitu pula dengan bunga, rumit pemeliharaannya dan tidak bisa dibawa kemana2.

Yang membanggakan dari batu adalah bisa dibentuk/gosok sendiri, kapan saja, dimana saja. Lihatlah banyak warung2 yang menyediakan gosok batu, bahkan banyak orang menggosok batu sambil tetap melakukan aktivitas utama. Bahkan, bbrp orang lebih banyak gosok batu dibandingkan kerja yang utamanya.

Dan yang lebih menarik dari semua itu adalah setiap gosok batu hasilnya pasti beda. Jadi ada keuinikan dari setiap batu yang dihasilkan. Hal inilah yang membuat orang2 akan selalu bersemangat menggosok batu.

Apalagi bila batu dikait2kan dengan yang ghaib. Tidak ada habis2nya, karena yang membicarakan juga gak tahu hal ghaib itu sendiri. Dan pembicaraan karena kejadian ghaib batu itu sendiri sekarang sudah tidak malu2 lagi, sudah biasa sekali. Sehingga kalau dahulu takut karena dibilang musrik, kalau sekarang sudah tidak lagi.

Hal ini sangat berbeda sekali dengan era 3 tahunan lalu. Pakai batu besar itu masih malu...karena sering dianggap klinik, dukunlah...kalau sekarang, pakai batu itu biasa, bahkan banyak batunya yang besar2, bahkan dengan 2 tangannya terkadang terdapat 3 batu.

Yang tidak habis pikir adalah, kalau ada orang tidak memakai batu akan dibilang itu tangan manusia atau tangan kera. Sampai sebegitukah sudah banyak orang merasa malu jika tidak memakai batu, bahkan  tidak merasa percaya diri sebagai manusia kalau tidak memakai batu. Apakah ini bisa diartikan terjadi krisis kesadaran manusia atas kemanusiaannya?

Sabtu, 23 Mei 2015

Dimana kopi kesukaanku

Sepertinya tidak ada yang salah dengan investor yang masuk Indonesia. Tp bila dicermati,  mengapa saat mereka datang, mereka kurang menempatkan kebudayaan dan kebiasaan anak bangsa ini.

Misalnya di hotel yang seringkali tidak menyediakan kopi tubruk/bubuk yang biasa (seperti kopi kapal api, atau top kopi, atau kopi lampung dll).

Mengapa mereka lebih sering menyediakan kopi seperti "nescafe" yang rasanya belum tentu sama dengan selera anak bangsa ini. Apakah pengelola hotel pernah melakukan survei, kopi apakah yang diinginkan oleh pengunjung? 

Kenapa pihak hotel kurang bangga dengan produk tradisional. Atau ada aturan lainnya yang mengharuskan  kopinya agar tidak menggunakan kopi tubruk/bubuk biasa?

Padahal belum tentu pemilik hotel tersebut juga orang asing. Bahkan standar hotelnya pun terkadang masih biasa2 saja.

Yang pasti, seringkali orang kampung seperti saya ini, merasa kehilangan rasa saat harus menikmati kopi hotel.

Menyamakan pusat dan daerah

Ketika membaca UU 17/2003 ttg keuangan negara, UU 1/2004 ttg perbendaharaan negara, maka dpt dengan mudah ditangkap dasar berpikirnya para pembuat UU tersebut terkait kedudukan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah di bidang keuangan, khususnya keuangan negara dan keuangan daerah.

Dasar pemikiran yang digunakan adalah keuangan negara = keuangan daerah, hal ini bisa dilihat dari usaha untuk menyamakan BUN dan BUD, SKPKD selaku PPKD disamakan dengan menkeu. Apakah hal tersebut betul? Berikut alasan, bahwa keuangan negara tidak sama dengan keuangan daerah, meskipun sepertinya "hampir sama".

Pertama, di pemerintah pusat ada keudalatan negara, di pemda tidak ada kedaulatan daerah. Pada UU 17/2003 kekuasaan presiden, "dikusasakan" kepada menkeu, dan "diserahkan" kepada kepala daerah/kdh. Apakah kalau sdh diserahkan hal ini mengandung arti kekuasaan kdh=presiden dalam pelaksanaan dan pertanggungjawaban/pj sama? Meskipun sdh diserahkan, pasti tidak sama, hal ini bisa dilihat bahwa presiden selaku kepala pemerintahan sekaligus "kepala negara" dan negara memiliki kedaulutan, sedangkan didaerah tidak ada kedaulatan.

Hal ini juga bisa dilihat dari setiap kdh akan membuat kebijakan sedikit skl ruang yang diberikan utk berbeda dengan peraturan diatasnya. Bandingkan dgn presiden yang bisa membuat PP, perpres dan detailnya oleh para pembantu presiden yaitu menteri. Menteri dpt membuat peraturan menteri/permen, keputusan menteri. Bahkan permen itu harus diikuti oleh kdh. Terus dimana arti diserahkan pada UU 17/03 tersebut? Atau arti diserahkan harus di perjelas dan diubah?

Kedua, pendelegasian kewenangan/kekuasaan dari presiden selaku kepala pemerintah kepada bawahannya dan dari kdh selaku kepala daerah kepada bawahannya juga tidak sama jika dilihat dari sisi kewenangan untuk membuat kebijakan/regulasi.

Presiden mengkuasakan kepada menkeu selaku Bendahara Umum Negara (BUN), dan kepada pimpinan kementeria/lembaga sebagai pengguna anggaran/pa.  Yg perlu diingat dari keduanya menurut UU 12/11 tentang penyusunan produk hukum adalah menkeu dan pimpinan k/l dapat membuat produk hukum. Pasal 7 uu 12/11 jelas mengatakan tersebut. Maka menkeu dan menteri/lembaga lainnya bisa mengeluarkan peraturan menteri atau keputusan menteri.

Bandingkan dengan pelimpahan kewenangan/ kekuasaan dari kdh kepada bawahannya, apakah kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah/skpkd selaku pejabat pengelola keuangan daerah/ppkd  dan kepala skpd sebagai pa/pb  bisa membuatkan kebijakan? Atau bisa mengeluarkan produk hukum? Di UU 12/11 jelas tidak ada produk hukum yang dikeluarkan skpkd ataupun skpd. Sekda saja tidak bisa membuat produk hukum.

Kekurangan pahaman ini juga berimplikasi ketika menyusun pp 6/06 yg selanjutnya direvisi menjadi pp 38/08 dan akhirnya diganti mnjd pp 27/14 pada definisi pengelola. Dsar konsideran pp bmn/d ini hny merujuk pd UU 1/04, tidak ada UU lain. Pasal 1 angka 3 pp 27/14 menyamakan definisi pengelola/menkeu pada barang milik negara/bmn di pemerintah pusat dan pengelola/sekda pada barang milik daerah/bmd di pemerintah daerah. Dalam definisi tersebut pengelola berwenang dan bertanggungjawab membuat kebijakan.

Penyamaan ini sebenarnya juga tidak sesuai, alasannya pertama bertentangan dengan pasal lainnya dlm pp 27 tersebut dan kedua jika dikaitkan dengan UU 12/11. 

Pertama, Pasal 4 dan 7 ketika menjelaskan tugas menkeu sebagai pengelola diantaranya membuat kebijakan itu sudah tepat,  dan tugas sekda selaku pengelola tidak membuat kebijakan itu juga tepat. Hal ini bisa dilihat dari sisi UU 12/11.

Kedua, penyamaan menkeu selaku pengelola bmn yang notabene mnrt UU 12/11 menkeu memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan, dan sekda  mnrt UU 12/11 TIDAK memiliki kewenangan untuk menyusun kebijakan/peraturan/keputusan. Utk lebih jelasnya silahkan lihat di permendagri 1/2014 tentang penyusunan produk hukun daerah. Itu jelas sekali bahwa produk hukum daerah itu perda, perkdh, peraturan bersama kdh, perDPRD, kepkdh, kep pimpinan dprd, kep Badan Kehormatan dprd.

Dan definisi pengelola di pp 27/14 ini berimplikasi pada diberikannya  kewenangan kepada sekda pada batas tertentu memberikan "persetujuan" pada saat pemanfaatan bmd dan pemindahtangan bmd. Apakah mungkin sekda dapat membuat "persetujuan"? Apakah persetujuan itu suatu bentuk hukum? Silahkan cermati, dan bagi teman2 pemda silahkan coba laksanakan persetujuan sekda tersebut, dan bagaimana pelaksaan dalam tata naskah dinas daerah? Apakah hal tersebut juga diatur? Sangat mungkin persetujuan sekda tersebut betul adanya, tapi untuk itu perlu perumusan dari berbagai sisi, khususnya UU 12/11 dan tata naskah yang berlaku di pemerintah daerah.

Mengapa ini penting? Sebab "persetujuan" pemanfaatan dan pemindahtanganan bmd ini terkait langsung dengan batas kewenangan sekda, dan juga berimplikasi pada bertambah dan berkurangnya kekayaan daerah.

Selasa, 05 Mei 2015

Pertanggungjawaban at cost/riil setengah hati

Sejak tahun 2007, sekitar Agustus, pemerintah pusat sudah menerapkan perjalanan dinas (perjadin) at cost atau riil. Khusus bagi perjadin yang menggunakan APBN. Bukan perjadin yang menggunakan APBD.

Dalam perjadin tersebut diatur semua kebutuhan perjadin akan ditanggung secara at cost/riil, kecuali untuk kebutuhan sehari2 dengan pertanggungjawaban lumpsum. Jadi untuk at cost/riil akan dibiayai sebesar yang dikeluarkan dengan tidak melampaui batas tertinggi pagu anggaran.

Ketika Menteri Keuangan sudah mengatur perjalanan dinas luar negeri dan perjalanan dinas dalam negeri, isunya adalah apakah untuk kebutuhan "biaya transportasi" dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah selesai? Bagaimana dengan kebutuhan untuk biaya transportasi rapat dalam kota? Apakah betul yang mengundang juga selalu sudah menganggarkan? Atau sebaliknya, apakah betul yang diundang juga sudah menganggarkan?

Mengapa ini penting? Jangan sampai seseorang sebagai undangan, tidak menerima biaya transportasi dari yang mengundang dan tidak mendapat juga dari instansinya. Kalau tidak mendapat dari keduanya terus biaya transportasi tersebut di ambilkan dari pos mana? Artinya, jangan sampai undangan tersebut akhirnya akan mencari dari pos2 anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.

Sebab jika hal ini terjadi, sama saja dengan menyuruh pegawai tersebut untuk tidak tertib penggunaan anggaran, dan bisa jadi berujung pada kecenderungan terjadinya korupsi.

Apakah kebutuhan yang tidak dianggarkan hanya biaya transportasi rapat saja? Tidak, masih banyak. Misal, biaya untuk menghadiri seminar, biaya untuk mengantarkan berkas atau dokumen yang sifatnya paraf koordinasi, biaya  lembur saat mendampingi pimpinan, kebutuhan pulsa untuk koordinasi, biaya internet ketika diluar kantor.

Tetapi sampai sekarang kebutuhan2 tersebut sepertinya sebagian seringkali diambilkan dari pos lainnya.

Hal ini masih dianggap aman ketika auditor dalam memeriksa tidak begitu ketat. Tetapi ketika semua pos diaudit ketat, khususnya pos-pos yang sering digunakan untuk menutupi kebutuhan2 yang tidak dianggarkan tersebut, maka akan diambilkan dari pos mana lagi?

Terkait dengan judul, misalnya ketika penganggaran APBN begitu detail sampai rincian, dan masih adanya beberapa kebutuhan belum dianggarkan bahkan tidak boleh dianggarkan, dan sulitnya melakukan pergeseran anggaran, maka isunya adalah:

1. Apakah dalam penyusunan anggaran harus dibuat begitu detail sampai rincian? Apakah hal ini justru tidak menghabiskan energi saat menyusun, pelaksanaan dan penyusunan pertanggungjawaban.

2. Auditor sebaiknya memahami bahwa pertanggungjawaban keuangan tidak selalu sebatas akuntansi pengeluaran uang, tetapi juga adanya pengeluaran  uang yang tidak ada dianggaran atau adanya kebutuhan  lainnya yang tidak ada anggarannya dan/atau tidak bisa dianggarkan. Artinya, auditor juga harus memaklumi ketika penggunaan anggaran tidak sesuai peruntukkan, tetapi masih digunakan untuk kebutuhan  penyelenggaraan pemerintahan dan dalam batas kewajaran dengan tetap menjaga akuntabikitas.

3. Perlu ada peningkatan pemahaman penggunaan anggaran dan perbaikan mental dalam pengelolaan keuangan. Artinya kalau pengeluaran memang kebutuhan organisasi dan tidak untuk kepentingan pribadi, seharusnya bukanlah menjadi kesalahan besar. Jadi harus ada diskresi dalam penggunaan anggaran. Jika dalam prakteknnya, sekarang ini presiden, menteri dan pejabat negara lainnya yang memiliki dana taktis/operasional, mengapa tidak diperluas sampai setingkat eselon 1 bahkan sampai eselon 2. Yang penting adalah peruntukan dan pertanggungjawabannya tetap akuntabel. Hal ini secara tidak langsung juga akan membangun kepercayaan individu yang ada di institusi pemerintah. Jangan sampai hanya karena sedikit individu yang tidak benar, akhirnya semua disamakan juga.

Minggu, 05 April 2015

Pekerja di Jakarta Hebat

Pekerja di jakarta ini hebat, apalagi yang tinggal di sekitar jakarta. Bagaimana tidak, setiap hari jam 5.30 kendaraan di tol tangerang jakarta sudah mulai padat. Bahkan dengan kepadatan yang sama hal tersebut terjadi di senin pagi jam 5.15. Artinya setiap senin, aktivitas warga tangerang ke jakarta lebih awal dari hari2 lainnya.

Bagaimana dengan yang berangkat jam 6-8 pagi? Masih tetap ada, bahkan kendaraan di tol semakin padat dan cenderung macet. Bisa jadi alasan berangkat jam 5.15 karena menghindari macet jika berangkat jam 6-8, atau memang terpaksa karena jam kantornya harus masuk pagi.

Bagaimana dengan jam pulangnya? Sama saja padatnya lalu lintas dijalanan. Dan waktu tempuh bisa lebih tidak terduga. Apalagi kalau sore hujan.

Artinya, orang yang kerja di jakarta dan tinggal di sekitar jakarta, akan menghabiskan waktu 2-5 jam perhari dikendaraan. Kalikan saja dengan jumlah hari kerja dalam sebulan. Berapa waktu yang hilang.

Jika dikaitkan dengan waktu istirahat, berapa waktu rata2 orang tersebut beristirahat. Bukankah mereka tetap harus melakukan aktivitas di rumah. Maka tidak heran jika banyak pekerja di jakarta yang berangkat dan pulang kebanyakan tidur di kendaraan saat perjalanan.

Belum pekerja yang tinggal di daerah cikupa dan balaraja. Yang pasti sesuatu banget sehingga mereka mampu bertahan tinggal dipinggiran jakarta. Disisi lain, saudara2 di kampung mengira kehidupan di jakarta begitu menyenangkan. Apalagi saat musim liburan tiba.....

Penjual koran, smartphone dan paket internet

Sangat mungkin, penjual koran, khususnya penjual koran yang ada diperempatan jalan, belum berpikir bahwa lesunya dagangan koran mereka karena semakin banyaknya smartphone yang semakin murah dan paket internet yang juga murah.

Disaat pagi hari, di perempatan tomang menuju jakarta masih ada bbrp penjual koran. Tapi sudah tidak sebanyak 5 tahun lalu, dan juga koran yang dijajakannya juga semakin sedikit.

Seiring meningkatnya kepemilikan masyarakat akan smartphone dan biaya internet yang murah, pasti sudah banyak yang beralih ke media informasi .net/digital, apalagi banyak yang gratis. Misalnya, kompas.com, detik.com, merdeka.com, bahkan majalah detik digital juga bisa di download dengan gratis.

Apakah dengan adanya trend paperless, buku2 yang dari kertas akan hilang? Ternyata tidak. Bagi sebagian masyarakat tertentu memang masih merasa nyaman membaca buku dengan bentuk buku kertas daripada ebook/ buju digital, hal yang sama juga terjadi pada koran kertas.

Sekarang ini, operator telekomunikasi dengan berbagai cara dan model promosi paket internet,  telah membuat masyarakat tergantung dengan internet. Sehingga dengan sendirinya, masyarakat akan dengan mudah mengakses informasi dari media .net/digital.

Dan akhirnya, tanpa disadari, telah terjadi pergeseran belanja sebagian masyarakat dari koran kertas ke koran digital. Meskipun koran digital bisa jadi bukanlah tujuan utama saat terkoneksi dengan dunia digital. Tetapi internet yang sudah teradia semakin memudahkan dan untuk menggunakan koran digital.  Sehingga berdampak pada penghasilan para penjual koran kertas, khususnya yang terdapat di perempatan jalan.

Hidup harus memilih, tidak memilih itupun suatu pilihan.

Sabtu, 04 April 2015

Jalan TOL, perumahan dan kemacetan

Dalam 10 thn terakhir ini perkembangan kepadatan kendaraan di jln tol jakarta merak sungguh luar biasa, apalagi jakarta tangerang.

Bagaimana tidak, kalau dahulu tahun 2004 dari gerbang masuk tol karawaci tangerang jam 6.15 bs smp perkantoran di jkrt pusat (monas dan sekitarnya) jam 7-7.15. Sekarang ini untuk bisa dengan tujuan yang sama dan waktu yang sama dari gerbang masuk tol karawaci harus jam 5.45. Artinya sudah maju sekitar 30 menit.

Mengapa demikian? Yang pasti karena banyaknya jumlah kendaraan yang melewati jln tol. Kemudian, ada tambahan pintu masuk/keluar sepanjang karawaci-meruya.

Dalam bbrp tahun sdh ada pintu keluar/masuk tol ke/dari alam sutera, JLB, sekarang yang lagi dibangun terletak di karang tengah 1 km sebelum gerbang tol pembayaran tol jika dr arah tangerang.

Setiap pagi, sejak ada pintu masuk tol dr alam sutera, bisa dipastikan disekitar pintu masuk tol arah jakarta tersebut dipadati kendaran, krn kebanyakan kendaraan akan melambat karena adanya kendaraan yang berpindah ke lajur cepat.

Begitu juga dengan adanya kendaraan dr JLB arah jakarta. Bagaimana jika gerbang tol baru (mungkin karang tengah namanya) tersebut selesai dibangun? Apakah tidak akan menambah kemacetan? Apalagi jika diperhatikan "sekilas" pintu masuk dan keluarnya seperti memaksa banget dibandingkan dengan model pintu2 lainnya.

Artinya, dengan jarak, lebar dan tikungan desain jalan, akan sangat mungkin terjadi kelambatan kecepatan kendaraan. Yang berimplikasi pada kepadatan dan kemacetan dan kendaraan dibelakangnya.

Akhirnya tujuan jalan tol sebagai jalan bebas hambatan akan hilang, karena banyaknya pintu tol yang dibangun. Apalagi dengan desain yang memaksa.

Mengapa pengembang alam sutera membangun gerbang tol? Karena itu akan meningkatkan harga jual tanah diperumahan tersebut. Sekarang ini tanah termahal di sekitar tangerang ada di alam sutera. Dimana  sejak dibukanya pintu tol tersebut harga tanah di alam sutera sudah naik 10 kali lipat. Luar biasa.

Jadi, tercipta simbiosis mutualisme antara pengembang dan pengelola jalan tol.

Isunya adalah pembukaan pintu2 tol tersebut karena memang memang saling membutuhkan atau karena ada faktor lainnya? Apalagi jika ada desain pintu tol yang terkesan dipaksakan. Jangan2 pengelola tol tidak berpikir soal kepadatan yang ada di jalan tol, yang penting adalah jumlah kendaraan yang lewat dan mereka bayar di jalan tol.

Isu berikutnya adalah, apakah pembangunan pintu tol tersebut justru tidak menghilangkan esensi jalan tol? yaitu jalan bebas hambatan.

Bakauweni, penjual kopi dan toko modern

Minggu, 5 April 2015

Sesaat sebelum memasuki pelabuhan Bakauweni jam 3.33 pagi dini hari, 2 orang intel polisi narkoba memberi tanda untuk memberhentikan kendaraan, dengan sopan dan alat senter yang dipegang sambil menunjukkan kalau tangannya kosong meminta ijin untuk memeriksa kendaraan. Sesaat tampak sibuk memeriksa semua bagian kendaraan termasuk sampah2 yg ada. Pemeriksaan yang cukup teliti. Mantab, semoga narkoba hilang dari bumi nusantara ini.

Begitu memasuki kawasan pelabuhan untuk antri naik kapal terdapat aktivitas yang menarik, banyak ibu2 yang jualan kopi. Dengan semangat mereka menawarkan kopi, disaat pagi yang dingin pastilah kopi tersebut akan terasa lebih mantab. Jadi ingat Iwan Fals dengan iklan kopinya.

Jadi teringat hal yang sama 2-3 tahunan yang lalu, dimana dikawasan stasiun senin dan gambir juga banyak penjual kopi. Namun sekarang sudah tidak ada, sepertinya mereka sudah dilarang berjualan.

Sekarang ini, di stasiun tersebut bagi yang membutuhkan makanan atau bagi penikmat kopi atau kopi  untuk sekedar menghabiskan waktu, bisa membeli di toko modern alfatmart, seven 7 dan indomart serta dunkin.

Pengguna jasa akan merasakan suasana stasiun yang rapi dan bersih. Dan makanan yang disediakan toko modern tersebut juga terasa lebih bersih dan banyak pilihan. Yang tentu saja beda jenis dan harganya dibanding makanan dr orang2 yang jualan di kawasan  stasiun.

Bagi pengguna jasa stasiun, keberadaan toko modern itu pasti sangat membantu, terutama bagi yang beruang. Tinggal pilih, bayar, selesai.

Tapi bagaimana dengan masyarakat yang biasanya jualan di kawasan stasiun? Kemana mereka? Seandainya mereka tidak memiliki pekerjaan pengganti, akankah mereka tetap akan menjadi orang baik2?

Bagaimana dengan para pengunjung dari kalangan masyarakat bawah yang ingin menikmati kopi? Para sopir yang sedang menjemput,  yang biasanya menghabiskan waktu dengan menikmati kopi sachetan tersebut?

Misalnya lg di kawasan Bandara soetta, memang masih banyak restoran dan outlet yang merek Indonesia, tapi tidak bisa ditutupi juga ternyata sudah banyak yang merk asing. Dan dikawasan parkir terminal 2 baru 1 tahun terakhir ada warung2 kecil yang sesuai dengan driver dan penjemput kelas bawah disekitar parkiran.

Kembali ke pelabuhan bakauweni, apa jadinya seandainya ibu2 penjual kopi dan makanan yang dikawasan dipelabuhan dilarang dan diganti toko2 modern?

Akankah masyarakat akan merasa memiliki pelabuhan? Akankah masyarakat bisa lebih sejahtera? Atau ada program pengelola pelabuhan agar masyarakat penjual diberi bantuan?

Apakah tidak bisa membangun dan mengelola pelabuhan dengan tetap melibatkan masyarakat sekitar, tanpa meninggalkan mereka?

Bukankah arah pengelolaan bandara sudah menuju privatisasi? Dan pelabuhan juga begitu? Akankah masyarakat kecil akan menjadi penonton? Menjadi tenaga kasar? Atau nantinya menjual makanan dan minuman sembunyi2 dari security?

Yang perlu diingat kembali adalah, apakah tujuan keberadaan BUMN/D apakah hanya akan mengejar laba? Bukankah tetap harus ada misi sosial.

Kalau seandainya stasiun, pelabuhan, bandara yg masih di kelola oleh BUMN, tidak lagi melibatkan masyarakat kecil dan sekitar, apalagi kalau nantinya sudah di jual ke asing. Terus, siapa yang membela masyarakat kecil? Bukankah konstitusi mengamanatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

Minggu, 29 Maret 2015

Jakarta, industri dalam negeri dan inovasi

Banyak yang cerita kalau dahulu ada kereta dalam kota, dulu disebut trem (kalau tidak salah). Karena memang tidak banyak cerita dan data yang menjelaskan tentang trem itu sendiri, apalagi kenapa trem itu dihilangkan. Masyarakat seolah2 sudah lupa dengan apa yang pernah dimilikinya.

Setelah trem itu dihilangkan, tiba2 jakarta dipenuhi oleh mobil2 buatan jepang. Apakah ini kebetulan atau karena memang kebutuhan masyarakat terhadap mobil? Atau masyarakat butuh mobil karena memang untuk menggantikan fungsi trem yang sudah tidak ada?

Yang pasti sekarang ini, jakarta tiap hari penuh mobil. Tidak siang, tidak malam, bahkan menjelang pagipun masih banyak di jakarta.

Ketika kota2 besar lain di bbrp negara sudah membangun kereta modern untuk transportasi dalam kota, jakarta sama sekali belum memulai. Jakarta ketinggalan puluhan tahun terhadap transportasi publiknya dibandingkan dengan negara2 maju.

Ternyata bukan hanya jakarta yang penuh mobil, surabaya, bandung, yogya juga begitu. Jadi, masalah transportasi ini sudah menjadi masalah nasional. Lalu apa kebijakan pemerintah pusat? Khususnya  kebijakan transportasi dalam negeri ini?

Yang lebih memprihatinkan, banyak negara maju sibuk memberi bantuan/pinjaman untuk air bersih, tapi mengapa sedikit sekali yang memberi bantuan terhadap teknologi transportasi, khususnya pesawat terbang dan kereta api. Bagi negara maju, ada strategi apa dibalik ini?

Dahulu, yang ada justru IPTN terasa dihancurkan, PT. INKA belum didukung sepenuhnya.

Bila dilihat dari kejadian itu, mengapa pemerintah masih berharap mendapat bantuan  pembangunan kereta dalam kota dari negara maju?

Apalagi dengan perpres pengadaan barang dan jasa (PBJ). Semakin sulit membangun industri sendiri. Seringkali dalam PBJ dipahami dengan penilaian sederhana, membeli produk asing yang lebih murah, dibandingkan membeli produk dalam negeri itu pasti menguntungkan (artinya tidak terjadi kerugian negara). Dan juga sebaliknya. Membeli barang produk dalam negeri lebih mahal dibandingkan produk asing, dapat diartikan terjadi kerugian negara.

Penyusun perpres sepertinya lupa dengan multiplayer efek dari keberadaan industri dalam negeri. Ato pelaksana perpres tersebut yang kurang paham.

Dan ternyata bukan hanya perpres PBJ, bbrp UU juga mengarah untuk melindungi produk2 asing.

Baru2 ini seorang kreatif membuat tv dari daur ulang tv yang rusak, dijadikan tersangka karena melanggar UU perdagangan.

Sudah bbrp kali petani yang menanam jagung untuk dijadikan benih juga dihukum. Dengan alasan melanggar HAKI.

Jika begini semua, siapa yang berani membuat inovasi? Karena akhirnya Inovasi lebih dekat ke kriminal.

Sementara, pengusaha2 besar dan asing mengeruk sumber daya alam dengan rakus, meski secara legalitas bisa jadi legal. Tapi dari sisi keadilan masyarakat bagaimana?

Jadi, kapan bangsa ini bisa membuat kereta api canggih, jika untuk membuat sendiri harus bersaing dengan industri dari negara maju? Pasti kalah kalau harus mengikuti prepres PBJ. Karena pasti tidak sama kemampuannya. Dan itu juga dibidang2 lainnya.

Artinya apa? Belanja APBN & APBD sebagai penggerak ekonomi, khususnya terkait belanja produk industri strategis dalam negeri sebaiknya diberi perlakuan khusus. Karena bbrp negara juga berlaku demikian, termasuk negara maju saat industrinya belum maju.

Sabtu, 28 Maret 2015

Shinkansen, bus AKAP dan LCC pesawat terbang

Saat masih kecil, selesai nonton film kung fu yang dibintangi jet lee, jacky chan, timbul keinginan untuk menjadi seperti mereka.

Saat selesai nonton film petualangan seperti speed, pengin juga seperti mereka.

Wajar punya keinganan seperti yang telah dilihat, didengar, dan dirasakan. Masalahnya adalah, apakah benar telah mengetahui proses bagaimana menjadi seperti itu? Proses, proses untuk menjadi. Kegiatan/aktivitas/kejadian sehingga menjadi seperti yang dilihat, didengar dan dirasakan.

Beberapa hari ini dimedia beredar pernyataan keinginan presiden jokowi sesaat setelah menaiki shinkansen dari Tokyo ke Nagoya, yaitu untuk membangun shinkansen di tanah air. Keinginan yang bagus sekali dan mulia. Dan wajar, karena beliau adalah presiden, pemimpin yang harus membuat kebijakan strategis bagi bangsa ini.

Pada prinsipnya tidak ada yang salah dengan  keinginan beliau. Yang perlu diperhatikan selain masalah diatas adalah, apa efek dan dampak jika shinkansen tersebut mulai di bangun, beroperasi dan pasca beroperasi. Khusunya terkait dengan moda tansportasi lainnya.

Intinya adalah, bagaimana agar maskapai penerbang, kereta api dan operator bus AKAP bisa saling mendukung dan mengisi, sehingga shareholder, khususnya masyarakat tidak dirugikan.

Isunya dalan bisnis moda transportasi adalah persaingan antar jenis moda transportasi, apakah jika maskapai penerbangan menerapkan LCC tidak menjadi pesaing kereta api? Jika jalan raya dibuat bagus seperti tol, atau dibuat tol, operator bus AKAP tidak menjadi pesaing kereta api?

Ketika banyak maskapai memberikan layanan tarif murah (low cost carrier/LCC), justru pemerintah yang melarang. Dengan alasan keselamatan  penerbangan. Padahal dalam bisnis maskapai penerbangan komersial konsep LCC sedang menjadi trend.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan memiliki alasan mengeluarkan kebijakan pengaturan tarif batas bawah. Tarif batas bawah diatur 40% dari tarif batas atas, sehingga maskapai tidak bisa menjual tiket murah.

"Tujuannya adalah kewajaran harga tiket tersebut bisa mempertahankan unsur keselamatan dengan baik," kata Jonan di kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa (6/1/2015).

Ketika jalan tol jakarta-bandung selesai dibangun, secara berlahan kereta api jurusan jakarta - bandung sudah mulai kurang diminati. Dan mulai tumbuh travel2 dari bandung-jakarta.

Sekarang ini sejak kereta api jakarta-cirebon beroperasi dengan pelayanan yang baik, banyak masyarakat memilih menggunakan kereta api, dibandingkan dengan bus.
Seandainya, jalan raya jakarta-cirebon- semarang dibangun bagus seperti tol, atau dibuat tol, apakah operator bus AKAP tidak menjadi saingan kereta api?

Sebaliknya, ketika jalan raya dari surabaya - jakarta, madiun-solo-yogyakarta-semarang-jakarta banyak yang rusak, sehingga membebani biaya transportasi operatar bus AKAP, bukankah dengan  sendirinya operator bus AKAP akan kalah bersaing dengan kereta api?

Seandainya presiden jokowi jadi membangun shinkasen, jakarta-semarang- surabaya, apa tidak bersaing dengan maskapai penerbangan? Dan juga bus AKAP.

Prinsip dasar masyarakat akan tetap memilih moda transportasi karena faktor prioritas dari keselamatan, kecepatan, ketepatan, ketersediaan, biaya dan kenyamanan.

Kembali ke pemerintah, membangun shinkansen untuk siapa? Memberikan layanan ke masyarakat? Mencari laba sebagai pendapatan pemerintah? Atau untuk gengsi?

Dan saat ini, kereta api, telah menaikkan tiketnya seiring dengan  dilarangnya LCC bagi maskapi penerbangan oleh menhub.

Dan akhirnya, masyarakat bingung, naik pesawat mahal, kereta mahal. Naik bus AKAP waktu sampainya tidak tentu. Tidak pulang kampung halaman rindu, pulang kampung tiketnya mahal. Pusiiiiing.

Amalan Gus Dur

Saat hidupnya Gus Dur sudah sering nyleneh, ternyata sampai sudah meninggalnya pun masih sering terjadi hal2 yang nyleneh terkait beliau. Bagaimana tidak? Datanglah ke makam Gus Dur, hampir setiap hari, tidak siang, tidak malam banyak yang berziarah ke makam beliau.

Itu salah satu nylenehnya Gus Dur setelah beliau wafat. Memang ada orang yang tidak setuju dengan orang2 yang berziarah kubur ke makam. Tapi itu urusan masing2, nasihat pak presiden ke 7, itu bukan urusan saya.

Kira2 amalan apa sehingga banyak sekali orang2 yang berziarah ke Gus Dur? Dan orang2 itu tidak ada yang maksa, nyuruh, apalagi dikoordinasi dibayarin untuk ziarah. Mereka datang karena kesadaran dan keinginan mereka sendiri. Dan mereka sebagian besar juga tidak pernah ketemu langsung dengan beliau, apalagi ikut dalam pengajian beliau.

Gus Dur melalui pernyataannya yang sering nyleneh, bagi masyarakat kecil justru dirasakan menjadi suatu sikap pembelaan, kasih sayang dan cintanya Gus Dur terhadap masyarakat tersebut. Gus Dur itu nguwongne wong.

Bagi orang2 tertentu, hal tersebut sulit diterima, apalagi yang biasa bertransaksi dalam amal perbuatan. Tapi bagi para Gus Durian itulah dampak dari keihklasan Gus Dur dalam kesehariannya.

Disaat sudah meninggalnya pun, Gus Dur masih menjadi perantara rizki bagi orang lain. Lihatlah bagaimana para pedagang, tukang parkir, para penyedia jasa kamar mandi dan lainnya mendapat rizki dari para pengunjung. Yang jauh dari pemakaman beliaupun bisa mendapat rizki karena perantara beliau, para cerdik pandai dinegeri ini sering menulis, menyusun buku, berdiskusi, dan melakukan kajian terhadap pemikiran Gus Dur dari berbagai sudut pandang keilmuan.

Semoga, kita diberkahi, untuk menjadi manusia yang mendapat bagian dalam menjalankan islam sebagai agama rahmatan lil'alamin. Amiin.

Jumat, 27 Maret 2015

Negara hukum atau negara peraturan

Di negara tetangga dekat, hukum dibuat memang untuk melindungi warganya. Hukum dibuat untuk memberi kepastian hukum. Prinsipnya, tujuan itu menjadi nomer satu. Cara/SOP itu prioritas pelaksanaan  berikutnya. Bukan sebaliknya. Dan bukan tidak kedua2nya. Independensi tetap terjaga dengan tetap menjaga akuntabilitas.

Memang kalau dibalik bagaimana? Kalau SOP menjadi prioritas?

Dan ini yang terjadi negara tetangga yang jauh, sehingga:

Pertama, para penegak hukum akan menjadi petugas saja, mirip robot, melaksanakan sesuatu yang sudah diatur dalam pasal2. Tanpa ada keberanian untuk membuat wisdom/kebijakan.

Kedua, tidak semua kemungkinan sudah diatur dalam SOP. Sehingga ketika SOP dikedepankan, jika ada diluar SOP akan menjebak para shareholder.

Ketiga, rasa takut keluar dari SOP akan mengakibatkan wisdom dan kecerdasan menjadi hilang.

Sehingga apa yang terjadi? Hukum itu akan terasa kering, hukum itu hanya prosedur2 berkas/dokumen yang harus tetap dijalankan karena mengikuti SOP. Tidak lagi memperdulikan tujuan hukum itu sendiri.

jadi, ketika suatu negara mengedepankan SOP apakah negara tersebut menjadi negara hukum atau negara peraturan?